Senin, 07 Januari 2008

MENGINGAT KEMBALI JIWA PENDIDIKAN

Pendahuluan
Boleh jadi jiwa pendidikan sudah lama terlupakan, sekalipun kita semua setiap hari berkecimpung dalam dunia pendidikan. Terlupakannya jiwa pendidikan dianggap hal yang wajar. Dikatakan wajar, karena sebagian besar orang Indonesia mengalaminya (melupakannya). Sedangkan, yang dilakukan setiap hari merupakan rutinitas yang relatif jauh dari jiwa pendidikan itu sendiri.
Kata "jiwa" semakna dengan roh, nyawa atau nafs dalam bahasa Arab. Sering didengar ungkapan bahwa manusia terdiri dari fisik dan jiwa, jasmani dan rohani. Manusia dikatakan sehat, apabila sehat keduanya, baik fisik maupun jiwanya. Orang yang sakit fisik berobatnya ke dokter fisik. Orang yang sakit jiwa berobatnya ke dokter/ahli jiwa. Orang yang fisiknya sehat tetapi jiwanya sakit sering disebut orang sakit jiwa. Manakala para pengelola pendidikan dan rekanan pelaksana tender-tender proyek pengadaan sarana pendidikan menjadi semakin kaya, sementara guru dan siswa tetap tidak berdaya yang akibatnya tidak ada kemajuan pendidikan yang berarti, disebut apa? Barangkali, jelas bahwa jiwa pendidikan tidak sehat. Dengan demikian, jelas bahwa pada diri manusia ada fisik dan ada jiwa, demikian juga pada pendidikan, ada fisik dan jiwa. Akan tetapi yang dimaksudkan di sini bukan pendidikan fisik yang terfokus pada persoalan fisik manusia seperti kedokteran dan olah raga, bukan pula pendidikan jiwa yang terfokus pada persoalan jiwa manusia seperti psikologi, namun jiwa atau hakekat dari pendidikan.
Kemudian, mengapa tulisan ini berjudul "mengingat kembali jiwa pendidikan?" Apa pendidikan sekarang sudah dianggap tidak memiliki jiwa? Atau sudah lepas atau bergeser dari jiwa pendidikan yang semestinya? Jawabnya, tentu berbeda-beda, tergantung siapa yang menjawab. Jika persoalan itu ditanyakan kepada para pengelola pendidikan, mungkin hampir semua menjawab bahwa pendidikan yang dikelolanya sesuai dengan jiwa pendidikan. Akan tetapi, banyak ahli pendidikan yang mengkritik pendidikan terutama sekolah.
Menurut Hedley Beare, dkk. pengelolaan sekolah[1] betul-betul memerlukan perhatian serius. Sejak pertengahan 1970-an, pengelolaan sekolah mengarah pada apa yang disebut dengan “the effective schools movement”. Effective schools (sekolah-sekolah efektif) memiliki lima karakter nyata, yaitu (1) kepemimpinan yang kuat secara administrasi, (2) iklim harapan yang tinggi dimana setiap siswa dijamin mencapai prestasi, (3) atmosfir sekolah teratur, tidak kaku, tanpa tekanan, dan secara umum sangat kondusif untuk belajar, (4) fokus pembelajaran dapat dipahami secara luas, dan (5) kemajuan siswa dapat dimonitor secara teratur.[2] Pengelolaan sekolah unggulan itu terfokus pada siswa. Semuanya, mulai dari perencanaan, implementasi (pembelajaran) sampai evaluasi difokuskan pada siswa.
Paulo Freire dan Ivan Illich sudah lama mengkritik sekolah. Menurut keduanya, sekolah itu hanya untuk kalangan masyarakat tertentu, belum untuk semua masyarakat. Disamping itu, sekolah belum bisa membangkitkan kesadaran (konsientisasi) siswa, belum bisa memberdayakan siswa. Sekolah masih menerapkan banking system (sistem bank), belum bisa menerapkan sistem posing problem. Oleh karena itu, keduanya meragukan dan mempertanyakan fungsi dari sekolah.[3]
Banyak juga tokoh pendidikan Indonesia yang mengkritik pendidikan di Indonesia. Menurut Darmaningtyas persoalan pendidikan di Indonesia bukan sekedar persoalan anggaran yang rendah, tetapi juga persoalan-persoalan lain, seperti pengelolaan, sistem, kurikulum, fasilitas, dsb. Sekalipun, anggaran pendidikan di Indonesia rendah, tetapi ratusan milyar sampai trilyunan rupiah dari anggaran pendidikan tidak terserap setiap tahunnya. Ini membuktikan bahwa perencanaan dan pelaksanaan pendidikan di Indonesia kurang bagus. Kurikulum berbasis kompetensi (KBK) dianggap sebagai 'agama' baru dalam pendidikan Nasional. Persoalan-persoalan tersebut diperparah lagi oleh jual beli gelar (mendapat gelar MBA, MM, MSc, Ph.D, dsb., tanpa kuliah). Karena itu, pendidikan di Indonesia perlu dilakukan reformasi. Reformasi yang selama ini tidak pernah dapat menyentuh pada wilayah pendidikan. Reformasi pendidikan di Indonesia baru sekedar wacana.[4]
Eko Prasetyo memberikan sindiran tentang mahalnya pendidikan di Indonesia dengan ungkapan Orang Miskin Dilarang Sekolah. Menurut Prasetyo sekolah hanya untuk orang kaya, bagi orang miskin sekolah semakin menjadikan miskin. Pendidikan sudah dikuasai oleh kapitalis, sekolah menjadi sasaran pengusaha (pemodal). Di sekolah juga akrap dengan kekerasan, guru tidak dapat terhindar dari kekerasan. Sekolah yang demikian itu hanya akan menghasilkan lulusan yang menjadi pengangguran, bahkan lulusan menjadi penjahat.[5]


Jiwa Pendidikan
Apa maksudnya pendidikan sekarang sudah tidak sesuai dengan jiwa pendidikan? Maksudnya penyelenggaraan pendidikan sekarang sudah tidak secara langsung terfokus pada tujuan diselenggarakannya pendidikan. Sebagian besar masih berputar-putar pada persoalan biaya pendidikan, pengelolaan pendidikan, bangunan fisik sekolah, belum secara langsung menuju jantung pendidikan, yaitu dapat menghasilkan lulusan yang berkualitas, dapat meningkatkan sumber daya manusia, hingga mampu bersaing dengan SDM negara lain.
Sekalipun tujuan diselenggarakannya pendidikan itu masih interpretable. Tetapi, secara umum dapat dikatakan bahwa pendidikan itu diadakan untuk meningkatkan sumber daya manusia (SDM). Lebih konkretnya (untuk istilah sekarang) yaitu untuk meningkatkan kompetensi siswa, baik dari segi pengetahuan, ketrampilan, mapun sikap atau kepribadian.
Dalam pengelolaan pendidikan dikenal adanya INPUT, PROSES, dan OUTPUT. Inputnya adalah calon siswa, prosesnya adalah pembelajaran selama di sekolah, dan outputnya adalah lulusan atau alumni dari sekolah tersebut. Dalam merancang proses pembelajaran berangkat dari kondisi siswa, demikian pula ketika mengimplementasikan dan mengevaluasinya. Mengapa berangkat dari kondisi siswa? Karena siswalah yang ngalami proses pendidikan, proses membaca, proses memahami, proses menemukan dan proses menjadi alumni. Misalnya, ketika mau memulai tahun ajaran baru, diketahui pada umumnya motivasi belajar siswa kurang tinggi atau kurang terfokus pada pendidikan, maka perlu diselenggarakan program yang dapat meningkatkan motivasi siswa, seperti diselenggarakan training. Kemudian, setelah motivasi mereka sudah cukup tinggi, baru dimulai pembelajaran di ruang kelas. Pembelajaran di ruang kelas juga berangkat dari kondisi siswa. Misalnya, berangkat dari kebutuhan siswa dalam pembelajaran. Ketika mengalami proses pembelajaran siswa membutuhkan guru yang kompeten, materi sebagai konteks untuk pembelajaran, ruang kelas lengkap dengan multi medianya, kondisi dan lingkungan yang kondusif untuk pembelajaran, dsb., semuanya perlu disediakan. Karena memang itu semua dibutuhkan oleh siswa
Contoh untuk memenuhi kebutuhan siswa akan tersedianya guru yang kompeten, bagaimana cara untuk memastikan bahwa setiap guru yang ada di kelas itu kompeten? Misalnya, perlu diadakan jaminan mutu guru. Dibuatlah rancangan cara mengevaluasi kinerja guru, kemudian dipakai untuk mengevaluasi guru. Hasil dari evaluasi guru berupa data. Data itu kemudian diolah, untuk mengetahui indek prestasi kinerja guru. Dari indek prestasi kinerja guru itu dapat diketahui guru yang kompeten, cukup kompeten dan kurang kompeten. Guru-guru yang kurang kompeten perlu ditingkatkan kompetensinya. Demikian pula dari hasil analisis itu dapat diketahui guru-guru yang memiliki kinerja tinggi, sedang dan kurang. Kemudian, bagi guru yang indek kinerjanya kurang harus ditindaklanjuti dengan upaya untuk meningkatkan. Misalnya dengan cara mengambil program tertentu. Cara ini harus dilakukan secara terus-menerus dan berkelanjutan, untuk memastikan bahwa setiap guru yang mengajar di kelas itu memiliki kompetensi memadai.
Siswa ketika mengalami proses pembelajaran di ruang kelas memerlukan materi sebagai konteks pembelajaran, misalnya berupa buku, sekolah harus menjamin ketersediaan buku sesuai dengan jumlah yang dibutuhkan oleh siswa. Jangan sampai terjadi guru mewajibkan siswa untuk memakai buku tertentu, tetapi sekolah tidak menyediakan buku tersebut secara mamadai. Akibatnya siswa kesulitan karena tidak dapat menemukan buku yang diwajibkan tersebut. Misalnya, hanya tersedia lima eksemplar di perpustakaan, pada hal jumlah siswa yang membutuhkan buku itu berjumlah lima puluh.
Demikian juga, siswa dalam proses pembelajaran memerlukan media pembelajaran misalnya white board, spedol, komputer dan LCD-nya. Pengelola sekolah harus dapat menyediakan peralatan tersebut. Apalagi sekolah di kota-kota, misalnya siswa perlu jaringan internet untuk memperluas informasi dan laboratorium untuk praktikum, pengelola sekolah harus dapat menyediakan. Tetapi, ini semua jika pengelola sekolah itu berangkat dari tujuan diselenggarakannya pendidikan untuk menghasilkan lulusan yang berkualitas.
Coba sekarang dilihat secara cermat realitas yang sebenarnya. Apa pengelola lembaga pendidikan selalu berangkat dari kebutuhan siswa agar dapat mengalami proses pembelajaran dengan baik, sehingga kompetensi mereka meningkat, kualitas lulusan bermutu dan akhirnya dapat meningkatkan SDM. Misalnya, apa sudah yakin bahwa buku pelajaran yang tersedia sudah mencukupi, media pembelajaran sudah tersedia, dan guru yang kompeten sudah terjamin tersedia? Tetapi, yang sering ditemui di lapangan menunjukkan sebaliknya, yaitu semua itu belum terpenuhi dengan baik, namun dana yang tersedia bukan untuk memenuhi itu. Tetapi, untuk membeli mubeler yang sebetulnya belum mendesak, apalagi mubeler yang sudah ada masih menumpuk kurang dimanfaatkan dengan baik; untuk memperbaiki pagar dan gapura sekolah yang sebetulnya belum mendesak.


Jiwa Pendidikan di Perguruan Tinggi, Contoh Kasus di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Salah satu hal pokok yang membedakan Perguruan Tinggi (PT) termasuk Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta dari sekolah/madrasah adalah PT dituntut dapat mengembangkan ilmu dan teknologi. Karena keharusan itu maka PT memiliki tiga fungsi yang biasa disebut dengan Tridarma Perguruan Tinggi yaitu, pendidikan, penelitian dan pengabdian. Di PT mahasiswa mengalami proses pendidikan untuk memperbaiki kompetensi dirinya, melakukan penelitian untuk menghasilkan suatu temuan, kemudian hasil temuan tersebut diabdikan pada masyarakat. Dengan demikian diharapkan PT dapat betul-betul bermanfaat bagi masyarakat.
Sebagai contoh, untuk memenuhi fungsinya sebagai Perguruan Tinggi, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta menyelenggarakan program Diploma, strata satu (S1), strata dua (S2) dan strata tiga (S3). Pengembangan keilmuan yang selama ini dilakukan oleh Fakultas dan Universitas, seharusnya, sudah mengalami perubahan. Pengembangan keilmuan seharusnya dilakukan oleh jurusan. Fakultas berfungsi mengkoodinasikan jurusan-jurusan, dan universitas mengkoordinasikan fakultas-fakultas. Jadi Fakultas dan universitas itu sifatnya teknis pengelolaan atau manajemen. Bahkan, di masa-masa mendatang fakultas itu sifatnya option, boleh ada boleh tidak. Kalau fakultas tidak ada, fungsi koordinasi langsung dilakukan oleh universitas.
Secara umum PT termasuk UIN Sunan Kaliljaga Yogyakarta diselenggarakan untuk menghasilkan lulusan yang berkualitas dan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM). Secara spesifik dapat dikatakan bahwa UIN diselenggarakan untuk memproses input (mahasiswa) yang kurang berkualitas menjadi lulusan yang berkualitas. Input yang kurang kompeten diproses menjadi lulusan yang kompeten. Lulusan yang berkompeten baik dari segi pengetahuan, ketrampilan, maupun sikap (pribadi Muslim).
Kemudian, persoalannya adalah bagaimana UIN dapat menghasilkan lulusan yang berkualitas? Jika, sasarannya adalah dapat menghasilkan lulusan yang berkualitas, maka fokusnya tentu pada mahasiswa. Karena mahasiswalah yang mengalami proses pendidikan, pembelajaran, pencarian, dan proses menemukan jati diri. Semua yang ada di UIN seperti sarana, peralatan, fasilitas, lingkungan, kondisi, dan SDM tentunnya terkait dengan mahasiswa. Mulai dari pembangunan sarana fisik berupa gedung perkantoran, ruang kuliah, laboratorium, perpustakaan, lingkungan, dan sebagainya sampai pada pengadaan buku tentu untuk kepentingan mahasiswa. Dibangunnya gedung untuk perkantoran rektorat, dekanat, jurusan, program studi, lemlit, P2M, pusat bahasa dan unit-unit lain, tentu semuanya untuk melayani mahasiswa. Disediakannya fasilitas mobil beserta bahan bakar dan sopirnya bagi pejabat, tentu agar mereka dapat melayani mahasiswa dengan baik.
Misalnya, mahasiswa ketika mengalami proses pembelajaran memerlukan materi (berupa buku) sebagai konteks pembelajaran, pengelola UIN tentu dapat menjamin ketersediaan buku sesuai dengan jumlah yang dibutuhkan oleh mahasiswa. Jangan sampai terjadi lagi dosen mewajibkan mahasiswa untuk memakai buku tertentu, tetapi pengelola UIN tidak menyediakan buku tersebut secara mamadai. Akibatnya mahasiswa kesulitan karena tidak dapat menemukan buku yang diwajibkan tersebut. Misalnya, hanya tersedia lima eksemplar di perpustakaan, pada hal jumlah mahasiswa yang membutuhkan buku itu ada lima ratus.
Tidak bisa lagi dipertahankan paradigma lama bahwa mahasiswa dapat membeli buku sendiri di toko buku. Kenyataannya kemampuan atau daya beli mahasiswa terhadap buku itu sangat terbatas. Akibatnya, jika buku wajib tidak disediakan oleh UIN, mahasiswa idak akan membaca buku wajib tersebut. Disamping itu, UIN kan lembaga pendidikan negeri, yang kebutuhan buku wajib bagi mahasiswa dapat diajukan ke pemerintah melalui DIPA. Ini memang menuntut prioritas dari bagian perencanaan dan pengadaan barang di UIN, karena anggaran DIPA memang sangat terbatas. Justru karena anggaran terbatas itu maka perlu prioritas untuk barang-barang yang memang sangat dibutuhkan oleh mahasiswa.
Persoalan prioritas pengadaan barang itu memang bukan persoalan yang gampang, tetapi cukup rumit. Karena yang namanya prioritas itu bisa sangat subyektif. Artinya masing-masing bagian bahkan masing-masing orang bisa berbeda-beda memandang sutu barang. Misalnya, tadi persoalan buku wajib, bagi mahasiswa dan dosen buku itu menjadi barang yang sangat penting sehingga harus menjadi prioritas pertama, tetapi mungkin buku menjadi barang yang tidak begitu penting bagi bagian perencanaan dan pengadaan barang, sehingga tidak menjadi prioritas untuk diadakan. Akhirnya, buku tidak diadakan (dibeli), jika diadakan jumlahnya sangat tidak memadai dengan jumlah mahasiswa yang membutuhkan. Disinilah letak pentingnnya pemahaman kembali terhadap jiwa atau hakekat diselenggarakannya UIN.
Persoalan berikutnya adalah masalah ruang kuliah beserta media pembelajarannya. Hal ini sangat penting bagi mahasiswa dan dosen karena memang sangat dibutuhkan dalam proses perkuliahan. Tetapi, hal itu mungkin tidak penting bagi para pejabat UIN termasuk bagian perencanaan dan pengadaan barang, karena mereka tidak mengalami proses perkuliahan setiap hari. Sehingga dianggap wajar, jika lembaga ini sejak berdiri pada tahun 1950-an sampai sekarang tidak memiliki media pembelajaran yang representatif pada setiap ruang kuliah.
Mahasiswa Fakultas Tarbiyah, misalnya setelah lulus dituntut dapat menjadi guru yang professional. Akan tetapi, bagaimana mereka dapat menjadi guru yang professional, sedangkan peralatan pokok untuk micro teaching dan media perkuliahan berupa kumputer dengan LCD-nya saja tidak tersedia di ruang kuliah. Padahal media itu sangat penting bagi mahasiswa untuk dapat menjadi guru yang professional. Bahkan, media perkuliahan yang tersedia masih kalah jauh sekalipun dibandingkan dengan yang bukan keguruan di kampus lain.
Kejadian di atas sangat ganjil atau aneh bagi yang mengetahui. Tetapi bagi yang tidak mengetahui atau bagi yang tidak mau tahu, hal di atas dianggap wajar, tidak ada persoalan apa-apa, toh sejak dahulu sudah berjalan seperti itu tidak ada persoalan apa-apa. Fakultas Tarbiyah tetap paling banyak peminatnya di UIN Sunan Kaliljaga Yogyakarta. Komplain dari masyarakat pengguna lulusan dianggap sepi, tidak apa-apa, jalan terus saja. Justru, di sinilah letaknya persoalan, karena menganggap tidak ada persoalan apa-apa. Tidak tahu kalau ada persoalan karena tidak berpikir secara serius ke arah itu. Akibatnya, persoalan menumpuk luar biasa banyaknya tetapi tetap tidak faham jika ada persoalan. Sehingga semuanya dianggap wajar, berjalan sebagaimana biasanya, sebagai rutinitas.
Mengapa terjadi keanehan seperti itu? Contoh kecil seperti disebutkan di atas yaitu masalah tidak tersedianya media perkuliahan pada setiap ruang kuliah berupa komputer dengan LCD-nya. Padahal, untuk menyediakan media itu hanya perlu dana sekitar 500 juta rupiah untuk 20 ruang kuliah di Tarbiyah. Dengan asumsi satu unit komputer dengan LCD-nya seharga 25 juta rupiah. Jumlah itu relatif kecil jika dibandingkan dengan DIPA UIN tahun 2005 yang barangkali mencapai 10 milyar rupiah.
Kemudian, mengapa media perkuliahan yang dimaksud tetap tidak tersedia? Barangkali masih terkait dengan persoalan prioritas pengadaan barang tadi. Mungkin media itu belum dianggap prioritas yang harus disediakan sekarang oleh pimpinan UIN termasuk bagian perencanaan dan pengadaan barang. Barangkali prioritas utama masih untuk pengadaan mubeler, sekalipun, mubeler yang ada masih layak dipakai. Bahkan mengakibatkan penumpukan mubeler di mana-mana, sampai lorong-lorong jalan penuh dengan tumpukan mubeler, gudang penyimpan mubeler pun tidak tersedia. Barangkali kejadian di atas bisa menjadi contoh kecil betapa pentingnya mengingat kembali jiwa atau hakekat pendidikan.
Contoh lain yaitu mengenai persoalan tersedianya dosen yang kompeten dan memiliki kinerja tinggi sebagai expert, resouse person, facilitator, instructor, model, mentor, and co-leaner bagi mahasiswa. Sebagaimana diketahui bahwa tersedianya dosen yang kompeten dan memiliki kinerja tinggi pada lembaga pendidikan tinggi menjadi persyaratan mutlak bukan hanya bagi terselengaranya proses perkuliahan yang kondusif, tetapi juga bagi terselengaranya proses edukasi secara umum. Bahkan, pada batas-batas tertentu, gengsi lembaga pendidikan tinggi itu terletak pada kualitas dosen-dosen yang dimilikinya. Dosen yang kompeten juga bisa menambah daya tarik calon mahasiswa, disamping program-program yang ditawarkan.
Fungsi dosen pada lembaga pendidikan tinggi yang begitu sentral itu tentu memerlukan perhatian yang serius. Lembaga pendidikan tinggi yang established biasanya memiliki badan penjamin mutu (quality assurance). Badan ini mempunyai tugas antara lain mengevaluasi kompetensi dan kinerja pimpinan, staff, dan dosen. Melalui badan ini akan dapat diketahui indek kinerja pimpinan, staff, dan dosen. Khusus yang terkait dengan kinerja dosen akan dapat diketahui penguasaan dosen terhadap materi yang dikuliahkan, persiapannya untuk memberi kuliah (membuat silabus, satuan acara perkuliahan, menuliskan materi perkuliahan, menyiapkan instrumen perkuliahan, dsb), melaksanakan proses perkuliahan (misalnya mengenai ketepatan waktu memulai dan mengakhiri kuliah, daya tarik perkuliahan, metode atau strategi perkuliahan, dsb), melakukan evaluasi (misalnya ketepatan waktu menyerahkan soal ujian dan nilai mahasiswa pada bagian pengajaran, dsb). Begitu juga akan dapat diketahui prosentase kedatangan dosen untuk memberi kuliah. Secara singkat dapat dikatakan bahwa semua aktivitas dosen dievaluasi oleh badan penjamin mutu. Hasil kinerja dosen itu disampaikan oleh badan penjamin mutu kepada dosen yang bersangkutan setiap akhir semester. Kemudian, dari hasil kinerja dosen itu dibuatlah DP3 dosen yang bersangkutan oleh atasannya.
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta sebagai lembaga pendidikan tinggi yang menyatakan diri sebagai Center for Excellence seharusnya tampil terdepan mempelopori penyelenggaraan penjaminan mutu PT. Jika, dalam kenyataan sampai sekarang lembaga ini belum memiliki badan penjamin mutu (atau sudah memiliki, tetapi belum terdengar kinerjanya), banyak pihak menyayangkan.[6] Merupakan kecelakaan sejarah, jika beberapa dasawarsa lalu lembaga ini menjadi Lembaga Pendidikan Tinggi Agama Islam Negeri terbaik di tanah air, kemudian tertinggal puluhan tahun dari PTAI lain dalam hal penjaminan mutu.
Ketertinggalan dalam hal penjaminan mutu sebagaimana tersebut di atas sudah selayaknya segera memperoleh perhatian secara memadai dari pengelola lembaga ini. Perhatian pimpinan terhadap ketertinggalan dalam hal penjaminan mutu bukan sekedar saling melemparkan tanggungjawab dan saling menyalahkan dari masing-masing bagian, karena ini tidak produktif dan sekedar membuang-buang waktu dan kesempatan. Tetapi berupa respon positif terhadap ketertinggalan tersebut dengan cara menyesalinya seraya segera menyiapkan badan penjamin mutu untuk menangani maslah dimaksud.

Penutup
Apa yang dikemukakan di atas baru sebagian kecil atau sekedar contoh yang memberikan bukti bahwa para pengelola lembaga pendidikan mulai dari dasar sampai tinggi perlu menginngat kembali jiwa pendidikan. Jika hal tersebut tidak segera disadari, maka kenaikan anggaran pendidikan dan pembangunan fisik sarana pendidikan belum akan segera dapat meningkatkan kualitas lulusan dari lembaga pendidikan. Mungkin yang terjadi justru sebaliknya, kenaikan anggaran bukan sebagai investasi, tetapi terjebak pada pemborosan (mubazir). Kalau itu yang terjadi, maka masih sangat sulit diharapkan pendidikan di Indonesia dapat menghasilkan lulusan yang dapat memenangkan persaingan global di masa-masa mendatang. Artinya, bangsa Indonesia masih akan terus tertinggal dari bangsa-bangsa lain, sekalipun dengan bangsa-bangsa tetangga di Asia. Sekian semoga bermanfaat. Amin.
Sambisari, 6 Januari 2006
[1] Pemikiran pengelolaan sekolah ditulis pada sebuah buku yang berjudul Creating an Exellent School : Some New Management Techniques, Billings & Sons Ltd., Worcester, Great Britain, 1989, Reprinted 1991.
[2] Ibid., hlm 10-11.
[3] Baca buku Pedagogy of the Oppressed, Penguin Books Ltd., New York, 1972; buku…
[4] Baca buku Darmaningtyas berjudul Pendidikan Rusak-Rusakan, LkiS, 2005.
[5] Baca buku Eko Prasetyo berjudul Orang Miskin Dilarang sekolah, Resist Book, Yogyakarta, 2005.
[6] Salah satunya dari Direktur Perguruan Tinggi Agama Islam, Dirjen Bagais Depag RI.

Tidak ada komentar: