Senin, 07 Januari 2008

Prof. Sutrisno: PENDIDIKAN ISLAM YANG MENGHIDUPKAN

PENDIDIKAN ISLAM YANG MENGHIDUPKAN
(Studi Kritis Terhadap Pemikiran Pendidikan Fazlur Rahman)
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji dan syukur dipanjatkan ke hadirat Allah SWT. Semoga shalawat dan salam senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW. Atas limpahan taufik, hidayah dan inayah-Nya, melalui perjalanan panjang, akhirnya penulisan buku ini dapat diselesaikan.
Sebagian besar isi buku yang ada di hadapan pembaca ini berasal dari perbaikan disertasi penulis di Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta pada tahun 2003-2005 (awal). Terutama ha-hal yang terkait langsung dengan pemikiran pendidikan Fazlur Raman. Pemikiran pendidikan Rahman itu selanjutnya disebut dengan “pendidikan yang menghidupkan (the life - making education)”. Sebab konsep pendidikannya mengarah pada satu fokus yaitu untuk menyelesaikan problem-problem umat manusia. Dengan dapat terselesaikan problem-problem yang dihadapi berarti kelangsungan hidup manusia dapat terpelihara dengan baik.
Salah satu contoh konkret usulan Rahman yang terkait dengan masalah pendidikan adalah solusi terhadap masalah akut dualisme sistem pendidikan umat Islam. Untuk mengatasi masalah dualisme sistem pendidikan umat Islam (pendidikan tradisional pada satu sisi dan pendidikan sekuler modern pada sisi lain) Rahman mengusulkan dengan cara menerima sistem pendidikan sekuler modern kemudian menanami atau memasuki dengan jiwa atau ruh Islam. Cara ini secara konseptual sangat bagus, tetapi hasilnya belum sebagaimana yang diharapkan. Pengalaman di Indonesia menunjukkan bahwa pendidikan tradisional (model pesantren) pada satu sisi, dan pendidikan sekuler modern (model sekolah) pada sisi lain, kemudian digabung menjadi satu dalam bentuk madrasah, ternyata hasilnya belum memuaskan; untuk mata pelajaran agama Islam belum bisa mengalahkan pesantren dan untuk mata pelajaran umum belum bisa mengalahkan sekolah, kecuali beberapa madrasah.
Dalam penulisan buku ini, penulis banyak berutang budi kepada berbagai pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu di sini, untuk itu disampaikan terimakasih kepada mereka semua. Ungkapan secara khusus disampaikan kepada kedua orangtua, istri, dan ketiga putra-putriku tersayang. Akhirnya, penulis sampaikan selamat membaca, semoga bermanfaat. Amin. Yogyakarta, akhir 2005.
BAB I
PENDAHULUAN

Kehidupan umat Islam sekarang yang relatif terpuruk jika dibandingkan dengan umat beragama lain tidak lepas dari aspek sejarah. Tidak dapat dipungkiri bahwa jika dilihat dari perspektif sejarah, kehidupan umat Islam mengalami pasang surut, naik-turun, dan bergelombang. Umat Islam telah mengalami masa pertumbuhan, perkembangan, kejayaan, kemunduran, dan mulai abad ke-19 ada gejala-gejala menuju kebangkitan kembali.[1] Tetapi, menurut Ismail Raji al-Faruqi, umat Islam sekarang benar-benar terpuruk dan terhina, baik secara fisik maupun mental. Citra umat Islam selalu dipojokkan dengan sebutan agresif, destruktif, ekstrimis, eksklusif, mengingkari hukum, teroris, biadab, fanatik, fundamentalis, dan dunianya selalu dipenuhi dengan pertentangan, perpecahan, dan peperangan, serta dunia Islam adalah dunia yang sakit.[2]
Kemunduran umat Islam disebabkan oleh adanya dikotomi ilmu, ilmu tradisional (Islam) pada satu sisi, dan ilmu sekuler modern (umum) pada sisi lain[3], dan telah lama terjadi dualisme dalam sistem pendidikan umat Islam, yaitu sistem pendidikan tradisional (Islam) dan sistem pendidikan sekuler modern (umum).[4]
Buku ini berusaha mengungkap konsep pendidikan yang menghidupkan, yaitu pendidikan yang diselenggarakan secara integratif untuk mengatasi persoalan-persoalan yang dihadapi oleh umat manusia. Kelemahan sistem pendidikan umat Islam, karena diselenggarakan secara dualisme, yaitu sistem pendidikan tradisional (Islam) pada satu sisi dan sistem pendidikan sekuler modern (umum) pada sisi lain. Fazlur Rahman berusaha mengintegrasikan kedua sistem pendidikan tersebut, sebagai solusi atas persoalan dualisme sistem pendidikan umat Islam.
Menurut Syafi’i Ma’arif, buku Rahman yang berjudul Islam and Modernity, Transformation of an Intellectual Tradition semula berjudul Education and Modernity (Pendidikan Islam dan Modernitas), karena memang buku itu berisi pendidikan Islam dalam perspektif sejarah dengan al-Qur’an sebagai kriterium penilai. Buku itu, terutama bab III, berisi sejarah pendidikan Islam di Mesir, Turki, Iran, India, dan Indonesia. Menurut Ma’arif, Rahman tidak banyak mengenal Indonesia, tetapi dengan sedikit informasi yang diperolehnya, sudah cukup baginya untuk bersikap optimis dalam menatap masa depan Islam di Indonesia.[5]
Muhammad Taufik berusaha melacak asal-usul dan perkembangan intelektualisme (pendidikan tinggi Islam) menurut Rahman.[6] Pelacakan Taufik ini terbatas pada asal-usul dan perkembangan pendidikan tinggi Islam, tanpa melihat pendidikan tinggi Islam dari segi faktor-faktor pendidikannya. Karena itu, penelitian Taufik tidak mengungkap sisi-sisi dalam dari pendidikan tinggi Islam, kecuali bentuk kelembagaan yang berupa madrasah, dan bidang kajian (materi) dari lembaga pendidikan tinggi Islam. Penelitian itu tidak sampai mengungkap masalah peserta didik, pendidik, sarana-prasarana pendidikan, pengelola pendidikan, apalagi kurikulum pendidikan tinggi.
Kemudian, Muhaimin berusaha meneliti pemikiran Rahman dalam modernisasi pendidikan Islam. Muhaimin melihat dan mengungkap pemikiran pendidikan Rahman dari segi faktor-faktor pendidikan, yang meliputi tujuan pendidikan, sistem pendidikan, peserta didik, pendidik, dan sarana pendidikan. Tujuan pendidikan Islam, menurut Rahman, adalah untuk kebahagiaan hidup di dunia dan di akherat sesuai dengan ajaran al-Qur’an. Sikap umat Islam terhadap ilmu pengetahuan harus bersifat positif karena ilmu pengetahuan itu tidak ada yang salah. Seandainya terjadi kesalahan, berarti yang salah itu adalah penggunanya.[7]
Sistem pendidikan umat Islam yang terdikotomikan kepada sistem tradisional (Islam) dan modern (sekuler) harus segera dicarikan solusinya. Proses pemecahan masalah atas problem ini dapat dilakukan dengan cara mengintegrasikan antara ilmu-ilmu yang dipelajari pada sistem pendidikan tradisional dan yang dipelajari pada sistem pendidikan modern secara organis dan menyeluruh. Diharapkan suatu ketika nanti, sistem pendidikan umat Islam dapat menghasilkan ilmuwan sekaliber Ibnu Sina, al-Kindi, al-Farabi, dan Ibnu Rusyd. Mereka itu adalah ahli ilmu agama sekaligus ilmu umum karena kedua ilmu itu tidak dibedakan apalagi didikotomikan. Pada prinsipnya, ilmu pengetahuan itu adalah satu, yaitu berasal dari Allah SWT. sebagian diwahyukan melalui ayat-ayat Qur’aniyah dan sebagian lain melalui ayat-ayat kauniyah.[8]
Akibat dari adanya sistem pendidikan yang dikotomis ini lahirlah pribadi-pribadi yang memiliki standar moral ganda. Misalnya, seorang muslim yang taat beribadah, pada saat yang lain melakukan korupsi, menindas orang lain, dan melakukan perbuatan-perbuatan tercela. Untuk mengatasi hal ini, peserta didik harus diberikan pelajaran al-Qur’an melalui metode-metode yang memungkinkan kitab suci itu bukan sekedar sebagai sumber inspirasi, tetapi juga sebagai sumber rujukan tertinggi untuk memecahkan masalah-masalah dalam kehidupan sehari-hari yang semakin kompleks dan menantang. Cara mengatasi hal di atas perlu juga dilakukan dengan mengajarkan disiplin-disiplin ilmu Islam secara historis, kritis, dan holistik kepada peserta didik.[9]
Penelitian Muhaimin, walaupun kelihatan dapat melihat dan mengungkap pemikiran pendidikan Rahman secara komprehensip, tetapi belum dapat memetakan dan mengemas pemikiran pendidikan Rahman sesuai dengan tuntutan pembahasan pemikiran pendidikan kontemporer. Misalnya, melihat pemikiran pendidikan Rahman dari segi kurikulum, yang meliputi tujuan pendidikan, materi atau bahan pendidikan, metode dan strategi pendidikan, serta evaluasi pendidikan secara bulat dan utuh. Muhaimin baru dapat menemukan sebagian dari unsur-unsur kurikulum itu, misalnya tujuan pendidikan, sedikit materi, dan metode pendidikannya, tetapi belum dapat mengungkap materi, metode, dan evaluasi pendidikan menurut Rahman secara mendalam. Unsur-unsur dari kurikulum yang sudah ditemukan itu pun tidak disusun dan dikemas sebagai satu kesatuan sistem yang saling terkait.
Pemikiran pendidikan Rahman jika disistematisasikan ke dalam empat unsur utama kurikulum dapat ditemukan sebagai berikut. Tujuan pendidikannya adalah: (1) untuk mengembangkan manusia- sedemikian rupa sehingga semua pengetahuan yang diperolehnya akan menjadi organ pada keseluruhan pribadi yang kreatif, yang memungkinkan manusia untuk memanfaatkan sumber-sumber alam untuk kebaikan umat manusia dan untuk menciptakan keadilan, kemajuan, dan keteraturan dunia, (2) untuk menyelamatkan manusia dari diri sendiri oleh diri sendiri dan untuk diri sendiri, dan (3) untuk melahirkan ilmuwan yang padanya terintegrasi ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum modern, yang ditandai oleh adanya sifat kritis dan kreatif yang dapat menghasilkan temuan-temuan yang berguna bagi umat manusia.
Materi pendidikan menurut Rahman, jika dikaitkan dengan klasifikasi ilmu pengetahuan, dapat ditemukan adanya pengetahuan tentang alam, pengetahuan tentang sejarah (sosial), dan pengetahuan tentang manusia (humaniora). Akan tetapi, jika materinya disesuaikan dengan tujuan pendidikan yang ketiga (sebagaimana tersebut di atas), maka materinya tentu saja terdiri dari ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum modern. Mengenai metode pembelajarannya dilakukan dengan menekankan pada cara-cara memahami dan menganalisis materi pelajaran, bukan sekedar mengulang-ulang materi pelajaran sampai hafal. Lebih dari itu, metode pembelajaran dapat menerapkan metode gerakan ganda (a double movement). Gerak pertama terkait dengan siswa, dan gerak kedua terkait dengan fungsi sosial di masyarakat. Gerak pertama berupa penyadaran pada siswa dan gerak kedua merupakan kemampuan siswa berperan dalam masyarakat. Akhirnya, indikator utama yang dipakai untuk melakukan evaluasi adalah lahirnya ilmuwan yang kritis dan kreatif yang dapat menghasilkan temuan-temuan yang berguna bagi umat manusia.
Akhirnya, dapat diketahui bahwa jika pendidikan Islam di Indonesia bersedia mengikuti pemikiran pendidikan Rahman, secara berangsur-angsur motivasi umat Islam Indonesia terhadap pengembangan ilmu akan semakin kuat, dikotomi ilmu di kalangan umat Islam Indonesia akan semakin terkikis, yang diikuti oleh semakin pudarnya dualisme dalam sistem pendidikan umat Islam di Indonesia. Jika hal ini dapat berjalan dengan baik, tidak mustahil, suatu ketika nanti, pendidikan tinggi Islam di Indonesia dapat melahirkan ilmuwan-ilmuwan Muslim yang kritis dan kreatif yang dapat menghasilkan temuan-temuan yang berharga, yang dapat menyelesaikan problem-problem umat manusia.
Studi tentang pemikiran pendidikan bisa mengenai kelembagaan, tokoh, fasilitas, pengelolaan, keuangan, sistem, kurikulum, peserta didik, pendidik, dan sebagainya. Pendidikan Islam[10] jika dilihat dari proses pembelajarannya memiliki berbagai faktor, seperti peserta didik, pendidik, kurikulum, sarana, dan lingkungan. Kurikulum menjadi salah satu faktor pendidikan yang sangat penting. Hilda Taba, ketika membahas kurikulum, mulai dari analisis tentang krisis pendidikan.[11] Hal ini dapat dipahami bahwa kalau terjadi krisis dalam pendidikan, faktor yang perlu dilihat lebih dahulu adalah kurikulumnya. Kemudian, dari kurikulum perbaikan pendidikan dapat dimulai. Kurikulum juga dapat dipakai sebagai alat untuk melihat pemikiran pendidikan dari seorang tokoh.
Semula terma kurikulum dipakai pada dunia olahraga terutama atletik, dengan pengertian a running course or race course especially a chariot race,
yaitu jarak tertentu yang harus ditempuh dalam waktu tertentu (dari start sampai finish). Kemudian, terma tersebut dipakai pada dunia pendidikan dengan pengertian sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh dalam waktu tertentu untuk mencapai suatu program (ijazah) tertentu.
Dalam perkembangan selanjutnya, pengertian kurikulum mengalami perluasan makna. Peter F. Oliva memahami kurikulum sebagai a plan or program for the learning experiences that the learner encounters under the direction of the school.[12] Alexander memberikan pengertian kurikulum sebagai the sum total of school’s efforts to influence learning whether in the classroom, on the playground, or out of school.[13] Yaitu segala usaha sekolah untuk mempengaruhi belajar baik di ruang kelas, di tempat bermain, maupun di luar sekolah. Alberty memandang kurikulum sebagai all of the activities that are provided for students by the school.[14] Yaitu semua aktivitas yang disediakan untuk siswa oleh sekolah. Smith memandang kurikulum sebagai a sequence of potential experiences of disciplining children and youth in group ways on thinking and acting.[15] Yaitu sejumlah pengalaman yang potensial untuk mendisiplinkan anak dan pemuda agar mereka dapat berpikir dan berbuat. Hilda Taba memahami kurikulum sebagai a plan for learning,[16] yaitu suatu perencanaan untuk pelajaran. Akhirnya, perlu disimpulkan bahwa kurikulum adalah segala pengalaman anak dibawah bimbingan sekolah (all the experiences that pupils have under the guidance of school).
Melalui kajian terhadap berbagai buku tentang kurikulum, akhirnya dapat diketahui bahwa kurikulum pendidikan terdiri dari empat komponen utama, yaitu tujuan, materi, metode, dan evaluasi.[17] Tujuan pendidikan, sebagai komponen pertama dari kurikulum, adalah sesuatu yang akan dicapai oleh peserta didik melalui proses pendidikan itu. Oliva membedakan istilah “outcome”, “aims”, “curriculum goals”, “curriculum objectives”, “instructional goals”, dan “instructional objectives”. Istilah “outcome” dipakai untuk menunjukkan hasil sementara secara umum. “The aims of education” adalah pernyataan sangat luas dan umum mengenai tujuan pendidikan. “Curriculum goals” (tujuan kurikuler umum) didefinisikan sebagai tujuan umum dan terencana tetapi tanpa disertai kriteria pencapaiannya, sedangkan “curriculum objectives” ( tujuan kurikuler khusus) adalah target khusus dan terencana serta disertai dengan kriteria pencapaiannya. “Instructional goals” (tujuan pembelajaran umum/TPU) adalah pernyataan mengenai target pembelajaran umum, yang dibuat dengan istilah tidak operasional dan tidak dapat diukur, serta dengan tanpa kriteria pencapaiannya, sedangkan “instructional objectives” (tujuan pembelajaran khusus/TIK) adalah perilaku peserta didik yang diharapkan, yang dibuat dengan istilah operasional serta dapat diukur.[18]
Berbagai macam istilah tujuan pendidikan seperti tersebut di atas, perlu disederhanakan guna untuk melihat tujuan pendidikan menurut Rahman. Misalnya, cukup dengan dua istilah tujuan pendidikan, yaitu tujuan pendidikan secara khusus dan tujuan pendidikan secara umum. Misalnya, tujuan pendidikan
secara khusus menurut Rahman adalah untuk mengembangkan manusia sedemikian rupa sehingga semua pengetahuan yang diperolehnya akan menjadi organ pada keseluruhan pribadi yang kritis dan kreatif. Kemudian, tujuan pendidikan secara umum adalah untuk memungkinkan manusia memanfaatkan sumber-sumber alam untuk kebaikan umat manusia dan untuk menciptakan keadilan, kemajuan, dan keteraturan dunia.[19]
Komponen yang kedua dari kurikulum adalah materi atau bahan pendidikan. Materi atau bahan pendidikan bisa berupa kitab kuning (seperti di pesantren-pesantren salaf), buku-buku, jurnal-jurnal, laporan-laporan hasil penelitian, dan apa saja yang dapat digunakan sebagai konteks untuk mencapai tujuan pendidikan yang telah ditentukan. Materi pendidikan pada masa sekarang diatur dalam bentuk nama-nama mata pelajaran atau matakuliah sesuai dengan nomenklatur keilmuannya. Dari masing-masing mata pelajaran atau mata kuliah tersebut terdapat sekian banyak literatur yang berfungsi sebagai bahan atau sumber pembelajaran. Kemudian, pembahasan kerangka materi seperti tersebut akan digunakan untuk melihat seperti apa bahan atau sumber pendidikan menurut Rahman. Misalnya, Rahman dengan mengacu kepada al-Qur’an meminta manusia supaya mempelajari apa yang terdapat pada diri manusia itu sendiri, alam semesta, dan sejarah umat manusia.[20] Dari sini barangkali dapat dilacak materi atau sumber pendidikan menurut Rahman.
Komponen kurikulum yang ketiga adalah metode pendidikan. Metode pendidikan diperlukan untuk mengatur proses pembelajaran mulai dari persiapan sampai dengan melakukan evaluasi. Adalah John P. Miller, seorang ahli metode pembelajaran dari Ontario Institute for Studies in Education yang banyak melakukan kritik terhadap metode pembelajaran. Menurut Miller banyak peserta didik yang tidak tertarik belajar di kelas, bahkan mereka merasa tersiksa. Oleh karena itu, disusunlah model pembelajaran yang menarik bagi peserta didik dengan diberi nama Humanizing The Classroom: Models of Teaching in Affective Education.[21] Melvin L. Silberman mengemukakan 101 strategi pembelajaran yang dapat mengaktifkan peserta didik. Menurut Silberman jika peserta didik hanya mendengarkan pelajaran, mereka akan lupa; jika mendengar dan melihat, mereka ingat sedikit; jika mereka mendengar, melihat dan melakukan diskusi, mereka akan faham; jika mereka mendengar, melihat, berdiskusi dan melakukan, mereka akan memperoleh pengetahuan dan keterampilan; dan jika mereka dapat mengajarkan kepada peserta didik lain, mereka akan menguasainya.[22] Kemudian, metode dan strategi pembelajaran tersebut akan digunakan untuk melihat dan meneliti metode pembelajaran menurut Rahman. Rahman banyak melakukan kritik terhadap metode pendidikan umat Islam terutama pada abad pertengahan yang hanya sekedar mengulang-ulang pelajaran sampai hafal. Metode semacam ini disebut metode mekanis. Sebaliknya, Rahman menyarankan kepada umat Islam agar menuntut dan mengembangkan ilmu pengetahuan dengan melakukan observasi, analisis, dan eksperimen.[23] Disamping itu, Rahman juga mengemukakan metode gerakan ganda. Metode ini dapat dipahami, dirumuskan kembali dan diterapkan dalam proses pembelajaran.
Komponen kurikulum yang keempat adalah evaluasi hasil belajar. Evaluasi digunakan untuk mengetahui seberapa jauh tujuan pendidikan telah dicapai peserta didik. Evaluasi hasil belajar yang baik adalah evaluasi yang dapat mengevaluasi semua proses pendidikan mulai dari awal sampai akhir, yang dapat mengevaluasi baik aspek kognitif, afektif maupun psikomotor. William E. Blank mengemukakan suatu jenis evaluasi yang disebut dengan evaluasi performansi. Menurut Blank hanya dengan evaluasi performansi seorang pendidik dapat mengetahui bahwa peserta didiknya telah mencapai tujuan pendidikan yang telah ditentukan atau belum.[24] Kemudian, evaluasi jenis ini akan digunakan untuk melihat pemikiran pendidikan neomodernisme Rahman. Misalnya, sebagaimana telah dikemukakan di atas bahwa tujuan pendidikan menurut Rahman adalah untuk mengembangkan manusia- sedemikian rupa sehingga semua pengetahuan yang diperolehnya akan menjadi pribadi yang kritis dan kreatif yang memungkinkannya memanfaatkan sumber-sumber alam untuk kebaikan umat manusia dan untuk menciptakan keadilan, kemajuan, dan keteraturan dunia. Untuk mengetahui seberapa jauh tujuan pendidikan ini telah dicapai oleh peserta didik, maka perlu dilakukan evaluasi terhadap performansi peserta didik terutama dari sifat kritis dan kreatif, dari segi kemampuan memanfaatkan sumber-sumber alam untuk kebaikan manusia, dan dari segi keberhasilannya menciptakan keadilan, kemajuan, serta keteraturan dunia.
Kemudian, Pendidikan Islam, jika dilihat dari proses pengembangan kurikulumnnya, dapat diketahui adanya tiga langkah kegiatan, yaitu merencanakan, mengimplementasikan, dan mengevaluasi. Sebagaimana disebutkan oleh Murry Print berikut:
“ Once a curriculum has been conceptualized, through the process of curriculum planning and incorporating a curriculum design, it may then be developed, usually to become a written document and finally to be implemented and evaluated. …the process of planning, implementing, and evaluating learning opportunities intended to produce desired changes in learners”.[25]
Ketiga langkah kegiatan tersebut dapat diskemakan sebagai berikut.
PERENCANAAN
IMPLEMENTASI
EVALUASI

Kegiatan perencanaan meliputi pengembangan kurikulum dan silabus. Dalam pengembangan kurikulum biasanya dimulai dari pengembangan landasannya, yang meliputi landasan yuridis/normatif, filosofis, sosiologis, dan psikologis. Landasan yuridis/normatif bisa berupa aturan-aturan normatif atau peraturan perundang-undangan. Landasan filosofis berupa pandangan hidup suatu bangsa atau umat beragama tertentu. Landasan sosiologis adalah landasan empiris yang mengarahkan pendidikan itu akan dibawa ke masyarakat seperti apa. Landasan psikologis menjadi pedoman untuk menentukan tingkat kematangan kejiwaan peserta didik yang akan dihasilkan oleh pendidikan tersebut.
Keempat landasan pengembangan kurikulum itu akan digunakan untuk melihat konsep pendidikan Rahman. Misalnya, dapat diketahui bahwa landasan normatif dari pendidikan Rahman adalah al-Qur’an dan al-Sunnah; landasan filosofisnya adalah pandangannya terhadap kesatuan Tuhan, alam semesta dan manusia, landasan sosiologisnya adalah sejarah peradaban umat manusia, dan landasan psikologisnya adalah kebebasan jiwa manusia untuk menentukan pilihannya sendiri’ dengan penuh tanggungjawab.
Setelah keempat landasan tersebut terumuskan dengan baik, langkah selanjutnya adalah merumuskan tujuan pendidikan, menentukan materi pendidikan, metode pembelajaran, dan evaluasi hasil belajar. Setelah itu, baru dapat dilakukan pengembangan silabus. Silabus pada hakekatnya dibuat untuk menyusun komponen-komponen yang ada pada kurikulum tersebut secara logis dan sistematis. Oleh karena itu, komponen-komponen yang harus ada pada silabus adalah keempat komponen yang ada dalam kurikulum, kemudian ditambah alokasi waktu, media pembelajaran, dan sumber pembelajaran. Setelah silabus tersusun dengan baik, kegiatan selanjutnya adalah implementasi. Implementasi merupakan kegiatan pembelajaran dengan materi sebagai konteks untuk mencapai tujuan yang telah dirumuskan. Kemudian, kegiatan terakhir adalah melakukan evaluasi hasil belajar. Persoalannya adalah apakah pemikiran pendidikan Rahman dapat dilihat dan dimasukkan ke dalam tiga langkah kegiatan pengembangan kurikulum sebagaimana tersebut di atas? Jika dapat, kira-kira seperti apa wujudnya, dan bagaimana implementasinya pada pendidikan Islam di Indonesia? Jawaban terhadap persoalan-persoalan itu akan ditemukan pada bab-bab berikutnya.
[1] Pembagian ini tidak mengikuti pembagian menurut Harun Nasution dan Ahmad Syafi’i Ma’arif. Harun Nasution membagi sejarah Islam ke dalam tiga periode besar, yaitu (1) periode klasik (650-1250 M) yang merupakan zaman kemajuan, (2) periode pertengahan (1250-1800 M), merupakan fase kemunduran dan stagnasi, dan (3) periode modern (1800- sekarang) adalah masa kebangkitan kembali umat Islam. Lebih lanjut lihat Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Bulan Bintang, Jakarta, 1992, hlm. 12-14. Menurut Ahmad Syafi’i Ma’arif, dalam perspektif sejarah, babakan studi Islam dapat dilihat dalam empat dimensi waktu, yaitu: (1) klasik (abad 9-14 M), (2) pra-modern (abad 15-17 M), modern (abad 18-20 M), dan (4) neo-modern (mulai Rahman dst). Secara lengkap baca A. Syafi’i Ma’arif, Islam Kekuatan Doktrin dan Kegamangan Umat, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1997, hlm. 34-37.
[2] Ismail Raji al-Faruqi, Islamization of Knowledge, The International Institute of Islamic Thought, United States of America, 1989, hlm.1
[3] Dalam hal ini Fazlur Rahman menjelaskan: …the most fateful distinction that came to be made in the course of time was between the religious sciences (ulum shariah) or traditional sciences and the rational or secular sciences (ulum aqliya or ghayr shariya), toward which a gradually stifling attitude was adopted. Lebih lanjut lihat Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition, The Uiversity of Chicago Press, Chicago, 1984, hlm. 33.
[4] Lihat Fazlur Rahman, Islamic Studies, 6, No. 4, (Desember 1967), hlm. 320-326.
[5] Lihat “Kata Pengantar dalam buku Islam dan Modernitas, tentang Transformasi Intelektual (Terj. Ahsin Mohammad) Pustaka, Bandung, cetakan II, 1995, hlm. vi-viii.
[6] Penelitian berjudul “Transformasi Sebuah Tradisi Intelektual, Asal Usul dan Perkembangan Pendidikan Islam” semula thesis M. Ag di PPs IAIN Sunan Kalijaga, kemudian dimuat dalam Al-Jami’ah, No. 63/VI/ 1999, hlm. 128-150.
[7] Muhaimin, dkk., Kontroversi Pemikiran Fazlur Rahman, Studi Kritis Pembaharuan Pendidikan Islam, Pustaka Dinamika, Cirebon, 1999, hlm. 110.
[8] Ibid.
[9] Ibid., hlm. 111-112.
[10] Kata pendidikan sinonim dengan kata tarbiyah (dalam bahasa Arab). Pendidikan Islam (terjemahan dari tarbiyah Islamiyah) dipahami sebagai proses untuk mengembangkan fitrah manusia, sesuai dengan ajarnya (pengaruh dari luar). Baca Zakiyah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam, Bumi Aksara, Jakarta, 1992, hlm. 25. Naquib al-Attas menekankan pendidikan Islam sebagai proses untuk membentuk kepribadian Muslim. Lihat Aims and Objectives of Islamic Education, King Abdul Aziz University, Jeddah, 1979, hlm. ix. Pendidikan dipandang sebagai sistem sosial yang dapat membentuk subsistem-subsistem dalam sistem sosial secara total. Lihat Bassam Tibi, Islam and the Cultural Accomodation of Social Change, Westview Press, 1991, hlm. 113. Pendidikan merupakan proses pertumbuhan membentuk pengalaman dan perubahan yang dikehendaki dalam individu dan kelompok melalui interaksi dengan alam dan lingkungan kehidupan. Lihat Omat Mohammad at-Toumy al-Syaibany, Falsafah Pendidikan Islam, Penerjemah Dr. Hasan Langgulung, Bulan Bintang, Jakarta, 1979, hlm. 399. Pendidikan Islam dipahami sebagai pendidikan manusia seutuhnya, akal dan hatinya, rohani dan jasmaninya, akhlak dan keterampilannya. Lihat Yusuf al-Qardhawi, Pendidikan Islam dan Madrasah Hasan al-Banna, terj. Bustani A. Gani dan Zainal Abidin Ahmad, Bulan Bintang, Jakarta, 1980, hlm. 39. Pendidikan Islam sebagai proses penyiapan generasi muda untuk mengisi peranan, memindahkan pengetahuan dan nilai-nilai Islam yang diselaraskan dengan fungsi manusia untuk beramal di dunia dan memetik hasilnya di akherat. Lihat Hasan Langgulung, Beberapa Pemikiran tentang Pendidikan Islam, al-Ma’arif, Bandung, 1980, hlm. 94.
[11]Lihat Hilda Taba, Curriculum Development, Theory and Practice, Harcourt, Brace & world, Inc., New York, 1962, hlm. 1-3.
[12] Peter F. Oliva, Developing the Curriculum, Harper Collins Publishers, United States of America, Third Edition, 1992, hlm. 20.
[13] Lihat J. G. Saylor, dan W. M. Alexander, Curriculum Planning for Better Teaching and Learning, Rinehart, 1954, hlm. 9.
[14] Lihat Harold B. Alberty, Reorganizing the High School Curriculum, McMillan Company, New York, 1965.
[15] Lihat B. O. Smith, W. O. Stanly, and H. J. Shores, Fundamentals of Curriculum Development, World Book Co., New York, 1959, hlm. 3.
[16] Lihat Hilda Taba, Curriculum Development, Theory and Practice, Harcourt, Brace & world, Inc., New York, 1962.
[17] Dasar yang digunakan untuk menyimpulkan dapat dilihat pada S. Nasution, Pengembangan Kurikulum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1991, hlm. 12, lihat pula Nana Syaudah Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktek, Rosda, Bandung, 2000, hlm. 110, dan buku-buku lain tentang kurikulum.
[18] Peter F. Oliva, Developing the Curriculum, Harper Collins Publishers, United States of America, Third Edition, 1992, hlm. 181-182.
[19] Fazlur Rahman, “The Qur’anic Solution of Pakistan’s Educational Problems” dalam Islamic Studies 6, no. 4, 1967, hlm. 315.
[20] Ibid., hlm. 316.
[21] Lebih lanjut baca John P. Miller, Humanizing The Classroom: Models of Teaching in Affective Education, Praeger Publishers, New York, 1976.
[22] Lebih lanjut baca Melvin L. Silberman, Active Learning: 101 Strategies to Teach any Subjects, Allyn & Bacon, USA, 1996.
[23] Lebih lanjut baca Fazlur Rahman, “The Qur’anic Solution of Pakistan’s Educational Problems” dalam Islamic Studies 6, no. 4, 1967, hlm. 317-320.
[24] Lebih lanjut baca William E. Blank, Handbook for Developing Competency-based Training Programs, Prentice-Hall, Inc., Englewood Cliffs, New Jersey, 1982, hlm. 153-158.
[25] Murry Print, Curriculum Development and Design, Allen & Unwin, Australia, 1993, hlm. 23.
BAB II
PEMBAHARUAN DALAM PENDIDIKAN ISLAM

Pembahasan bab ini berusaha mengungkap perjalanan pembaharuan pendidikan Islam sesuai dengan perjalanan waktu, tetapi tidak secara eksplisit menyebutkan periodisasi (periode klasik, tengah dan modern). Pembahasan ini dimulai dari pendidikan bangsa Arab sebelum Islam. Hal ini penting untuk mengetahui perbedaan pendidikan bangsa Arab antara sebelum dan sesudah Islam.
Sebelum Islam datang, tradisi pendidikan bangsa Arab terfokus pada tradisi lisan seperti pewarisan ilmu pengetahuan, nilai, dan tradisi berlangsung dari mulut ke mulut, dari generasi ke generasi.[1] Walaupun dalam jumlah kecil, lembaga pendidikan Kuttab sudah dikenal sejak zaman Jahiliyah.[2] Sedemikian sedikit dan lambatnya perkembangan Kuttab sehingga pada saat Islam datang orang Quraisy yang dapat baca tulis sangat sedikit. Di antara mereka adalah Umar bin Khaththab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Abu Ubaidah, Yazid bin Abu Sufyan, dan Zaid bin Tsabid. Ketika wahyu turun, Nabi Muhammad SAW. meminta sahabatnya yang pandai menulis untuk mencatatnya. Di antara mereka yang diminta oleh Rasulullah untuk menuliskan wahyu adalah Ubay bin Ka’ab al-Anshari, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, dan Zaid bin Tsabid.[3]
Kemudian, wahyu yang turun itu disampaikan oleh Nabi kepada keluarga terdekat secara diam-diam, lalu secara terbuka dan meluas. Selanjutnya, setiap kali Nabi menerima wahyu, segera disampaikan kepada umatnya, disertai dengan penjelasan dan contoh pengamalannya. Pada tahun-tahun awal dari kenabiannya, wahyu yang turun selalu terkait dengan keimanan. Ini merupakan kesempatan bagi Nabi untuk meluruskan dan memurnikan aqidah para pengikutnya. Dengan demikian, tujuan pendidikan, ketika itu, adalah untuk meluruskan dan memurnikan aqidah para pengikutnya. Materinya adalah wahyu yang telah diterima Rasul, terutama tentang keimanan. Metode pembelajaran dilakukan dengan cara Rasulullah menyampaikan dan menjelaskan wahyu yang telah diterima kepada sahabat-sahabatnya, kalau perlu disertai dengan tanya jawab dan contoh pengamalannya. Proses pendidikan ini semula berlangsung di rumah-rumah sahabat dan yang paling terkenal adalah Dar al-Arqam. Kemudian, ketika masyarakat Islam sudah terbentuk, pendidikan diselenggarakan di Masjid. Pendidikan di dua tempat ini dilakukan dengan sistem halaqah ‘lingkaran belajar’.[4]
Nabi mengutus seorang guru ke Yatsrib (yang kemudian bernama Madinah), sebelum beliau hijrah ke sana. Setelah hijrah, Nabi melakukan berbagai upaya untuk mengembangkan pendidikan. Tujuan pendidikan, ketika itu, adalah untuk menanamkan aqidah Islam, menghapus kebodohan, dan menyebarkan hikmah. Selama kurang dari 23 tahun, Nabi berhasil membentuk kelompok-kelompok sahabat, yang masing-masingnya bagaikan cahaya terang menyinari cakrawala dunia dengan cahaya kenabian. Sahabat-sahabat itu diibaratkan sebagai al-Qur’an berjalan.
Setelah umat Islam berhasil membangun Masjid, pendidikan umat Islam dilakasanakan di al-Sufah.[5] Tujuan pendidikan ini adalah untuk dapat membaca, menulis, memahami, menghafal, dan mengamalkan wahyu. Tujuan akhirnya adalah untuk membersihkan hati dan jiwa para sahabat, sehingga mereka dapat naik dari tingkat iman ke ihsan. Materi yang diajarkan di al-Sufah adalah wahyu yang telah diterima oleh Nabi, dan telah dituliskan oleh para penulis wahyu, di samping materi membaca dan menulis. Gurunya adalah Nabi sendiri dan sahabat-sahabat yang ditunjuk oleh beliau.
Kemudian, sejalan dengan perjalanan waktu, kehidupan umat Islam mengalami perkembangan, hingga suatu ketika muncul berbagai persoalan yang belum tentu dapat ditemukan jawabnya pada wahyu al-Qur’an dan al-Sunnah. Sedangkan, tidak bisa lagi bertanya kepada Nabi, karena beliau sudah wafat. Apabila hal ini dibiarkan, semakin lama, permasalahan umat semakin menumpuk. Hal inilah yang mendorong para ulama untuk melakukan ijtihad, yang pada gilirannya dapat memunculkan berbagai aliran pemikiran.[6]
Kemudian, pada masa-masa berikutnya, pendidikan Islam dilaksanakan di kuttab, istana, toko buku, rumah ulama, majlis atau salon kesusasteraan, rumah sakit, perpustakaan, dan Masjid. Pendidikan formal Islam, menurut Azyumardi Azra, baru muncul pada masa lebih belakangan, yakni dengan kebangkitan madrasah. Beberapa sejarahwan pendidikan Islam menganggap bahwa madrasah pertama didirikan oleh Wazir Nizham al-Mulk pada tahun 1064 M. [7] Akan tetapi, penelitian lebih akhir mengungkapkan bahwa madrasah-madrasah lebih dahulu ada di Nishapur, Iran. Kemudian al-Jami’ah yang muncul paling awal dengan fungsi sebagai lembaga pendidikan tinggi adalah al-Azhar di Cairo, Zaituna di Tunis dan Qarrawiyin di Fez.[8]
Dalam berbagai bentuk, menurut Rahman, pendidikan Islam ketika itu menerapkan metode membaca dan menulis, tetapi yang paling lazim adalah menghafal al-Qur’an dan al-Hadis. Namun, ada juga kelompok kecil yang berusaha mengembangkan kemampuan intelektual. Kemudian, pada masa Abbasiyah, khalifah-khalifah tertentu, seperti Harun al-Rasyid dan al-Ma’mun menekankan adu pendapat di anatara para pelajar di istana mengenai persoalan logika, hukum, gramatika, dan sebagainya.[9]
Tujuan pendidikan umat Islam pada umumnya, pada masa abad tengah, menurut Rahman, adalah untuk memenuhi kewajiban dari Allah dan Rasul-Nya, serta untuk mencapai kebahagiaan hidup di negeri akhirat. Materi pendidikannya meliputi membaca dan menulis, berhitung, al-Qur’an, al-Hadis, komentar dan superkomentar, fikih, Ilahiyah, adab, thabi’iyah, thib, dan astronomi. Metode pembelajaran pada masa abad tengah adalah dengan cara membaca, kemudian mengulang-ulang sampai hafal. Metode demikian ini oleh Rahman disebut dengan metode belajar secara mekanis. Ketika itu tidak ada ujian akhir tahun, tetapi peserta didik bisa naik ke tingkat lebih tinggi atas rekomendasi guru-guru mereka.[10]
Pada masa modern, menurut Rahman, perkembangan pendidikan di dunia Islam yang paling spektakuler terjadi di Turki. Partai Republik melihat bahwa partai oposisi (partai Demokrat) telah berhasil mengkampanyekan kebebasan pendidikan yang bersifat religius. Pemimpin partai Republik, Inonu, memutuskan untuk mengabaikan oposisi tersebut dan mendirikan sekolah Imam-Khatib pada tahun 1948. Kemudian, menjelang tahun 1949 Fakultas Teologi dibuka di Universitas Ankara.[11]
Sekolah Imam-Khatib dan Fakultas Teologi dianggap sebagai pemisahan satu sama lain karena tidak disebutkan adanya keterkaitan antara keduanya. Sekolah Imam-Khatib bertujuan untuk mencetak fungsionaris agama, sedangkan Fakultas Teologi diharapkan menjadi pusat studi pengembangan keilmuan dan interpretasi Islam. Baru, pada tahun 1959, gagasan tentang pendirian lembaga Islam yang lebih tinggi muncul.[12]
Menurut Rahman, masalah pokok sebelum adanya sistem baru pada pendidikan Islam di Turki adalah masalah sumber daya manusia karena sebagian besar ulama dari generasi tua sudah meninggal dan sebagian kecil yang masih hidup sudah
sangat tua. Di daerah pedalaman, memang, tidak sulit mencari guru untuk sekolah tingkat rendah, tetapi untuk sekolah tingkat tinggi guru dapat dikatakan langka.[13] Oleh karena itu, tujuan pendidikan diarahkan untuk dapat mengatasi kelangkaan guru, terutama guru untuk sekolah tingkat tinggi.
Selanjutnya, harapan yang amat besar terletak pada adanya mobilitas dalam kehidupan intelektual pendidikan yang baru dalam Islam. Mobilitas ini merupakan kualitas karakter Turki yang sudah melekat erat. Jika agama harus dimasukkan dan diintegrasikan dengan pendidikan nasional, hal ini mengimplikasikan bahwa usaha yang interpretatif dan kreatif merupakan bagian dari usaha para cendekiawan secara terus-menerus sehingga agama tidak hanya diselamatkan dari kegelapan dan apologetik, tetapi juga membantu membuat kehidupan nasional menjadi berarti dengan memberikannya suatu orientasi moral yang baru. Dengan cara ini, perkembangan aktual dapat terjadi.[14]
Sistem Pendidikan Islam di Turki, dimulai dari dasar-dasar tentang al-Qur’an, al-Hadis, dan Fikih. Kesemuanya itu amatlah diperlukan sekalipun penekanannya pada Bahasa Arab.[15] Kemudian, problem muncul, ketika para siswa ingin meniti karir di luar bidang keislaman. Hal itu bisa terjadi karena mata pelajaran non Islam yang diberikan kepada siswa amat kurang jika dibandingkan dengan mata pelajaran di sekolah-sekolah umum. Akibatnya, siswa yang ingin masuk universitas harus mengikuti ujian lagi yang tentu saja harus mengorbankan waktu paling tidak satu tahun. Akan tetapi, hal ini juga menjadi problem umum yang dihadapi oleh negara-negara Muslim yang mencoba untuk mengintegrasikan pendidikan Islam (yang mempunyai makna) dengan pendidikan modern yang memang sulit menemukan solusi secara pintas.[16]
Dalam beberapa bidang ilmu pengetahuan modern, seperti antropologi, sosiologi, dan ilmu penyakit jiwa, ilmuwan Turki telah menghasilkan beberapa materi yang memperoleh pengakuan internasional. Prestasi ini tidak bisa dicapai oleh negara Muslim lainnya kecuali Pakistan yang melahirkan seorang ilmuwan fisika matematika. Yang membedakan orang-orang Turki dengan penduduk negara Islam lainnya adalah sangat sedikitnya ilmuwan di sana yang memilih hidup di luar negeri, dan ini merupakan manifestasi dari rasa nasionalisme orang-orang Turki.[17]
Pendidikan yang terjadi di al-Azhar, menurut Rahman, telah mengalami pembaharuan sejak abad ke sembilan belas, terutama dilakukan oleh Muhammad Abduh. Pengaruh Abduh dapat dirasakan dalam bidang reorganisasi, tujuan pendidikan, materi pendidikan terutama dengan pengenalan disiplin-disiplin baru, metode pembelajaran, dan sistem ujian. Pembaharuan al-Azhar yang paling radikal terjadi pada tahun 1960-an. Pada tahun 1961, sebuah aturan baru dibuat untuk mendirikan fakultas kedokteran, fakultas pertanian, dan fakultas teknik yang merupakan bagian dari universitas al-Azhar. Pembaharuan yang sangat besar itu dipaksa oleh suatu kenyataan bahwa jumlah mahasiswa yang makin bertambah di al-
Azhar tidak dapat berkompetisi dengan produk-produk sistem pendidikan umum. Maka, sebagai solusinya dibukalah fakultas-fakultas tersebut.[18] Para pengelola lembaga pendidikan ini mulai menyadari tentang pentingnya lembaga pendidikan tinggi merespon berbagai kebutuhan masyarakat. Kenyataan menunjukkan bahwa masyarakat bukan hanya membutuhkan para ahli agama, tetapi juga ahli kedokteran, pertanian, teknik dan sebagainya.
Kemudian, Rahman membandingkan pembaharuan pendidikan yang terjadi di Turki dan Mesir dengan pendidikan yang terjadi di Iran. Menurut Rahman, pendidikan Islam di Turki didukung oleh pemerintah atas dasar tuntutan masyarakat dan atas sumbangan masyarakat, sedangkan pendidikan Islam di Mesir dibiayai dan didominasi oleh pemerintah serta dikonsentrasikan pada satu lembaga, yaitu al-Azhar. Sementara itu, situasi di Iran berbeda dari yang ada di kedua negara tersebut. Lembaga ulama “bebas” di sana dan secara mendasar didukung oleh pedagang dan kebanyakan masyarakat, dengan bantuan dari organisasi-organisasi waqaf. Melalui hukum tahun 1907, 1911, 1930, dan 1934, pemerintah Iran telah mencoba menerapkan sistem pendidikan Islam di bawah kontrol organisasi dan kurikulum dari pemerintah, akan tetapi, hasilnya kurang baik.[19]
Ketika itu, ulama Iran secara politis sangat kuat pengaruhnya, khususnya sejak paruh kedua abad ke sembilan belas. Tetapi, menurut Rahman, kasusnya sama seperti di Mesir bahwa pengetahuan tradisional para ulama membuat mereka konservatif, disamping amat jarang muncul pembaharu yang progresif dari kalangan mereka. Ulama juga tidak akan “bebas” manakala tidak di bawah kontrol dan supervisi pemerintah. Lebih jauh, Rahman menjelaskan bahwa kontrol dan intervensi dari pemerintah dapat membahayakan bagi moral pemimpin agama, dan terhadap substansi pendidikan itu sendiri. Contohnya mengenai hukum Iran tahun 1934 yang mengurangi kurikulum pendidikan Islam, sebegitu banyak, terhadap substansi materi yang harus dipelajari (kurang atau lebih sedikit) dari matrikulasi yang terstandar.[20]
Walaupun kaum tradisional dengan teori-teorinya telah berhasil masuk ke dalam area sekolah yang berorientasi pada ushul fikih, namun muncul suatu gerakan yang menentang pendidikan yang berorientasi pada ushul fikih tersebut. Mereka membentuk suatu kelompok yang disebut “The Association for a Religious Monthly”, dan menerbitkan majalah bulanan dengan nama “Guftaar-i-Maah” atau “Monthly Speeches”. Beberapa ulama muda bergabung bersama mereka, khususnya mahasiswa-mahasiswa Burujirdi. Pandangan-pandangan dari para reformis ditampilkan dalam majalah tersebut. Tokoh yang paling terkenal dari Asosiasi ini adalah Murtadha Mutahhari, seorang ilmuwan dari Fakultas Teologi Universitas Teheran.[21]
Di Iran, menurut Rahman, terdapat juga suatu fenomena yang lebih radikal yang dikenal sebagai “Husainiya Irsyad” atau Bimbingan Husain”. Orang yang tertarik pada kelompok baru ini adalah Ali Syari’ati yang menggabungkan pendidikan
tradisional dengan gelar Doktor dalam Sosiologi dari Sorbonne. Syari’ati memberikan peringatan yang keras kepada ulama Syi’i, termasuk para imam, untuk turun ke bumi. Ia meminta kepada Syi’ah untuk bersatu dengan masyarakat Sunni yang lebih besar. Meskipun generasi muda menyambut hangat permintaan tersebut, namun ulama konservatif dan pemerintah merasa tersinggung terhadap langkah-langkah drastis yang dia usulkan untuk “membangunkan” umat Islam melawan eksploiter baik dari dalam negeri sendiri maupun dari negara asing (Barat). Oleh karena itu, satu per satu teman-teman meninggalkannya. Setelah selama tujuh tahun melakukan eksperimen modernisasi dengan baik, Husainiya Irsyad Syari’ati mengalami kemunduran dan dia sendiri dimasukkan ke dalam penjara.[22]
Tentang pembaharuan pendidikan di Pakistan, pada tanggal 27 Nopember 1947 dalam suatu Konferensi Pendidikan, Fazlur Rahman menyatakan sebagai berikut.
“Oleh karena itu, masalah kepuasan bagi saya adalah kepuasan anda juga sehingga sekarang kita mempunyai kesempatan untuk melakukan reorientasi terhadap kebijakan pendidikan secara menyeluruh untuk dapat mengkaitkannya dengan kebutuhan zaman dan mampu merefleksikan cita-cita negara Islam Pakistan”.[23]

Selama seperempat abad, di Pakistan telah terjadi penyimpangan-penyimpangan pemimpin pendidikan tradisional. Mereka mengabaikan ilmu pengetahuan modern sampai taraf tertentu sehingga tidak ada keleluasaan untuk berdialog antara mereka yang telah menerima pendidikan modern dan lulusan-lulusan seminari. Seminari-seminari tersebut memang berhasil melestarikan ilmu pengetahuan
teologi klasik dan menelorkan imam-imam Masjid. Akan tetapi, mereka kurang memperoleh informasi dan kualitas pendidikannya kurang baik. Dengan demikian, menurut Rahman, pendidikan semacam itu tidak akan mampu membantu mengembangkan pertumbuhan kesadaran beragama.[24]
Selanjutnya, Rahman mempertanyakan mengapa Pakistan gagal dalam menghasilkan orang-orang yang mumpuni dalam lapangan keislaman, selain hanya mampu mencetak para insinyur. Di satu sisi ilmu teknik merupakan “skill” yang diperoleh melalui metode pengajaran yang dirancang secara baik, sementara di sisi lain, Islam hanya bersentuhan dengan soal kenyataan pemikiran dan keyakinan, tetapi tidak begitu bersentuhan dengan “skill” meskipun hal ini bukan alasan yang esensi. Selain itu, kecakapan-kecakapan profesional semacam itu tidak ada di institusi pendidikan Pakistan. Misalnya, teknologi nuklir dapat diperoleh dari Eropa dan Amerika, tetapi pemikiran Islam yang murni tidak dapat diperoleh orang-orang Pakistan dari negara Barat ataupun negara Muslim.[25]
Di Pakistan, menurut pengamatan Rahman, terdapat suatu fenomena Islam yang sangat penting dalam sektor swasta di samping madrasah, yaitu Jama’at-i-Islami. Secara politis maupun sosial, Jama’at ini sudah aktif sejak awal tahun 40-an. Namun, performan dari perspektif pendidikan Islam bukan hanya tidak mencukupi, tetapi sungguh-sungguh membahayakan. Jama’at ini tidak hanya mengembangkan institusi pendidikan mereka sendiri dalam bidang keislaman, melainkan juga
menghalangi pertumbuhan pendidikan Islam di sektor swasta. Tidaklah salah jika dikatakan bahwa tidak ada perkembangan pendidikan Islam yang berarti yang dihasilkan oleh Jama’at tersebut.[26]
Setelah pembentukan negara Pakistan antusiasme terhadap studi Islam bertambah pesat, hingga dibukalah Departemen Keislaman di Universitas Punjab pada tahun 1950. Namun, masalah pengajar masih merupakan masalah yang harus dihadapi karena sulitnya mencari tenaga dosen yang benar-benar memadai. Permasalahan ini sebenarnya tidak hanya dihadapi oleh negara Pakistan saja, tetapi juga dihadapi oleh negara-negara Islam lainnya di seluruh dunia. Memang, sesuatu hal akan terasa aneh kalau umat Islam belajar Islam ke Barat. Banyak orang takut jika umat Islam belajar ke Barat untuk mempelajari dan menerapkan metode-metode analisis dan kritis terhadap materi-materi keislaman. Mungkin, mereka itu menjadi “orang buangan” di masyarakat atau, bahkan, mengalami penyiksaan. Namun, kemajuan harus segera diusahakan. Oleh karena itu, penerapan teknik riset yang modern mutlak diperlukan.[27]
Selama rezim Muhammad Ayyub Khan, menurut Rahman, terjadi tiga perkembangan yang pantas diperhatikan. Pada tahun 1961 dibukalah sebuah akademi ulama dengan bantuan Departemen Waqaf. Akademi ini memberikan sumbangan yang cukup besar dengan cara memberikan in-service training selama beberapa minggu kepada para ulama dengan sistem kuliah oleh ahli-ahli administrasi dan ekonomi, bahkan ada semacam diskusi panel. Tentu saja kegiatan semacam ini sangat bermanfaat meskipun cakupannya sangat terbatas.[28]
Kemudian, pada tahun 1963, dengan bantuan Departemen Waqaf, dibentuklah institusi pendidikan yang lebih tinggi dengan mengubah madrasah lama Jami’i ‘Abbasiya, yaitu madrasah kecil-kecil digabungkan menjadi satu dengan Universitas Islam. Institusi ketiga dirancang sebagai penafsiran dan riset keislaman yang lebih tinggi dan disebut “the Central Institute of Islamic Research”. Institusi ini diresmikan oleh Presiden Ayyub Khan pada tahun 1960, yang kemudian namanya diubah menjadi “the Islamic Research Institute”.[29]
Selanjutnya, institusi ini menghadapi masalah sumber daya manusia. Selama dipimpin oleh Rahman (1962-1968), strategi yang dicoba diterapkan untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah dengan mengangkat beberapa lulusan madrasah yang mempunyai pengetahuan bahasa Inggris, kemudian diberi pelatihan teknik penelitian modern, atau merekrut sarjana yunior lulusan universitas jurusan filsafat atau ilmu-ilmu sosial, kemudian diberi pengetahuan bahasa Arab dan disiplin ilmu Islam klasik yang penting seperti Hadis dan Hukum Islam. Di samping usaha-usaha itu, dilakukan juga pengiriman beberapa mahasiswa ke luar negeri untuk memperoleh pelatihan dan gelar dalam studi Islam, baik di negara Barat maupun Timur. Rahman juga berusaha mengundang doktor-doktor dari Barat untuk menjalin kerja sama dan mengawasi riset yang dilakukan oleh para mahasiswa. Namun, usaha ini gagal karena tidak ada doktor
yang seperti itu. Institusi tersebut juga telah menerbitkan majalah ilmu pengetahuan tentang Islamic Studies.[30] Akhirnya, Rahman sampai pada kesimpulan bahwa vitalitas sebuah karya intelektual sangat tergantung pada lingkungan kebebasan intelektual. Tidak bisa dikatakan bahwa pikiran dapat bertahan tanpa kebebasan. Sebagaimana semua pemikiran, pemikiran Islam juga memerlukan kebebasan.[31]
Berbeda dengan pendidikan Islam di Indonesia yang terikat erat dengan pikiran-pikiran ulama ahli fikih, tafsir, hadis, tauhid, dan tasawuf pada abad pertengahan.[32] Pendidikan Islam di Nusantara mulai bersamaan dengan Islam masuk ke sana.[33] Pada awalnya, pendidikan Islam di Nusantara berjalan secara alami, yaitu para da’i datang ke sana sambil berdagang. Karena asal mereka jauh, mereka harus bermukim di sana selama beberapa minggu, bahkan, sampai beberapa bulan dan tahun. Tidak jarang di antara mereka, akhirnya, menetap di Nusantara, lalu menikah dengan wanita pribumi sampai mempunyai anak keturunan. Tempat mereka bermukim (sekaligus) dijadikan sebagai pusat-pusat pendidikan. Hal ini berjalan relatif lama sampai kolonialisme Eropa datang. Kedatangan kolonial Belanda ke Nusantara sedikit banyak mempengaruhi pendidikan Islam tradisional di daerah tersebut. Sebelum kedatangan koloni, proses pendidikan Islam lebih lancar daripada sesudahnya, karena perhatian umat Islam banyak tersita untuk menghadapi mereka.
Pesantren dengan dukungan berbagai pihak berupaya keluar dari tekanan-tekanan penjajah. Bersamaan dengan itu, muncul kesadaran secara nasional untuk berjuang melawan penjajah demi kemerdekaan Indonesia. Setelah merdeka, lembaga-lembaga pendidikan di pesantren sebagian besar berubah menjadi lembaga pendidikan formal, yang sebagian besar bernaung di bawah Departemen Agama. Sejak itu sampai sekarang, pendidikan di pesantren belum memperoleh perhatian yang layak dari pemerintah. Pesantren (khususnya) dan pendidikan Islam (umumnya) selalu dianaktirikan oleh pemerintah, baik Orde Lama maupun Orde Baru. Seiring datangnya era reformasi, pendidikan Islam menaruh secercah harapan untuk memperoleh perlakuan yang sama adil dengan pendidikan umum di negara ini.
Seperti Pakistan dan Turki, hampir dalam waktu yang sama, Indonesia telah membuat permulaan yang baik pada pendidikan Islam secara modern. Pengorganisasian Turki yang bagus telah menghasilkan struktur pendidikan Islam eksternal. Di Pakistan perkembangan kehidupan intelektual Islam terhambat oleh berbagai faktor, sedangkan di Indonesia meskipun Islam mengalami kesulitan dalam bidang politik, upaya-upaya dalam bidang pendidikan Islam lebih berhasil. Namun, masih saja terdapat problem yang terkait dengan kurangnya tenaga pengajar dan peneliti yang berkualitas sehingga tidak ada kemajuan disiplin ilmu Islam klasik yang terkait dengan kehidupan modern.
Menurut A. Mukti Ali, perlu ada pembaharuan pada sistem pendidikan dan pengajaran di pondok pesantren dalam rangka merealisir tujuan pendidikan Nasional. Yang dimaksud dengan pembaharuan di sini adalah suatu usaha untuk mengganti yang jelek dengan yang baik, dan mengusahakan yang baik menjadi lebih baik. Alasan diadakan pembaharuan itu adalah (1) pelajaran dan pendidikan di pondok pesantren yang di dalamnya terdapat madrasah, (2) pada situasi sekarang tolok ukur yang dijadikan untuk mengukur baik atau tidaknya pendidikan di pondok pesantren adalah seberapa jauh pendidikan dan pengajaran di pondok pesantren itu dapat menunjang pembangunan Nasional, (3) pondok pesantren, pada umumnya, berada di luar kota atau di desa-desa dan sebagian besar santri adalah anak-anak petani dan nelayan. Oleh karena itu, pondok pesantren mempunyai kedudukan yang strategis dalam rangka pembangunan Nasional, dan (4) pondok pesantren mempunyai jasa yang besar dalam kebangkitan nasional dan dalam mempertahankan tegak berdirinya Negara Republik Indonesia, dan merupakan tempat pendidikan yang paling utama dalam menanamkan dan menyiarkan ajaran Islam di kalangan masyarakat Indonesia.[34]
Sasaran yang hendak diperbaharui, menurut A. Mukti Ali adalah, pertama mental mau dibangun diganti dengan mental membangun, yang memiliki ciri-ciri (a) sikap terbuka, kritis, dan suka meneliti, (b) melihat ke depan, (c) teliti dalam bekerja, (d) mempunyai inisiatif dalam menggunakan metode-metode baru untuk berbuat sesuatu sekalipun anggota masyarakat lainnya belum atau tidak mempergunakannya, (e) lebih sabar dan tahan bekerja dan (f) bersedia bekerja sama dengan lembaga-lembaga lain. Kedua, pembaharuan kurikulum pondok pesantren, dan ketiga, pengajaran dan pendidikan yang berhubungan dengan ketrampilan kerja. Pembaharuan pondok pesantren akan diarahkan untuk jangka pendek supaya dapat mencukupi tenaga kerja tingkat rendah dan menengah yang cakap, dan untuk jangka panjang, supaya dapat ikut aktif dalam pembangunan untuk menciptakan masyarakat adil makmur lahir batin.[35]
Pembaharuan di pondok pesantren dilakukan dengan cara menerapkan kurikulum “Madrasah Wajib Belajar”[36] secara bertahap pada pondok-pondok pesantren. Departemen Agama supaya membentuk panitia perencana dan koordinasi Pilot Projek Pendidikan ala Madrasah Wajib Belajar, dengan tugas (1) merumuskan pokok-pokok gagasan pembentukan proyek-proyek perintis, dan (2) mengadakan koordinasi dan supervisi terhadap pelaksanaan proyek-proyek perintis tersebut. Di samping itu, Depag juga membentuk panitia yang mempunyai kegiatan inservice education dan preservice education. Kemudian, kurikulum supaya diorientasikan pada kehidupan dan lapangan kerja di masyarakat.[37] Adapun pelaksana-pelaksana pembaharuan pendidikan dan pengajaran pada pondok pesantren adalah (1) bapak kiai dan ustadz-ustadz sebagai pelaksana langsung, (2) para supervisor sebagai pelaksana bantu, dan (3) para ahli yang telah maju dalam masyarakat.[38]
A. Mukti Ali menyarankan usaha pembaharuan sistem pengajaran dan pendidikan di pondok pesantren supaya dilakukan dengan: (1) mengubah kurikulum supaya berorientasi pada kebutuhan masyarakat, (2) kurikulum ala Madrasah Wajib Belajar hendaknya digunakan sebagai patokan untuk pembaharuan itu, (3) mutu guru-gurunya hendaknya ditingkatkan, juga prasarana-prasarana pendidikan diperbaharui, (4) usaha pembaharuan ini hendaknya dilaksanakan secara bertahap dengan didasarkan pada hasil-hasil penelitian yang seksama tentang kebutuhan riil masyarakat yang sedang membangun, (5) hasil usaha pembaharuan ini memakan waktu panjang. Oleh karena itu, bagi pihak-pihak yang bertanggungjawab dalam
sektor pembangunan di luar sektor pendidikan diharap adanya pengertian yang sungguh-sungguh untuk tidak lekas-lekas menarik kesimpulan bahwa pondok pesantren tidak penting diusahakan pembangunan dan pembaharuan. (6) Pada hakekatnya, pembangunan dan pembaharuan sistem pengajaran dan pendidikan di pondok pesantren sudah amat mendesak. Oleh karena itu, Departemen Agama dan pemimpin-pemimpin Islam, khususnya para kiai yang mempunyai pondok pesantren, sekarang lebih serius menaruh perhatian dan bersikap positif terhadap usaha pembaharuan dan pembangunan pondok pesantren itu.[39]
A. Mukti Ali juga menyarankan adanya peningkatan mutu pendidikan pada madrasah mulai dari tingkat Madrasah Ibtidaiyah sampai Madrasah Aliyah. Madrasah tidak banyak diperhitungkan karena dipandang tidak dapat menjanjikan apa-apa untuk kehidupan masa depan. Dari segi agama, alumni madrasah kalah jika dibandingkan dengan pondok pesantren, dan dari segi ilmu umum tertinggal jauh jika dibandingkan dengan alumi sekolah umum. Karena itu madrasah sebagai lembaga pendidikan agama tidak memperoleh posisi yang semestinya di kalangan masyarakat Islam sekalipun.
Di samping itu, beliau melihat bahwa selama beberapa dasa warsa, Indonesia selalu didominasi oleh ABRI. ABRI memiliki pengkaderan yang sangat rapi dan bagus. Mulai dari pendidikan, mereka mempunyai Taruna Nusantara, Akabri, dan sebagainya. Pejabat pemerintah mulai dari pusat sampai ke daerah-daerah hampir
semuanya diisi oleh ABRI atau pensiunan ABRI. Padahal, status alumni madrasah ketika itu tidak dapat masuk ke Taruna Nusantara dan Akabri. Maka, jarang ditemui pejabat pemerintah yang berlatarbelakang pendidikan madrasah.
Karena itu, upaya perbaikan madrasah difokuskan pada segi perbaikan statusnya. Usaha Mukti Ali ini mulai tampak hasilnya dengan lahirnya Keputusan Bersama Menteri Agama, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, serta Menteri Dalam Negeri, tentang Peningkatan Mutu Pendidikan pada Madrasah, yang ditandatangani pada tanggal 24 Maret 1975. Keputusan Bersama Tiga Menteri ini kemudian lebih dikenal dengan SKB 3 Menteri. Maksud dan tujuan peningkatan mutu pendidikan pada Madrasah adalah agar tingkat mata pelajaran umum dari Madrasah mencapai tingkat yang sama dengan tingkat mata pelajaran umum di Sekolah Umum yang setingkat, sehinmgga: (1) ijazah Madrasah dapat mempunyai nilai sama dengan ijazah Sekolah Umum yang setingkat, (2) lulusan Madrasah dapat melanjutkan ke Sekolah Umum setingkat lebih atas, dan (3) siswa Madrasah dapat berpindah ke Sekolah Umum yang setingkat.[40]
Adapun, bidang-bidang peningkatan pendidikan mencakup: (1) peningkatan mutu pendidikan pada Madrasah meliputi bidang kurikulum, buku-buku pelajaran, alat-alat pendidikan lainnya dan sarana pendidikan pada umumnya, serta pengajaran; (2) untuk mencapai tujuan peningkatan mutu pendidikan umum pada Madrasah -

ditentukan agar Madrasah menyesuaikan pelajaran umum yang diberikan setiap tahun di semua tingkat sebagai berikut: a) pelajaran umum pada Madrasah Ibtidaiyah sama dengan standard pengetahuan pada Sekolah Dasar, b) pelajaran umum pada Madrasah Tsanawiyah sama dengan standard pengetahuan pada Sekolah Menengah Pertama, dan c) pelajaran umum pada Madrasah Aliyah sama dengan standard pengetahuan pada Sekolah Menengah Atas; (3) untuk melaksanakan yang tersebut pada ayat (2) huruf a di atas, lama belajar pada Madrasah Ibtidaiyah dapat diperpanjang dari 6 tahun menjadi 7 tahun, atau menambah jam pelajaran setiap harinya.[41]
Pembaharuan pendidikan Islam juga dilakukan pada lembaga pendidikan tinggi Islam di Indonesia. IAIN Yogyakarta dan Jakarta yang telah menghasilkan banyak sarjana Islam, mulai tahun 1960-an, dikembangkan di kota-kota lain hingga jumlahnya mencapai 14 buah. Kemudian, fakultas-fakultas jauh dari IAIN, pada tahun 1996/1997, mandiri menjadi STAIN, yang jumlahnya tidak kurang dari 33 buah. Perluasan kelembagaan berikutnya, IAIN Jakarta berubah menjadi Universitas Islam Negeri (UIN), kemudian diikuti secara bersama-sama IAIN Yogyakarta dan STAIN Malang berubah menjadi UIN.
Seperti halnya di Turki, menurut Rahman, lembaga pendidikan Islam di Indonesia banyak, tetapi tidak seperti di Pakistan yang menekankan pada bahasa Arab, namun banyak siswa serta guru Indonesia seperti di Turki yang pandai berbahasa Arab klasik. Banyak lembaga pendidikan tinggi Islam di Indonesia yang menjalin hubungan dengan al-Azhar melalui kunjungan profesor, dan siswa-siswa Indonesia banyak yang meneruskan kuliah di sana.[42] Selanjutnya, lembaga pendidikan tinggi Islam itu banyak menjalin kerjasama dengan berbagai perguruan tinggi, baik di dalam maupun luar negeri. Melalui Departemen Agama, antara lain, UIN/ IAIN menjalin kerjasama dengan McGill University (Canada), Leiden (Belanda), Chicago (Amerika) dan Sorbon (Perancis).

[1] Hasan Asari, Menyingkap Zaman Keemasan Islam, Mizan, Bandung, 1994, hlm. 16.
[2] Ahmad Syalabi, Sejarah Pendidikan Islam, terj. Muchtar Yahya dan M. Sanusi Latief, Bulan Bintang, Jakarta, 1973, hlm. 33.
[3] Syekh Ahmad bin Hajar, Sejarah Baca Tulis Nabi Muhammad SAW., terj. M. Halabi Hamdi dan Joko S., Pustaka Iqra’, Yogyakarta, 2000, hlm. 54.
[4] Azyumardi Azra, Pendidikan Islam, Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, hlm. Vii.
[5] Suatu bilik yang menyatu dengan masjid Nabi yang didirikan sebagai tempat bagi sahabat-sahabat yang tidak mempunyai tempat tinggal sendiri.
[6] Pada garis besarnya, pemikiran Islam yang muncul ketika itu dapat dibedakan ke dalam tiga pola. Pertama, pola pemikiran yang bersifat skolastik, yaitu pola pemikiran yang terkait dengan dogma-dogma dan berpikir dalam rangka mencari pembenaran terhadap dogma-dogma agama. Mereka terikat pada al-Qur’an dan al-Hadis. Menurut pola pikir ini, kebenaran yang sesungguhnya hanya diperoleh melalui wahyu, sedangkan akal berfungsi sebagai alat untuk menerima dan memahaminya. Maka akal harus tunduk pada wahyu. Kedua, pola pemikiran yang bersifat rasional, yang lebih mengutamakan akal pikiran. Pola pikir ini menganggap bahwa akal pikiran dapat mencapai kebenaran. Menurut aliran ini, kebenaran wahyu tidak mungkin bertentangan dengan kebenaran akal. Kalau kelihatan terdapat pertentangan antara keduanya, wahyu harus dita’wilkan secara rasional. Dan ketiga, pola pemikiran yang bersifat batiniyah dan intuitif. Pola pemikiran terakhir ini berasal dari mereka yang berlatar belakang sufi. Menurut mereka, kebenaran yang sesungguhnya dan yang tertinggi adalah kebenaran yang diperoleh melalui pengalaman-pengalaman batin dalam kehidupan mistis dan dengan jalan berkontemplasi.
[7] Azyumardi Azra, Pendidikan Islam, Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, hlm. viii.
[8] Bassam Tibi, Islam and the Cultural Accommodation of Social Change, hlm. 108.
[9] Fazlur Rahman, Islam, The University of Chicago Press, Ltd., London, Second Edition, 1979, hlm.181.
[10] Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition, hlm. 35-37.
[11] Ibid, hlm. 92.
[12] Ibid., hlm. 94
[13] Ibid., hlm. 94-95.
[14] Ibid., hlm. 95-96.
[15] Hal ini sangat kontras dengan sistem pendidikan Pakistan “modern”, yang kurang menekankan pembelajaran Bahasa Arab.
[16] Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition, hlm. 97.
[17]Ibid., hlm. 98.
[18] Ibid., hlm. 99-102. Lihat juga Fazlur Rahman, Islam, The University of Chicago Press, Ltd., London, Second Edition, 1979, hlm.183.
[19] Ibid., hlm. 104. Baca juga Fazlur Rahman, Islam, The University of Chicago Press, Ltd., London, Second Edition, 1979, hlm.183-184.
[20] Ibid., hlm. 106.
[21] Ibid., hlm. 107-108.
[22] Ibid., hlm. 109.
[23] Ibid., hlm. 110.
[24] Ibid., hlm. 112.
[25] Ibid., 113.
[26] Ibid., hlm. 115-116.
[27] Ibid., hlm. 119.
[28] Ibid., hlm. 122.
[29] Ibid.
[30] Ibid., hlm. 123-125.
[31] Ibid.
[32] Zamakhsari Dhofir, Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kiai (Jakarta: LP3ES, Cet. VI, 1994), hlm. 1.
[33] Menurut Arnold, Islam sudah mulai tersebar di Nusantara sejak abad-abad awal hijrah atau abad ke VII dan VIII M, lihat Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII (Bandung: Mizan, 1994), hlm. 26-27, demikian pula menurut Hamka. Tentang masuknya Islam ke Nusantara (termasuk Jawa), Azyumardi Azra menyimpulkan pada 4 hal sbb: “pertama bahwa Islam dibawa langsung ke Nusantara dari Arabia. Kedua, Islam diperkenalkan oleh para guru dan penyiar professional. Ketiga, bahwa yang mula-mula masuk Islam adalah para penguasa. Dan keempat, Islam tersebar di Nusantara pada abad ke XII dan XIII, lihat Azra, hlm. 31. Sesuai dengan apa yang disimpulkan oleh Azra tersebut, Ridwan Saidi berpendapat: …”pada abad ke XIV telah berdiri pesantren yang pertama di Nusantara, yang didirikan di Karawang dengan nama Qura yang berarti dusun atau desa pedalaman”. Lihat Ridwan Saidi, Kebangkitan Islam Era Orde Baru, Studi Kepeloporan Cendikiawan Islam Sejak Zaman Belanda Sampai ICMI (Jakarta: LSIP, 1993), hlm. 10. Pesantren Qura itu mungkin semula sebagai tempat persinggahan orang Arab yang datang ke Nusantara untuk keperluan dagang dan dakwah Islam. Tempat tersebut, kemudian dijadikan pusat kegiatan pendidikan Islam, dan akhirnya menjadi pondok pesantren. Selanjutnya, pertumbuhan dan perkembangan pesantren di nusantara terkait erat dengan tersebarnya Islam di daerah tersebut. Menurut De Graaf, tokoh terpenting tentang tersebarnya Islam di Nusantara adalah Putri Cempa. Mengenai asal Putri Cempa, De Graaf mengatakan: Maulana Ibrahim dari istrinya, Putri Cempa, mempunyai dua anak yang tua bernama Raja Pandeta atau Raden Santri dan yang muda bernama Pangeran Ngampel Denta atau Raden Rahmat. Raja Pandeta diangkat menjadi Imam di Gresik dan adiknya, Raden Rahmat diangkat menjadi Imam di Surabaya, lihat De Graaf, hlm. 18. Menurut Zuhairini, Raden Rahmat ini bergelar Sunan Ampel yang mewarisi Pondok Pesantren dari ayahnya yang bernama Maulana Ibrahim (Malik Ibrahim). Lihat Sejarah Pendidikan Islam, hlm. 139-140.

[34] A. Mukti Ali, Beberapa Masalah Pendidikan di Indonesia, Yayasan Nida, Yogyakarta, 1971, hlm. 18.
[35] Ibid., hlm. 19 -20.
[36] Kurikulum Madrasah Wajib Belajar adalah kurikulum yang disusun oleh H.A.M.Arifin Temyang diperuntukkan anak yang berusia 6-14 tahun. Kurikulum ini menekankan kemajuan ekonomi, industrialisasi, ketrampilan, swadaya dan daya cipta. Kelas I memerlukan kebun bunga seluas 50m untuk menanam dan memelihara bunga yang dapat dijadikan bahan pelajaran untuk jam kerja tangan. Kelas II mempunyai tanah seluas 100m untuk kebun sayur yang ditanami dan dikerjakan oleh murid sendiri. Kelas III dibuat 3 buah kandang ayam untuk 20 ekor ayam dan satu buah kandang untuk 5 ekor biri-biri, kesemuanya diatas tanah 300m. Ternak itu dipelihara oleh murid. Kelas IV dibuatkan kolam seluas 100m tempat untuk memelihara ikan berbagai jenis yang dipelihara dan diawasi oleh murid sendiri. Kelas V memerlukan pertukangan dengan alat-alat tukang kayu, anyaman pandan, bambu atau rotan. Kelas VI disediakan tanah serta alat-alat untuk persawahan dan untuk kerja tangan. Kelas VII dan VIII selama seminggu setiap bulan murid-murid dititipkan pada perusahaan-perusahaan desa seperti gilingan padi, pabrik kecap, tahu, tempe, pabrik batu bata, genteng, semen, bengkel besi, pandai besi, perkebunan,dsb.
[37] A. Mukti Ali, Beberapa Masalah Pendidikan di Indonesia, hlm. 21-22.
[38] Ibid., hlm. 23.
[39] Ibid., hlm. 26.
[40] Secara detail baca “Keputusan Bersama Menteri Agama, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan serta Menteri Dalam Negeri, No. 6/ 1975; 037/U/1975; 36/ 1975 Tentang Peningkatan Mutu Pendidikan Pada Madrasah”, BAB II, Pasal 2.
[41] Ibid.,
[42] Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition, hlm. 126-127.
BAB III
PEMBAHARUAN UMAT ISLAM MELALUI PENDIDIKAN

Pendidikan umat Islam mengalami proses perkembangan dan pembaharuan secara terus-menerus mulai dari awal Islam sampai sekarang dan seterusnya. Pembaharuan umat Islam, sesungguhnya, dapat mengambil berbagai corak tergantung pada masing-masing modernis dalam memilih jalan. Ada yang memilih jalan tasawuf atau sufi seperti al-Ghazali (1058-1111 M), ada yang melalui usaha membangkitkan kembali ijtihad umat Islam seperti yang dilakukan oleh Ibn Taimiyah (1263-1328), ada yang lebih senang dengan cara membersihkan dan memurnikan aqidah umat Islam seperti yang dilakukan oleh Ibn Abdul Wahab, ada pula yang lebih tertarik melalui jalan politik seperti Jamaluddin al-Afghani, dan banyak pula yang memilih memperbaiki umat Islanm melalui jalan pendidikan seperti yang dilakukan oleh Ahmad Khan, Amir Ali, Namik Kemal, dan Muhammad Abduh. Menurut Rahman usaha pembaharuan umat Islam yang paling dapat dipertanggungjawabkan adalah melalui pendidikan.[1]
Rahman menegaskan bahwa reformasi dan rekonstruksi sebagai instrumen yang kuat untuk membentuk pikiran hanyalah melalui pendidikan. “Reform and reconstruction of that powerful instrument for the shaping of minds –education…”[2] Bahkan, ia berani menjamin bahwa pembaharuan umat Islam dalam bentuk apa pun yang berorientasi pada kemajuan harus bermula dari pendidikan. Pendidikan memerlukan waktu yang relatif lama sampai beberapa generasi dan terkesan lambat, namun, hasilnya meyakinkan.[3]
Akan tetapi, pendidikan umat Islam bukan sekedar dipahami sebagai perlengkapan dan peralatan fisik atau kuasi fisik pengajaran seperti buku-buku yang diajarkan ataupun struktur eksternal pendidikan, melainkan juga sebagai intelektualisme Islam. Bagi Rahman, intelektualisme Islam merupakan esensi dari pendidikan tinggi Islam, dan diyakini sebagai pertumbuhan suatu pemikiran Islam yang asli dan memadai. Oleh karena itu, intelektualisme Islam berfungsi memberikan kriteria untuk menilai keberhasilan atau kegagalan sebuah sistem pendidikan Islam.[4] Dalam hal ini, ia menuliskan sebagai berikut.

…”Islamic education” I do not mean physical or quasi-physical paraphernalia and instruments of instruction such as the books taught or the external educational structure, but what I call “Islamic intellectualism”; for to me this is the essence of higher Islamic education. It is the growth of a genuine, original, and adequate Islamic thought that must provide the real criterion for judging the success or failure of an Islamic educational system.[5]

Dari kutipan di atas dapat diketahui bahwa pembaharu melakukan pembaharuan umat Islam melalui intelektualisme Islam,[6] disamping melalui lembaga-lembaga pendidikan Islam (yang telah ada) pada umumnya, seperti yang diselenggarakan di Pakistan, Mesir, Sudan, Saudi, Iran, Turki, Maroko, dan sebagainya, mulai dari pendidikan dasar sampai perguruan tinggi. Untuk konteks Indonesia, meliputi pendidikan di pesantren, di madrasah (mulai dari Ibtidaiyah sampai Aliyah), dan di perguruan tinggi agama Islam (PTAI).[7]
Dalam konteks pembaharuan melalui intelektualisme Islam umat Islam perlu merekonstruksi sains-sains Islam. Dalam hal ini, Rahman menyarankan untuk merekontruksi sains-sains Islam ke dalam Teologi, Hukum dan Etika, Filsafat, dan Sains-Sains Sosial. Rekonstruksi teologi ditempuh dengan melakukan kritik historis terhadap perkembangan-perkembangan teologi dalam Islam. Kritik ini harus dapat mengungkapkan lingkup ketidaksesuaian antara pandangan dunia al-Qur’an dengan berbagai aliran spekulasi teologi dalam Islam dan menunjukkan jalan ke arah suatu teologi yang baru.[8]
Rahman menginginkan rekonstruksi teologi baru dengan mengesampingkan berbagai doktrin teologi yang bersifat spekulatif dan berlebih-lebihan dari kaum Bathini, Sufi, Rasional (Mu’tazilah), dan Tradisional (Asy’ariyah) yang saling bertentangan. Kalangan Mu’tazilah menyangka adanya sifat-sifat Tuhan, sebaliknya kalangan Asy’ariyah menafikan kekuatan dan kehendak manusia. Misalnya, al-Ghazali dan al-Razi mengemukakan argumen bahwa manusia hanya bisa dikatakan ‘berbuat’ secara metafisik saja, bukan secara riil, karena ‘pelaku’ yang sebenarnya adalah Tuhan. Sementara itu, revivalisme pra-modernisme dan modernisme mengajak umat Islam untuk kembali kepada sumber al-Qur’an yang murni.[9]
Fundamentalisme pra modernisme meyakini bahwa semua bangunan pemikiran teologi itu hanya penjara-penjara dan agama lebih baik tanpa teologi. Lain halnya, modernisme telah mempunyai perhatian terhadap masalah-masalah sosial dan politik. Misalnya, Muhammad Abduh banyak membangkitkan rasionalisme; Sayyid Ahmad Khan menyerukan supaya dikembangkan teologi baru yang sesuai dengan tuntutan zaman. Atas saran tersebut, Muhammad Syibli menulis dua kitab Kalam, yang berupaya mengemukakan kembali argumen-argumen bagi adanya wujud Tuhan, kerasulan dan wahyu. Muhammad Iqbal memahami bahwa al-Qur’an itu dinamis dan berorientasi pada tindakan.[10]
Menurut Rahman, para sarjana Muslim selama ini belum mengupayakan etika al-Qur’an secara sistematis. Esensi etika al-Qur’an adalah matarantai teologi dan hukum. Kegagalan kaum Muslimin membuat perbedaan yang tegas antara etika al-Qur’an dan hukum telah menimbulkan kerancuan di antara keduanya. Akibatnya, baik etika maupun hukum tidak pernah menjadi suatu disiplin dalam dirinya sendiri. Kemudian, dalam kenyataannya hukum Islam bukanlah hukum dalam artian modern.[11]
Rahman melihat bahwa filsafat di dunia Islam mengalami stagnasi, kecuali di Iran. Pada hal, filsafat menjadi kebutuhan intelektual yang abadi. Oleh karena itu, filsafat harus dibiarkan berkembang baik untuk dirinya sendiri maupun untuk disiplin-disiplin lain. Filsafat menanamkan semangat kritis-analisis yang sangat diperlukan dan melahirkan gagasan-gagasan baru yang menjadi alat intelektual yang penting bagi sains-sains lain, termasuk bagi syari’ah dan teologi. Oleh karena itu, suatu umat yang membuang kekayaan filsafat berarti mencampakkan dirinya dalam bahaya kelaparan gagasan-gagasan segar.[12]
Sains-sains sosial, menurut Rahman, sebagai sosok pengetahuan yang perlu disistematisasikan sebagai suatu fenomena modern. Sains-sains ini menjadi perkembangan yang sangat penting, karena dengan manusia di masyarakat sebagai obyek kajiannya, sains-sains ini bisa bercerita banyak tentang bagaimana kelompok-kelompok masyarakat berperilaku dalam berbagai lapangan keyakinan dan tindakan. Menurut Rahman, sains sosial yang terbaik adalah sejarah, apabila dikerjakan dengan baik dan obyektif, karena sejarah mengandung pelajaran. Sejarah makro, bila benar-benar dikerjakan dengan baik, menjadi wujud pengabdian terbaik yang bisa diberikan oleh seorang saintis sosial kepada umat manusia. Itulah sebabnya al-Qur’an terus-menerus mengajak umat Islam untuk ‘berjalan di muka bumi dan melihat nasib akhir bangsa-bangsa’.[13]
Al-Qur’an terus-menerus berbicara tentang tegak dan runtuhnya masyarakat-masyarakat dan peradaban-peradaban, mengenai kebangkrutan moral bangsa-bangsa, tentang suksesi peradaban-peradaban atau pewarisan bumi, tentang fungsi kepemimpinan, tentang kemakmuran, perdamaian dan orang-orang yang melakukan kerusakan di muka bumi tetapi mengira bahwa mereka itu melakukan perbaikan. Kumpulan pemikiran-pemikiran ini perlu disusun berdampingan dengan pemikiran moral murni dari al-Qur’an dan pelajaran-pelajaran dari sejarah yang begitu ditekankan oleh al-Qur’an.[14]
Akhirnya, Rahman menegaskan bahwa upaya memperbaharui masyarakat tanpa menentukan secara ilmiah di mana posisinya saat ini adalah persis seperti seorang dokter yang mengobati seorang pasien tanpa melihat riwayat penyakitnya atau memeriksanya. Dalam kenyataannya, terdapat artian di mana suatu perumusan yang bermakna atas pemikiran al-Qur’an akan tergantung pada kajian faktual seperti itu dan pada metode yang layak untuk menafsirkan fakta-fakta. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa kajian atas perubahan-perubahan sosial adalah sebuah proses, bukan sesuatu yang dipancangkan sekali untuk selamanya. Dalam kenyataannya bidang kajian sosial memang bersifat demikian, karena pokok kajiannya, yaitu perilaku sosial, yang berada terus-menerus dalam proses perubahan.[15]
Kemudian, pendidikan Islam selain dipahami sebagai intelektualisme Islam, sebagaimana tersebut di atas, juga dipahami sebagai proses untuk menghasilkan manusia (ilmuwan) integratif, yang padanya terkumpul sifat-sifat kritis, kreatif, dinamis, inovatif, progresif, adil, dan jujur[16]. Pendidikan dalam pengertian ini, sebagaimana pendidikan pada umumnya, memiliki berbagai faktor, seperti peserta didik, pendidik, kurikulum, sarana dan lingkungan. Kurikulum, sebagaimana disebutkan pada kerangka teori, memiliki empat komponen utama, yaitu tujuan, materi, metode, dan evaluasi. Dengan mendasarkan pada al-Qur’an, tujuan pendidikan menurut Rahman adalah untuk mengembangkan manusia- sedemikian rupa sehingga semua pengetahuan yang diperolehnya akan menjadi organ pada keseluruhan pribadi yang kreatif, yang memungkinkan manusia untuk memanfaatkan sumber-sumber alam untuk kebaikan umat manusia dan untuk menciptakan keadilan, kemajuan, dan keteraturan dunia.[17]
Al-Qur’an memberi kritik keras terhadap pencarian pengetahuan yang merusak nilai-nilai moral.[18] Tanggungjawab pendidik yang pertama adalah menanamkan pada pikiran-pikiran siswa dengan nilai-nilai moral. Pendidikan Islam didasarkan pada ideologi Islam.[19] Karena itu, pada hakekatnya, pendidikan Islam tidak dapat meninggalkan keterlibatannya pada persepsi benar dan salah.[20] Al-Qur’an juga sering berbicara tentang konsep berpasangan seperti al-dunya> dan al-akhirah. Al-dunya> bermakna bernilai lebih rendah, sisi kehidupan meterial, sedikit hasil serta tidak memuaskan. Sementara, al-akhirah menunjukkan sisi sebaliknya, yakni bernilai lebih tinggi, lebih baik, dan menjadi tujuan dari kehidupan. Nilai yang lebih tinggi inilah yang menjadi tujuan pendidikan.[21] Al-Qur’an juga menyuruh manusia mempelajari kejadian yang terjadi pada diri sendiri, alam semesta, dan sejarah umat manusia di muka bumi dengan cermat dan mendalam serta mengambil pelajaran darinya agar dapat menggunakan pengetahuannya dengan tepat serta agar tidak mengikuti orang yang berbuat kerusakan. Oleh karena itu, menjadi kewajiban bagi pemegang pemerintahan Islam untuk merencanakan pendidikan sedemikian rupa sehingga sikap positif manusia tertanam pada lulusan dari sistem pendidikan semacam itu. Pemerintahan Islam harus menangani masalah pendidikan dengan sungguh-sungguh dan tidak boleh mengabaikannya. Pendidikan perlu direncanakan agar dapat menyelamatkan manusia “dari diri sendiri oleh diri sendiri dan untuk diri sendiri”.[22]
Pendidikan Islam mulai abad pertengahan, menurut Rahman, dilaksanakan secara mekanis.[23] Akibatnya, pendidikan Islam lebih cenderung pada aspek kognitif[24] daripada aspek afektif dan psikomotor. Strategi pendidikan Islam masih bersifat defensif, yaitu untuk menyelamatkan pikiran kaum Muslimin dari pencemaran atau kerusakan yang ditimbulkan oleh dampak gagasan-gagasan Barat yang datang melalui berbagai disiplin ilmu, terutama gagasan-gagasan yang mengancam akan rusaknya standar-standar moral Islam tradisional.[25]
Rahman memberi gambaran pendidikan di lingkungan umat Islam pada era abad pertengahan dan pra-modern sebagai berikut.
…the fundamental weakness of medieval Muslim learning, as of all pre-modern learning, was its concept of knowledge. In opposition to the modern attitude which regards knowledge as something essentially to be searched and discovered by the mind to which it assigns an active role in knowledge, the medieval attitude was that knowledge was something to be acquired. This attitude of mind was rather passive and receptive than creative and positive. In the Muslim world this contrast became still more acute because of the opposition between the transmitted or traditional, on the one hand, and the rational on the other. [26]

Artinya: ... kelemahan pokok yang dirasakan dalam proses pembelajaran di lingkungan masyarakat Muslim pada abad pertengahan, juga pada masa pra-modern, adalah konsepsi mereka tentang pengetahuan (knowledge). Bertolak belakang dengan sikap dan cara berpikir keilmuan era modern, mereka memandang bahwa pengetahuan sebagai sesuatu yang pada dasarnya harus dicari dan ditemukan atau dibangun secara sistematis oleh akal pikiran manusia sendiri. Dengan mengandalkan peran akal pikiran manusia untuk memperoleh ilmu pengetahuan, sikap keilmuan abad pertengahan menekankan kenyataan bahwa pengetahuan adalah sesuatu yang “diperoleh”. Sikap dan posisi akal pikiran lebih bersifat pasif dan reseptif daripada bersifat kreatif dan positif. Di dunia muslim, konsepsi dan mentalitas cara berpikir yang bertolak belakang ini menjadi lebih akut lagi lantaran adanya bentuk ilmu pengetahuan yang ditransmisikan begitu saja atau juga sering disebut pengetahuan “tradisional” yang didasarkan pada penukilan dan pendengaran di satu pihak, dan konsep pengetahuan yang bersifat “rational” di lain pihak.
Pendidikan umat Islam kontemporer, menurut Rahman, juga menghadapi berbagai problem. Di antara problem-problem itu, problem metode pembelajaran termasuk yang akut.[27] Peniruan terma-terma dan frase-frase bagaikan burung beo masih menjadi dasar metode pendidikan Islam sebagai konsekuensi logis dari ketidakpunyaan bahasa yang mampu mengekspresikan proses pemikiran yang kokoh. Sayangnya, sebagian mereka berasal dari warisan sistem pendidikan Madrasah. Selama beberapa abad lalu, pendidikan Madrasah cenderung berkonsentrasi pada buku-buku daripada subyek. Anak-anak diajari belajar dengan menghafal, bukan mengolah pikiran secara kreatif. Sehubungan dengan praktik ini, pertumbuhan konsep pengetahuan menjadi rusak. Pengetahuan bukan merupakan sesuatu yang kreatif, melainkan sesuatu yang diperoleh. Hal-hal yang “ada”, baik di dalam buku-buku maupun pada pikiran-pikiran guru telah diperoleh dan tersimpan lama. Inilah yang disebut “ilmu”. Telah banyak ditunjukkan bahwa konsep ini secara diametris bertentangan dengan pandangan pengetahuan sebagai sesuatu pertumbuhan yang terus-menerus dianjurkan oleh al-Qur’an. Pada lembaga-lembaga pendidikan Islam modern juga terjadi tragedi, yaitu belajar dengan menghafal secara besar-besaran dipraktekkan dan pengajaran buku-buku teks serta pelaksanaan ujian secara terus-menerus memprihatinkan.[28]
Selanjutnya, Rahman mengutip apa yang dikatakan oleh Shibli Nu’mani dan Muhammad Abduh. Menurut Nu’mani, para mahasiswa yang telah lama belajar di Dar al-Ulum Kairo, walaupun telah dikenalkan pada sistem pendidikan Barat modern, namun pemikiran mereka tetap tidak dapat mengintegrasikannya. Abduh menyesalkan hal yang sama di al-Azhar Mesir. Dilema ini menjadi ciri utama pendidikan di dunia Islam yang mengembangkan pendidikan tradisional dengan mengadopsi sistem pendidikan Barat modern. Setiap upaya untuk menghilangkan dikotomi ini dan memadukannya secara murni tidak pernah dapat mendatangkan hasil sebagaimana yang diharapkan.[29]
Rahman juga menjelaskan bahwa siswa-siswa yang tertarik pada pendidikan Islam hanya mereka yang tidak diterima pada bidang-bidang yang basah. Penjelasan Rahman itu, sebagai berikut.
“Today, most of the students who are attracted to this field are those who have failed to gain entrance to more lucrative careers. This shows how little awareness there is that creating minds is both more difficult and, in the last analysis, more urgent than constructing bridges.”[30]

Hal di atas menunjukkan bahwa upaya-upaya untuk mengintegrasikan pendidikan tradisional dan pendidikan modern semakin sulit, karena kecenderungan umat Islam pada waktu itu terhadap pendidikan yang dapat mengintegrasikan keduanya belum meningkat, bahkan semakin menurun, disamping kesadaran mereka terhadap upaya-upaya menjadikan pikiran lebih kreatif juga masih sulit. Upaya ke arah integrasi itu semakin sulit lagi karena, tidak banyak calon siswa yang memiliki kemampuan tinggi yang tertarik pada bidang pendidikan, kecuali mereka yang tidak diterima pada bidang-bidang lain yang lebih basah, seperti bidang ekonomi, teknik, dan kedokteran.
Untuk mengatasi masalah tersebut di atas, Rahman mengajukan alternatif pemecahan melalui pembaharuan pendidikan Islam sebagai berikut.
“…to accept modern secular education as it has developed generally speaking in the West and to attempt to ‘Islamize’ it- that is, to inform it with certain key concepts of Islam. This approach has had two distinct goals, although they are not always distinguished from one another: first, to mold the character of students with Islamic values for individual and collective life, and, second, to enable the adepts of modern education to imbue their respective fields of learning at higher levels, using an Islamic perspective to transform, where necessary, both the content and the orientation of these fields. The two goals are closely connected in the sense that molding character with Islamic values is naturally undertaken basically at the primary level of education when students are young and impressionable. However, if nothing is done to imbue fields of higher learning with an Islamic orientation, or if attempts to do so are unsuccessful, when young boys and girls reach the higher stages of education their outlook is bound to be secularized, or they are very likely to shed whatever Islamic orientation they had-which has been happening on a large scale.”[31]

Artinya; …menerima pendidikan sekuler modern sebagaimana telah berkembang secara umum di Barat dan mencoba untuk mengislamkannya - yakni mengisinya dengan konsep-konsep kunci tertentu dari Islam. Pendekatan ini memiliki dua tujuan walaupun keduanya tidak selalu bisa dibedakan satu dengan yang lain. Tujuan pertama adalah membentuk watak pelajar-pelajar dengan nilai Islam dalam kehidupan individu dan masyarakat, dan tujuan kedua adalah memungkinkan para ahli yang berpendidikan modern untuk menanami bidang kajian masing-masing dengan nilai-nilai Islam pada perangkat-perangkat yang lebih tinggi dengan menggunakan perspektif Islam, untuk mengubah -di mana perlu- baik kandungan maupun orientasi kajian-kajian mereka. Kedua tujuan ini berkaitan erat dalam arti bahwa pembentukan watak dengan nilai-nilai Islam secara wajar dilakukan terutama pada pendidikan tingkat pertama ketika pelajar-pelajar masih dalam usia muda dan mudah menerima kesan. Akan tetapi, tidak sesuatu pun yang dilakukan untuk mewarnai pendidikan tingkat tinggi dengan orientasi Islam, atau usaha-usaha untuk melakukan hal itu tidak berhasil, maka apabila pelajar-pelajar tersebut telah mencapai tingkat yang tinggi dalam pendidikan mereka, niscaya pandangan mereka tidak dapat tidak tersekularkan, atau kemungkinan besar mereka akan membuang orientasi Islam apa pun yang pernah mereka miliki - dan ini memang telah terjadi dalam skala yang luas.

[1] Ibid., hlm. 49-50.
[2] Ibid., hlm. 140.
[3] Fazlur Rahman, Islam, hlm. 259-260.
[4] Pengertian pendidikan Fazlur Rahman di atas seperti pengertian pendidikan Muhammad Iqbal yang mendefinisikan pendidikan Islam bukan sekedar proses pembelajaran yang dibatasi oleh empat dinding sekolah dan akademi. Namun, pendidikan Islam dipahami sebagai proses pembinaan baik secara individu maupun sosial untuk membentuk dan mengembangkan generasi berikutnya. Secara ringkas dikatakan: Education, in its full and correct signification, must be visualized as the sum total of all the cultural forces which play on the life of the individual and the community. Lebih lanjut baca K.G. Saiyidain, Iqbal’s Educational Philosophy, Arafat Publication, Lahore, 1938, hlm. 4.
[5] Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition, The University of Chicago Press, Chicago, 1982, hlm. 1
[6] Untuk lebih detail baca buku Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition, terutama hlm. 151-162.
[7] Baca kembali karya-karya Rahman, seperti dalam buku Islam halaman 181-192, dalam buku Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition, dan dalam artikel yang berjudul “The Qur’anic Solution of Pakistan’s Educational Problems”.
[8] Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition, The University of Chicago Press, Chicago, 1982, hlm. 151-152.
[9] Ibid., hlm. 152.
[10] Ibid., hlm. 153.
[11] Ibid., hlm. 154-155.
[12] Ibid., hlm. 157-158.
[13] Ibid., 159-161.
[14] Ibid.
[15] Ibid., hlm. 162.
[16] Berbeda dengan Fazlur Rahman, Azyumardi Azra membagi tujuan pendidikan Islam ke dalam dua tahap, yaitu tujuan antara dan tujuan akhir. Tujuan antara menyangkut perubahan yang diinginkan dalam proses pendidikan Islam, baik berkenaan dengan pribadi anak, masyarakat, maupun lingkungan tempat hidupnya. Tujuan antara ini perlu jelas sehingga pendidikan Islam dapat diukur keberhasilannya tahap demi tahap. Lebih lanjut baca Azyumardi Azra, Esei-Esei Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam, Logos Wacana Ilmu, Jakarta, 1998, hlm. 6-7. Pemikir sebelum Rahman, Muhammad Iqbal mempunyai pendapat hampir sama denga Rahman, tetapi dengan redaksi yang berbeda. Ia menekankan pendidikan Islam untuk membentuk manusia mukmin sejati atau yang biasa disebut dengan insan kamil, dengan ciri-ciri yang diungkapkan sebagai (1) penaka (seakan-akan) Tuhan, (2) khalifah Allah di muka bumi. Lihat KG. Saiyidain, Iqbal’s Educational Philosophy, hlm. 4-5. Menurut hasil Konggres se-Dunia ke-2 tentang Pendidikan Islam melalui seminar konsep dan kurikulum Pendidikan Islam, pendidikan Islam seharusnya bertujuan untuk mencapai keseimbangan pertumbuhan dari pribadi manusia secara menyeluruh melalui latihan-latihan kejiwaan, akal pikiran, kecerdasan, perasaan, dan pancaindera. Pendidikan Islam harus mengembangkan seluruh aspek kehidupan manusia seperti spiritual, intelektual, imajinasi, jasmaniah, keilmiahan, bahasanya, baik secara individual maupun kelompok, serta mendorong aspek-aspek itu ke arah kebaikan dan ke arah pencapaian kesempurnaan hidup. Lihat Syed Ali Ashraf, New Horisons in Muslim Education, Antony Rowe Ltd., Chippenham, Great Britain, 1985, hlm. 4.
[17] Fazlur Rahman, “The Qur’anic Solution of Pakistan’s Educational Problems” dalam Islamic Studies 6, no. 4, 1967, hlm. 315.
[18] Misalnya al-Qur’an menyebutkan, “Katakanlah: apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya? Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya” (Q. S. 18: 103-104). Bila dikatakan kepada mereka: “Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, mereka menjawab ‘sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan” (Q. S. 2: 11).
[19] Yang dimaksud dengan ideologi Islam di sini adalah ideologi Islam yang terkait langsung dengan pendidikan, seperti setiap orang Islam berkewajiban menuntut ilmu sejak dari ayunan sampai liang lahat, ilmu itu sesuatu yang tidak datang dengan sendirinya, tetapi harus dicari dan dikembangkan demi kebaikan manusia baik di dunia maupun di akhirat.
[20] Fazlur Rahman, “The Qur’anic Solution, hlm. 315-316.
[21] Misalnya al-Qur’an memberitahukan, “Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia, sedang mereka tentang kehidupan akhirat adalah lalai. Dan mengapa mereka tidak memperhatikan diri mereka sendiri? Allah tidak menjadikan langit dan bumi serta apa yang ada diantara keduanya melainkan dengan tujuan yang benar dan sesungguhnya kebanyakan manusia benar-benar ingkar akan pertemuan dengan Tuhannya. Dan apakah mereka tidak mengadakan perjalanan di muka bumi dan memperhatikan bagaimana akibat yang diderita oleh orang-orang sebelum mereka?” (Q. S. 30: 7-9).
[22] Fazlur Rahman, “The Qur’anic Solution, hlm. 316-317.
[23] Metode pendidikan secara mekanis adalah metode pendidikan yang secara rutin, mengulang-ulang tanpa memperhatikan unsur pemahaman apalagi kreativitas. Lebih lanjut lihat Fazlur Rahman, Islam, Islam and modernity Transformation of an Intelectual Tradition.
[24] Yang dimaksud dengan aspek kognitif adalah pendidikan yang berorientasi pada pengetahuan tanpa ada pengamalan.
[25] Fazlur Rahman, Islam and Modernity, hlm. 86.
[26] Fazlur Rahman, Islam, hlm. 191.
[27]Problem-problem pendidikan yang lain adalah problem ideologis, dualisme dalam sistem pendidikan, dan bahasa. Lihat Fazlur Rahman “The Qur’anic Solution …”, hlm. 320-321.

[28] Ibid., hlm. 322-323.
[29] Fazlur Rahman, Islam and Modernity, hlm. 130.
[30] Ibid., hlm. 139.
[31] Ibid., hlm. 130-131.
BAB IV
PENDIDIKAN ISLAM YANG MENGHIDUPKAN

Pendidikan merupakan lembaga yang dengan sengaja diselenggarakan untuk mewariskan dan mengembangkan pengetahuan, pengalaman, ketrampilan dan keahlian oleh generasi yang lebih tua kepada generasi berikutnya. Melalui pendidikan sebagian besar manusia berusaha memperbaiki tingkat kehidupan mereka. Terjadi hubungan yang kuat antara tingkat pendidikan seseorang dengan tingkat sosial kehidupannya. Jika pendidikan seseorang maju, tentu maju pula kehidupannya, demikian pula sebaliknya.
Kehidupan suatu bangsa juga ditentukan oleh tingkat pendidikannya. Suatu bangsa yang pendidikannya maju, tentu kehidupannya juga maju, demikian pula sebaliknya. Misalnya, Malaysia tingkat pendidikannya maju, tentu kehidupannya maju pula. Bangsa Indonesia tingkat pendidikannya kurang maju, tentu kehidupannya juga kurang maju. Malaysia dikatakan lebih maju dari Indonesia, karena Malaysia lebih maju pendidikannya dari Indonesia.
Pada umumnya bangsa yang tingkat pendidikannya maju, maju pula perkembangan sains dan teknologinya. Jepang pendidikannya maju, tentu sains dan teknologinya juga maju. Misalnya maju pada bidang teknologi otomotif dan elektronik. Amerika maju pendidikannya, maju pula teknologi explorasi tambang. Sekalipun Amerika tidak lebih banyak memiliki tambang minyak dari Saudi Arabia, tetapi Amerika lebih banyak menguasai minyak, karena canggih di bidang explorasi tambang minyak.
Biasanya bangsa yang tingkat pendidikannya tinggi, pandai mengatasi masalah yang mereka hadapi. Sebaliknya, bangsa yang tingkat pendidikannya rendah, tentu sulit mengatasi masalah yang mereka hadapi. Amerika pandai mengatasi masalah bahan bakar minyak (BBM), sekalipun tidak banyak memiliki tambang minyak, karena tinggi tingkat pendidikannya. Sebaliknya, Indonesia sekalipun memiliki banyak tambang minyak, tetapi sulit mengatasi masalah bahan bakar minyak, karena tingkat pendidikannya rendah, yang mengakibatkan lemah dibidang teknologi explorasi tambang minyak.
Pendidikan yang menghidupkan adalah pendidikan yang dapat mengatasi masalah-masalah yang dihadapi oleh umat manusia. Selama pendidikan tidak diarahkan untuk mengatasi masalah-masalah yang dihadapi manusia, pendidikan itu tidak banyak gunanya. Setiap bangsa menghadapi masalah yang berbeda-beda, karena itu pendidikannya juga berbeda-beda. Demikian pula, karena umat beragama memiliki masalah yang berbeda-beda, maka memiliki jenis pendidikan yang berbeda-beda pula. Namun demikian, secara umum umat manusia itu memiliki masalah yang relatif sama, seperti masalah pekerjaan, kesehatan, makanan, perumahan, kesejahteraan, dsb.
Pendidikan Islam diarahkan untuk mengatasi masalah-masalah yang dihadapi oleh umat manusia pada umumnya dan umat Islam pada khususnya. Masalah yang umum seperti masalah keadilan sosial, pemerataan kesempatan untuk pendidikan, pelayanan kesehatan, kesejahteraan, pekerjaan, dsb. Masalah yang khusus dihadapi oleh umat Islam seperti masalah makanan yang halal, pakaian yang dapat menutup aurat, perkawinan secara Islam, riba dan bunga bank, manajemen infaq, zakat dan shadaqah, perbudakan, sembelian dengan mesin, mendatangi ibadah umat beragama lain, dsb.
Sebagai contoh, umat Islam betul-betul dihadapkan pada masalah serius, yakni masalah bunga bank dalam kaitannya dengan larangan al-Qur’an terhadap riba. Pada awalnya, al-Qur’an menyatakan bahwa riba itu tambahan (QS. 30: 39). Kemudian al-Qur’an menerangkan tentang praktek riba di kalangan orang Yahudi. Orang Yahudi diazab karena mereka terus mempraktekkan riba sebagai jenis perbuatan makan harta orang lain dengan cara batil (QS. 4: 161). Selanjutnya, al-Qur’an melarang orang yang beriman memakan riba dengan berlipat ganda (QS. 3: 130). Akhirnya, al-Qur’an secara tegas melarang riba (QS. 2: 275, 276, 278-280). Dalam kaitannya dengan bunga bank, Fazlur Rahman menyimpulkan bahwa suatu sistem ekonomi dapat disusun di mana bunga bank bisa dihapuskan. Akan tetapi, keadaan saat itu tidak memungkinkan bagi konstruksi idealis tersebut. Selama masyarakat Islam belum direkonstruksi berdasarkan pola Islam. Maka akan merupakan langkah bunuh diri bagi kesejahteraan ekonomi masyarakat dan sistem finansial negara Islam, serta bertentangan dengan spirit dan tujuan al-Qur’an dan Sunnah jika bunga bank dihapus.[1]
Contoh lain, ketika Fazlur Rahman duduk di Dewan Penasehat Ideologi Islam Pemerintahan Pakistan (tahun 1966), ia dihadapkan pada persoalan beban pemerintah yang semakin berat. Untuk memberikan solusi atas problem tersebut, ia menyarankan agar struktur perpajakan dirasionalkan dan diefisienkan dengan menerapkan kembali zakat, membenahi kembali tarifnya mengingat makin melambungnya anggaran belanja pemerintah, dan memperluas cakupannya kepada sektor investasi kekayaan sehingga dapat memperbaiki motivasi para pembayar pajak. Saran Rahman ini didasarkan pada pemahamannya terhadap rincian distribusi zakat dalam QS. 9: 60, yang menurutnya mencakup sebuah aktivitas negara.[2]
Mengenai harta dalam kaitannya dengan zakat, Rahman menjelaskan sebagai berikut. “…al-Qur’an … menyatakan bahwa kekayaan tidak boleh hanya beredar di kalangan orang kaya saja (QS. 59: 7), tetapi harus beredar dalam seluruh masyarakat untuk kepentingan keadilan sosial dan ekonomi. Pernyataan ini merupakan petunjuk umum yang salah satu pengejawantahan hukumnya adalah institusi zakat yang diundangkan oleh Nabi sendiri dan siapa-siapa yang berhak menerimanya telah disebutkan secara jelas dalam surat at-Taubah ayat 60. Akan tetapi, para fuqaha sepanjang abad pertengahan tidak mempertemukan petunjuk umum al-Qur’an ini dengan institusi zakat. Jika mereka telah mempertautkan keduanya, mereka akan melihat bahwa institusi zakat pada faktanya merupakan salah satu cara di mana ajaran umum al-Qur’an tentang keadilan sosio-ekonomi telah diimplementasikan. Hal itu, merupakan suatu kewajiban untuk merumuskan legislasi lainnya di samping zakat yang akan menempatkan kehidupan ekonomi masyarakat Muslim di atas basis Islam yang sebenarnya.”[3]
Mengenai Masalah perbudakan atau hamba sahaya merupakan warisan dari tradisi Arab sebelum Islam datang. Kemudian, Islam berusaha menghapuskan perbudakan secara bertahap. Pada awal Islam (periode Makkah), al-Qur’an mengakui adanya perbudakan (QS. 23: 5-6). Pada periode Madinah memerdekakan budak merupakan suatu kebaikan (QS. 2: 177). Laki-laki Muslim lebih baik mengawini wanita budak yang mu’min daripada wanita musyrik (QS. 2: 221). Meskipun budak, cara mengawininya pun juga dengan prosedur, misalnya, dilakukan dengan cara memberikan maskawin. Kaitannya dengan upaya memerdekakan budak, si tuan (majikan) hendaknya menerima permintaan budaknya yang ingin mendapatkan kemerdekaan lewat penebusan diri, dan majikan juga dilarang melacurkan budaknya untuk keuntungan dirinya. Selanjutnya, al-Qur’an memerintahkan berbuat baik kepada hamba sahaya (QS. 4: 36). Oleh karena itu, pada akhirnya al-Qur’an memerintahkan untuk memerdekakan budak (QS. 4: 92), kafarah zihar dengan memerdekakan seorang budak (QS. 58: 3), kafarah melanggar sumpah dengan memerdekakan seorang budak (QS. 5: 89), dan salah satu fungsi zakat adalah untuk memerdekakan budak (QS. 9: 60).
Apa yang ditawarkan oleh Rahman untuk mengatasi problem-problem yang dihadapi oleh umat Islam sebagaimana tersebut di atas adalah bagian kecil dari hasil “pendidikan yang menghidupkan (the life - making education)”. Sebagaimana diketahui bahwa pemikiran pendidikan Rahman mengarah pada satu fokus yaitu untuk menyelesaikan problem-problem yang dihadapi oleh umat manusia. Pemikiran pendidikan Rahman ini berangkat dari logika yang sederhana, yaitu jika problem-problem yang dihadapi oleh umat manusia dapat terselesaikan, berarti kelangsungan hidup mereka akan dapat terpelihara dengan baik.
Pemikiran pendidikan yang menghidupkan itu jika disistematisasikan ke dalam empat unsur utama dari kurikulum akan tampak sebagai berikut. Tujuan pendidikannya adalah untuk mengembangkan manusia- sedemikian rupa sehingga semua pengetahuan yang diperoleh manusia akan menjadi organ pada keseluruhan pribadi yang kritis, analisis, dan kreatif, yang memungkinkan manusia untuk memanfaatkan sumber-sumber alam untuk kebaikan umat manusia dan untuk menciptakan keadilan, kemajuan, dan keteraturan dunia. Materi pendidikan yang menghidupkan ini adalah ilmu tentang alam, ilmu tentang sejarah (sosial), dan ilmu tentang manusia (humaniora). Metode pembelajarannya bukan sekedar mengulang-ulang materi pelajaran sampai hafal (secara mekanis), tetapi menekankan pada proses mencari, memahami, dan menganalisis materi pelajaran. Metode ini dikenal dengan metode gerakan ganda (a double movement), yaitu gerakan dari guru ke siswa dan sebaliknya gerakan dari siswa ke guru, serta gerakan antar sesama siswa. Metode semacam ini dapat disebut sebagai metode active learning, karena menekankan pada keaktipan atau partisipasi siswa dalam proses pembelajaran. Evaluasinya diarahkan untuk mencapai indikator utama yaitu dapat melahirkan ilmuwan kritis, analisis, dan kreatif yang dapat menghasilkan temuan-temuan yang berguna untuk menyelesaikan problem-problem yang dihadapi oleh umat manusia.
Kontribusi pemikiran “pendidikan yang menghidupkan” ini terhadap pendidikan umat Islam adalah jika pendidikan umat Islam bersedia mengikutinya, motivasi umat Islam terhadap pengembangan ilmu akan semakin kuat, dikotomi ilmu akan semakin terkikis, yang diikuti oleh semakin pudarnya dualisme dalam sistem pendidikan umat Islam. Hasilnya, suatu ketika nanti, dapat dilahirkan kembali ilmuwan-ilmuwan Muslim yang kritis, analisis, dan kreatif yang dapat menghasilkan temuan-temuan yang dapat menyelesaikan problem-problem yang dihadapi oleh umat manusia.

[1] Fazlur Rahman “Some Islamic Issues in the Ayyub Khan Era”, Essays on Islamic Civilization, ed. Donald P. Little, E.J. Brill, Leiden, 1976, hlm. 294.
[2] Fazlur Rahman “Islamic Modernism: Its Scope, Method and Alternatives”, hlm. 327-328.
[3] Fazlur Rahman, “Interpreting the Qur’an”, hlm. 46.
BAB V
PENDIDIKAN ISLAM KRITIS DAN KREATIF

A. Pendahuluan
Kehidupan umat Islam, sebagaimana kehidupan umat-umat beragama lain, mengalami dinamika. Umat Islam pernah mengalami masa pertumbuhan, perkembangan, kemajuan, kemunduran, dan keruntuhan. Sejak abad ke 13 M kehidupan umat Islam secara berangsur-angsur mengalami kemunduran, jika dibandingkan dengan abad-abad sebelumnya. Kemudian, pertanyaannya adalah mengapa kehidupan umat Islam sejak abad ke 13 M sampai sekarang senantiasa mengalami kemunduran?
Berbagai jawaban terhadap pertanyaan tersebut diajukan oleh para pakar. Diantara mereka berpendapat bahwa kemunduran umat Islam itu karena kegiatan intelektual umat Islam telah mati, yang disebabkan oleh tiga hal, yaitu (1) tertutupnya pintu ijtihad, (2) serangan al-Ghazali terhadap filsafat, dan (3) meninggalnya Ibn Rusyd, yang dianggap sebagai simbol rasionalisme Islam.[1] Fazlur Rahman sependapat bahwa kemunduran umat Islam karena kreativitas intelektual umat Islam lemah. Dengan merosotnya creativitas intelektual, dan serangan dahsyat konservatisme terhadap kurikulum pendidikan tinggi Islam yang menenggelamkan dan menghancurkan disiplin-disiplin ilmiah dan intelektual, menghasilkan keseluruhan pada ilmu-ilmu agama semata dengan makna sempit. Rahman menjelaskan sebagai berikut.
“With the decline in intellectual creativity and the onset of ever-deepening conservatism, the curricula of education in the Madrasas (institutions of higher Islamic learning) shrank and intellectual and scientific disciplines expurgated, yielding the entire space to purely religious disciples in the narrow sense of the world.”[2]

Selanjutnya, menurut Rahman, konservatif tradisionalis telah membuang filsafat dan ilmu-ilmu rasional dari madrasah selama berabad-abad sebelumnya, sebagaimana dijelaskan sebagai berikut.
“… the traditionalist conservative had expelled philosophy and sciences from his Madrasa centuries earlier….”[3]

Dari paparan singkat di atas dapat diketahui bahwa menurut Rahman kemunduran umat Islam disebabkan oleh merosotnya kreativitas intelektual umat Islam, yang ini sebagai akibat dari dibuangnya ilmu-ilmu rasional seperti filsafat dan ilmu pengetahuan dari kurikulum pendidikan tinggi Islam sejak berabad-abad lalau. Dengan demikian menjadi jelas bahawa jika umat Islam ingin bangkit kembali, mereka harus dapat membangkitkan kembali kreativitas intelektualnya, misalnya dengan memasukkan kembali ilmu-ilmu rasional ke dalam kurikulum pendidikan tinggi Islam.
Tulisan ini terkait dengan persoalan di atas karena tulisan ini berusaha mengungkap pemikiran pendidikan kritis dan kreatif menurut Fazlur Rahman. Karena itu, persoalan yang ingin dijawab oleh tulisan ini adalah apa pentingnya pemikiran pendidikan kritis dan kreatif menurut Fazlur Rahman? dan bagaimana cara menghasilkan lulusan yang kritis dan ktreatif? Dengan mengungkap dua persoalan tersebut, diharapkan tulisan ini bermanfaat bagi upaya untuk membangkitkan kembali kreativitas intelektualisme umat Islam melalui pendidikan.

B. Pentingnya pendidikan Kritis dan Kreatif
Sebagaimana dapat disaksikan dalam realitas kehidupan umat Islam sekarang yang terbelakang, terpuruk, dan tertinggal dari umat-umat lain, bahkan menjadi cemoohan dan bulan-bulanan dari umat lain. Kondisi umat Islam seperti itu tidak terjadi secara tiba-tiba, tetapi melalui proses panjang, sejak abad ke 13 M sampai sekarang. Pada abad ke 12 M muncul istilah ilmu-ilmu fardlu ‘ain yaitu ilmu-ilmu tradisional (agama) dan ilmu-ilmu fardlu kifayah yaitu ilmu-ilmu rasional (umum). Mengenai hal ini Fazlur Rahman menjelaskan: …the most fateful distinction that came to be made in the course of time was between the religious sciences (ulum shariah) or traditional sciences and the rational or secular sciences (ulum aqliya or ghayr shariya), toward which a gradually stifling attitude was adopted.[4]
Kemudian, umat Islam lebih tertarik pada ilmu-ilmu tradisional (agama) dari pada ilmu-ilmu rasional (umum) dengan argumen adanya pandangan yang secara terus-menerus diungkapkan bahwa karena ilmu itu luas sedangkan hidup ini singkat, maka orang Islam harus memprioritaskan sains-sains agama yang merupakan kunci kejayaan hidup di akhirat.[5]
Selanjutnya, ilmu-ilmu rasional dikeluarkan dari kurikulum pendidikan, karena dianggap kurang penting dan dapat mengganggu ilmu-ilmu tradisional. Dengan dikeluarkannya ilmu-ilmu rasional dari materi pendidikan berdampak luas pada semua proses pembelajaran. Proses pembelajaran sekedar mengulang-ulang materi ilmu-ilmu tradisional sampai hafal. Metode pembelajaran seperti ini kemudian dikenal dengan nama metode mekanis. Dengan tidak ada lagi proses pembelajaran secara dialogis, tanya jawab, apalagi berdebat, berakibat lahirnya lulusan yang tumpul, tidak ada sama sekali daya kritis dan kreatif pada mereka. Kondisi seperti itu berjalan terus sepanjang abad pertengahan sampai abad modern, hingga kita saksikan kondisi umat Islam sekarang betul-betul memprihatinkan. Sebetulnya, pada abad modern mulai ada gejala meratapi masa lalu mereka, kemudian muncul kesadaran untuk mencari sebab-sebab keterpurukan itu. Hingga akhirnya, mereka temukan diantara penyebabnya adalah matinya daya kritis dan kreatif pada umat Islam. Nah, sekarang muncul upaya-upaya untuk membangkitkan kembali daya kritis dan kreatif umat Islam. Hingga, betul-betul disadari betapa pentingnya pendidikan kritis dan kreatif.
Bertolak dari alur paparan singkat di atas barangkali dapat dikatakan bahwa pentingnya pemikiran pendidikan kritis dan kreatif adalah untuk membangkitkan kembali intelektualisme umat Islam melalui pendidikan dengan cara memasukkan kembali ilmu-ilmu rasional ke dalam kurikulum pendidikan Islam. Kemudian, diimplementasikan ke dalam proses pembelajaran. Dengan demikian, diharapkan secara bertahap lulusan dari pendidikan tinggi Islam lebih kritis dan kreatif dari lulusan-lulusan sebelumnya. Hingga, suatu ketika nanti akan lahir lulusan-lulusan yang betul-betul kritis dan kreatif. Lulusan-lulusan yang demikian itu diharapkan dapat memberi alternatif solusi atas problem-problem umat, bahkan dapat menghasilkan temuan-temuan baru yang bermanfaat bagi umat manusia.

C. Pendidikan Kritis dan Kreatif Menurut Fazlur Rahman
Kata kritis berasal dari bahasa Inggris “critic, critical, criticism, criticize, critique” yang berarti kritis, kupas, tinjauan, membahas, mengupas secara kritis.[6] Kata kreatif berasal dari bahasa Inggris creative, yang berarti sifat mencipta.[7] Kreatif adalah kata sifat, sedangkan kata bendanya adalah kreativitas. Terdapat lima sifat yang menjadi ciri kemampuan berfikir kreatif, yaitu kelancaran (fluency), keluwesan (flexibility), keaslian (originality), penguraian (elaboration), dan perumusan kembali (redefinition).[8]
Sifat kritis menjadi salah satu prasyarat bagi peserta didik untuk dapat bersifat kreatif. Sifat kritis peserta didik perlu ditujukan pada semua langkah dalam proses pembelajaran. Kritis mulai dari membaca, memahami, menganalisis, bertanya, menjawab, diskusi, sampai menyimpulkan. Sifat kritis yang dimulai dari proses pembelajaran diharapkan dapat berkembang dan menyebar ke sagala aspek kehidupan. Sifat ini semakin penting jika peserta didik dihadapkan pada suatu persoalan. Pada hal yang namanya persoalan itu akan selalu muncul dan tidak bisa dihindari dalam kehidupan ini, tetapi harus dihadapinya.
Hanya dengan sifat kritis saja tidak cukup bagi peserta didik, tetapi harus dikembangkan dengan sifat kreatif. Dengan memiliki sifat kritis dan kreatif, peserta didik akan dapat menghadapi masalah-masalah mereka. Daya kritis dan kreatif mereka akan menentukan kemampuan mereka dalam memecahkan masalah. Sehingga, dapat dikatakan bahwa menumbuhkembangkan daya kritis dan kreatif peserta didik berarti menumbuhkembangkan kemampuan mereka dalam menyelesaikan masalah.[9]
Proses berpikir untuk memecahkan masalah berlangsung dalam empat tahap, yaitu pertama, tahap persiapan di mana masalah diselidiki dari segala arah sehingga semua informasi tentang masalah itu ditemukan. Kemudian, masalah dianalisis dan didefinisikan. Proses ini menyangkut klasifikasi dan penilaian masalah, kedua, tahap inkubasi dimana masalah seakan-akan terbawa tidur, tidak terpikirkan secara sadar dan dinamis, tetapi masalah itu merasuk ke alam pikir yang nantinya akan mengalir keluar dalam wujud iluminasi kreatif. Tahap ketiga ini disebut tahap ilmuninasi di mana ide atau kesimpulan baru muncul tidak terduga, dan tahap terakhir suatu usaha sadar dilakukan untuk mencoba menentukan kesahihan dari kesimpulan yang didapat tadi sesuai dengan kriteria atau aturan-aturan ilmiah, baik dengan menggunakan langkah-langkah logika maupun eksperimen.[10]
Dalam pemecahan masalah diperlukan dua kategori pengetahuan, yaitu: (1) pengetahuan konseptual yang meliputi konsep, hukum, definisi dan teori, dan (2) pengetahuan prosedural yang diperlukan untuk memecahkan masalah sejak dari mengumpulkan informasi sampai pada melaksanakan langkah-langkah pemecahan masalah. Langkah-langkah logis dalam pemecahan masalah dimulai dengan adanya masalah, kemudian dilanjutkan dengan identifikasi masalah; merumuskan masalah secara eksplisit dan menetapkan tujuan pemecahan masalah tersebut; menegakkan jawab sementara; mengumpulkan informasi pengamatan untuk verifikasi jawaban sementara; menganalisis informasi dengan mengerahkan kemampuan berpikir pemecahan masalah dengan menggunakan aturan-aturan pengambilan kesimpulan dan arahan strategi yang telah ditetapkan; menarik kesimpulan serta mengkomunikasikannya.[11]
Pendidikan tidak hanya terkait dengan problem individu tetapi juga terkait dengan problem umat. Karena itu, pendidikan seharusnya juga dirancang untuk dapat menyelesaikan problem-problem yang dihadapi umat. Akan tetapi, pendidikan juga dapat menjadi problem dari suatu umat. Pendidikan juga dapat memunculkan umat yang berbeda dari umat yang telah ada. Dinamika kehidupan umat dapat dilihat dari dinamika pendidikannya. Jika dinamika pendidikan berjalan dengan baik, dinamika kehidupan umat juga akan berjalan dengan baik. Sebaliknya, jika dinamika pendidikan tidak berjalan dengan baik, tentu dinamika kehidupan umat juga tidak dapat berjalan dengan baik. Karena itu, dapat dikatakan bahwa dinamika pendidikan dapat mempengaruhi dan menentukan dinamika peradaban umat. Sementara itu, peradaban itu sangat ditentukan oleh sistem pengetahuan yang mendasarinya. Sistem pengetahuan itu sendiri disosialisasikan dan dilembagakan melalui pendidikan. Jika pada abad ke 8-12 M peradaban umat Islam mencapai kemajuan, tentu pengetahuan dan pendidikan mereka juga mencapai kemajuan. Tetapi, sekarang peradaban umat Islam mengalami kemunduran, tentu merupakan akibat dari kemunduran atau stagnasi dalam sistem pengetahuan dan pendidikan mereka.
Dari paparan di atas dapat diketahui bahwa fungsi pendidikan Islam dari sisi sosial sangat strategis. Akan tetapi, fungsi ini tidak dapat berdiri sendiri, melainkan sangat tergantung pada sistem pengetahuannya. Oleh karena itu, tidak diragukan lagi bahwa cara yang terbaik untuk mendobrak stagnasi peradaban Islam harus dimulai dari penyusunan konsep sistem pengetahuan yang dinamis. Dengan adanya sistem pengetahuan yang dinamis, pendidikan juga akan mengalami kemajuan. Kalau pendidikan maju dengan sendirinya peradaban juga akan mengalami kemajuan.
Pemikiran pendidikan Fazlur Rahman yang berorientasi pada al-Qur’an, terkait dengan upaya di atas. Rahman berangkat dari upaya mencari worldview dan elan dasar al-Qur’an. Dari pencariannya itu ditemukan bahwa worldview dari al-Qur’an adalah “moral” dan elan dasarnya adalah “keadilan sosial”. Dari sini kemudian ia temukan tiga kata kunci etika al-Qur’an yaitu “iman, Islam, dan taqwa”. Ketiga kata kunci tersebut mengandung maksud yang sama, yaitu percaya, menyerahkan diri, dengan mentaati segala yang diperintahkan Allah dan meninggalkan segala yang dilarang-Nya. Pendidikan Islam pangkalnya adalah mengarahkan peserta didik untuk memiliki etika al-Qur’an. Dengan didasari oleh etika al-Qur’an, peserta didik akan dapat mengembangkan segala potensi yang ada pada dirinya untuk mengatur segala yang ada di alam ini untuk kemaslahatan kehidupan seluruh umat manusia.
Islam mengembangkan ilmu bertolak dari iman, Islam, dan taqwa. Ilmu dan teknologi dikembangkan untuk memupuk keimanan, bukan untuk mendangkalkannya. Metode berpikir juga harus ditata sinkron dan sekaligus koheren dengan keimanan kepada Allah, Rasul, kitab Allah, malaikat, hari akhir, dan takdir. Keimanan bukan dipupuk secara dogmatik, melainkan dipupuk secara rasional. Bukan rasional positivistik (yang hanya mengakui kebenaran empirik sensual), tetapi rasional ontologik yang mengakui kebenaran sensual, logik dan etik; yang aksiologik mengakui nilai-nilai sensual, logik dan transendental; dan yang epistemologik menggunakan pembuktian kebenaran yang bukan hanya menjangkau yang sensual dan logik saja, melainkan juga menggunakan metode berpikir yang mampu menjangkau kebenaran etik dan kebenaran transendental.[12]
Sistem pengetahuan yang demikian itu, dikembangkan dan dilembagakan melalui pendidikan. Sebagaimana yang terjadi pada masa kejayaan Islam, pendidikan dapat menghasilkan kreativitas dalam segala bidang ilmu pengetahuan. Pada masa itu, hampir semua pengembang dan penemu ilmu pengetahuan adalah umat Islam. Hal ini mengarahkan pada kesimpulan bahwa kreativitas di masa itu memang diupayakan, atau bahkan sistem pendidikan mengoptimalkan perkembangan kreativitas.[13]
Perubahan dan perkembangan zaman berjalan dengan cepat. Perubahan berlangsung secara maraton. Sebagaimana dapat disaksikan perubahan dari agraris ke industrialis, dari industrialis ke informasi, dan dari informasi ke globalisasi. Perubahan cepat ini, ternyata memunculkan dampak negatif -di samping positif- bagi pendidikan Islam dalam kaitannya dengan menghasilkan manusia yang dapat berkompetisi dalam kehidupan global abad ke-21 ini. Untuk itu, memang sudah waktunya dikembangkan sifat kritis dan kreatif. Kritis dan kreatif manusia berlaku pada hal penciptaan yang berjalan secara terus-menerus, yaitu mengubah suatu bentuk ke bentuk lain. Hal ini, meliputi semua aspek kehidupan manusia, tidak terkecuali dalam ilmu pengetahuan, pemikiran, dan pendidikan.[14]
Pada awalnya, sifat kritis dan keatif yang diperlukan adalah yang memungkinkan peserta didik berani dan memiliki rasa percaya diri untuk memahami wahyu secara langsung. Mereka tidak lagi menganggap bahwa hasil pemahaman ulama terhadap wahyu, pada masa lalu itu merupakan hasil yang sudah final, yang pasti mujarab untuk mendiagnosa permasalahan-permasalahan sekarang dan yang akan datang. Hasil-hasil ijtihad ulama masa lalu yang cocok untuk mengatasi persoalan pada waktu itu, belum tentu cocok untuk mengatasi persoalan sekarang, dan masa mendatang. Oleh karena itu, mereka harus senantiasa melakukan ijtihad, guna mengatasi persoalan-persoalan yang mereka hadapi. Kondisi semacam ini akan selalu terpelihara dengan baik, selama pendidikan umat Islam selalu berhasil melahirkan lulusan yang memiliki kompetensi kritis dan kreatif.
Fenomena sekarang menunjukkan adanya perbedaan yang mencolok antara anak, sebagai peserta didik, pada masa lalu dan anak pada masa sekarang. Hal ini merupakan akibat dari industrialisasi yang segalanya serba mesin, elektronik dan sebagainya. Pengaruh dari elektronik bisa membawa efek yang kurang baik pada pembelajaran al-Qur’an. Sebagai contoh, kalau dahulu setelah shalat maghrib, mereka rajin mengaji al-Qur’an, sekarang kegiatan itu tergeser dengan melihat televisi yang berupa permainan dan hiburan, bahkan sering kali berupa film-film yang menjauhkan peserta didik dari kepribadian Muslim. Sering kali, shalat maghrib mereka pun ditinggalkan.
Disamping itu, perkembangan zaman menuju modern, bisa mengakibatkan tuntutan terhadap materi semakin besar yang menyebabkan para wanita (sebagai ibu-ibu rumah tangga) terdorong untuk bekerja di luar rumah. Pada zaman dahulu, meskipun ibu-ibu bekerja, mereka tetap berada di dalam rumah sehingga masih tetap dapat merawat dan mendidik anak-anaknya. Namun, sekarang sering ditemukan ibu-ibu bekerja di luar rumah. Mereka berangkat bekerja ketika anak-anaknya belum bangun tidur, dan pulang bekerja setelah anak-anaknya terlelap tidur. Hal semacam ini, apabila terjadi hanya satu atau dua hari, tidak begitu masalah. Namun, hal ini bisa terjadi hampir setiap hari sehingga praktis banyak anak yang tidak dapat ketemu dengan ibunya selama berhari-hari.
Hal di atas menunjukkan bahwa di zaman modern, karena tuntutan terhadap materi semakin tinggi dapat mengurangi, kalau tidak merampas hak pendidikan anak-anak dari ibunya. Hal ini menjadi tantangan bagi pendidikan Islam, dalam arti bahwa pengembangan fitrah yang ada pada peserta didik dapat terganggu. Untuk itu, pendidikan Islam harus mengupayakan alternatif jalan keluarnya; diantaranya dengan mengembangkan sifat kritis dan kreatif.
Tujuan dikembangkannya daya kritis dan kreatif dalam pendidikan Islam adalah untuk menghasilkan output yang kritis dan kreatif. Atau dengan kata lain, pendidikan Islam harus dapat mengembangkan peserta didik yang kritis dan kreatif. Peserta didik yang kritis dan kreatif paling tidak mempunyai tiga ciri, yaitu : (1) mempunyai pemikiran asli atau orisinil (originality), (2) mempunyai keluwesan (flexibility), dan (3) menunjukkan kelancaran proses berpikir (fluency). Dengan tiga ciri utama ini, mereka akan mampu menghasilkan sesuatu yang tidak sederhana dan berbeda dari peserta didik lain.[15]
Guilford menjelaskan bahwa peserta didik yang kreatif, paling tidak dapat dilihat dari ciri-ciri sebagai berikut : (a) sensitif tidaknya mereka dalam melihat sesuatu masalah, (b) orisinal tidaknya ide atau pikiran yang dikemukakan, (c) lancar tidaknya mereka dalam mengemukakan ide, (d) fleksibel tidaknya dalam berpikir, dan (e) mampu tidaknya mereka mengutarakan kembali pengetahuan yang telah dimiliki.[16]
Peserta didik yang kreatif ditandai oleh kemampuan berpikir divergen. Untuk mengetahui kemampuan berpikir divergen mereka, dapat dilakukan tes, misalnya dengan: (1) menyebutkan sebanyak-banyaknya contoh benda-benda yang ciri-cirinya disebutkan oleh pengetes, misalnya: (a) sebutkan benda-benda bulat dan (b) sebutkan tempat-tempat ibadah; (2) menyebutkan sebanyak-banyaknya persamaan antara dua hal, misalnya : antara agama Kristen dan Islam, antara kitab Injil dan al-Qur’an.
Ogilvie menunjukkan tiga hal penting yang berkenaan dengan kreativitas dalam pengajaran, yaitu : (1) kreativitas peserta didik ada hubungannya dengan pengaturan kelas, (2) bagaimanapun dikehendaki originalitasnya, kreativitas peserta didik banyak tergantung dari pengalamannya, dan (3) kreativitas peserta didik sangat tergantung dari susunan kurikulum yang diperuntukkan bagi pembentukan kreativitas mereka.[17]

D. Implementasi Pendidikan Kritis dan Kreatif Dalam Kurikulum
Kurikulum pendidikan terdiri dari empat unsur, yaitu tujuan (sekarang kompetensi), materi (isi) pembelajaran, metode pembelajaran, dan evaluasi hasil belajar. Pendidikan Islam ditujukan untuk dapat menghasilkan lulusan yang memiliki kompetensi kritis dan kreatif. Kemudian, isi dari kurikulumnya juga harus dirancang untuk mencapai peserta didik yang memiliki kompetensi kritis dan kreatif. Mata pelajaran yang dapat merangsang munculnya sifat kritis dan kreatif peserta didik harus diperbanyak. Mata pelajaran atau mata kuliah seperti logika, mantiq, metode berpikir, komposisi, dan filsafat tidak boleh kurang dari 50% dari keseluruhan materi kurikulumnya.
Memang banyak metode pembelajaran yang dapat menghasilkan lulusan yang kritis dan kreatif. Salah satunya adalah metode a double movement. Metode ini terdiri dari gerakan ganda, yaitu gerakan dari guru ke peserta didik dan sebaliknya gerakan dari peserta didik ke guru. Dalam proses pembelajaran diharapkan tidak hanya ada gerakan tunggal, yaitu gerakan dari guru ke peserta didik, atau sebaliknya hanya gerakan dari peserta didik ke guru, tetapi harus ada gerakan dari kedua belak pihak, bahkan ada juga gerakan diantara sesama peserta didik. Dalam proses pembelajaran yang menerapkan metode ini, akan ada keleluasaan bagi peserta didik untuk melakukan berbagai gerakan (aktivitas). Dengan demikian, diharapkan mereka memiliki keleluasaan dalam melakukan berbagai aktivitas. Dalam proses pembelajaran, mereka tidak hanya bisa mendengarkan guru berceramah, tetapi juga dapat membaca, memahami, menganalisis, menulis, mengadakan eksperimen, mengalami proses pembuktian, sampai penemuan.
Lebih lanjut metode ini akan dapat mengangkat posisi peserta didik dari posisi sekedar sebagai objek menjadi posisi subjek dalam pendidikan. Selama ini peserta didik diperlakukan sekedar sebagai objek pendidikan, yang segala sesuatunya telah ditentukan oleh guru, kemudian berubah menjadi ada kesempatan bagi peserta didik untuk terlibat dalam proses penentuan, mulai dari penentuan kompetensi yang akan dicapainya, materi sebagai konteks untuk mencapai kompetensi, proses pembelajaran, bahkan sampai pada penentuan evaluasi yang akan diterapkan dalam pendidikan.
Metode double movement ini juga digunakan untuk mendobrak pendidikan Islam yang selama ini tidak begitu relevan dengan kebutuhan umat. Dengan menerapkan metode ini diharapkan pendidikan Islam bisa menjawab problem-problem umat. Metode ini diterapkan dengan cara, yaitu gerakan pertama ditujukan pada pemenuhan kompetensi peserta didik, dan gerak kedua diarahkan pada pragmatis dan fungsi peserta didik, misalnya peran sosial di masyarakat. Gerak pertama berupa penyadaran akan pentingnya peserta didik memiliki kompetensi tertentu yang memang dibutuhkan oleh umat, dan gerak kedua merupakan kompetensi peserta didik berperan dalam masyarakat setelah mereka selesai menempuh program pendidikan tertentu. Misalnya, mereka ketika masih sekolah menginginkan memiliki kompetensi di bidang pertanian, setelah mereka lulus miliki kompetensi yang memang betul-betul dibutuhkan oleh umat.
Fazlur Rahman, dengan menawarkan metode ini, yakin bahwa jika umat Islam dewasa ini dapat menerapkan metode a double movement dalam pendidikan mereka, niscaya akan dapat melahirkan ilmuwan-ilmuwan yang kritis dan kreatif. Ilmuwan yang demikian itu, akan dapat memberi alternatif solusi atas berbagai problem hidup yang mereka hadapi secara mendasar. Sehingga, tidak mustahil jika suatu ketika nanti, akan menjadi kenyataan kembali bahwa Islam memang menjadi rahmat bagi alam semesta (rahmatan li-al-alamin).
Diantara kegiatan pembelajaran yang dapat mengembangkan daya kritis dan kreatif peserta didik adalah kegiatan yang meminta mereka, misalnya, mengubah warna, bentuk, ukuran, disain, atau model, dan sebagainya. Dapat juga dikembangkan dengan cara mengarang. Misalnya, mereka disuruh membuat karangan bebas. Melalui karangan bebas, guru dapat dengan mudah mengetahui tingkat kekritisan dan kreativitas mereka. Apakah mereka cenderung mencontoh karangan atau model yang sudah ada ataukah menciptakan sesuatu yang lain, menunjukkan mereka itu kritis dan kreatif, atau tidak.
Metode lain yang tidak kalah penting adalah metode diskusi. Sebaiknya, metode diskusi dilakukan dengan terbuka, dalam arti bahwa peserta didik bisa secara leluasa mengadakan diskusi, baik dengan guru maupun sesama peserta didik, tanpa ada rasa takut dan batasan untuk mengemukakan gagasan-gagasan mereka. Guru hendaknya dapat mengusahakan kondisi semacam itu.
Metode lain yang dapat diterapkan adalah metode pembelajaran kebebasan, dan penyadaran. Peserta didik disadarkan akan posisinya, lantas diberi kebebasan dan motivasi untuk berbuat. Di dalamnya dikembangkan prinsip-prinsip: (a) kondisi dialogis antara guru dan peserta didik, dalam proses pembelajaran saling mengajar antara keduanya, (b) melibatkan seluruh peserta didik, dan c) peserta didik didorong untuk menemukan masalah, lantas menyelesaikannya dengan problem solving. Misalnya, Paulo Freire dalam menyadarkan peserta didiknya, dalam pengajaran kosa kata, menempuh fase-fase sebagai berikut: (a) meneliti kosa kata, (b) memilih jenis kata, c) merumuskan problem, (d) mengagendakan, dan (e) mengadakan pemilihan.[18]
Peserta didik perlu disadarkan bahwa ia memiliki kebebasan pribadi yang tidak mungkin individu menanggung beban individu lain, dan hanya berhak atas hasil kerjanya sendiri. Karena itu, ia harus secara terus-menerus membuat berbagai pilihan secara kritis dan kreatif untuk menyempurnakan dirinya. Peserta didik mempunyai kebebasan untuk memilih yang baik atau yang buruk, dan bertanggung jawab penuh atas pilihannya. Jika pilihan bebasnya menunjukkan kepada hal-hal yang baik, ia akan menjadi orang yang baik, demikian pula sebaliknya. Sehingga, peranan kreativitas berfikir peserta didik menentukan pilihan yang baik dari sebaliknya. Peserta didik yang memiliki kreativitas berpikir tinggi, dengan kebebasannya tidak akan pernah kehilangan arah dalam menghadapi berbagai kemelut dalam kehidupannya. Ia tampil sebagai ego yang bebas merekayasa alam semesta dengan tidak menafikan aspek transendental, Tuhan, sebagi Ego Terakhir. Dengan kebebasannya, peserta didik dapat diarahkan untuk mengembangkan hasil pemahaman ulama terhadap wahyu dan memahami wahyu secara langsung untuk menghadapi problem-problem mereka.
Setiap peserta didik juga mempunyai potensi kritis dan kreatif. Namun, perlu diingat bahwa hal itu baru merupakan potensi. Dalam arti, potensi itu bisa menjadi kenyataan atau tidak, sangat tergantung pada faktor-faktor lain. Yang dimaksud dengan faktor-faktor lain adalah guru, materi, metode pembelajaran, dan media pembelajaran. Semua faktor ini harus diarahkan untuk membantu peserta didik agar dapat melahirkan potensi kritis dan kreatif mereka. Setelah mengalami proses pembelajaran, mereka diharapkan dapat melahirkan potensi kritis dan kreatifnya untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapi. Dengan demikian, pendidikan Islam dapat berfungsi membantu peserta didik untuk mencapai tujuan tersebut.
Kemudian, untuk menjadikan daya kritis dan kreatif sebagai alternatif pengembangan pendidikan Islam, dipersyaratkan berbagai kemampuan ilmu dan metode. Kemampuan ilmu yang mutlak diperlukan adalah penguasaan bahasa Arab, Ulum al-Qur’an, Ulum al-Hadis, dan metode dialogis. Kemampuan berbahasa Arab dipandang sebagai kemampuan utama karena memang al-Qur’an dan al-Sunnah diriwayatkan dan ditulis dengan bahasa tersebut. Setiap peserta didik yang akan memahami kedua sumber tersebut, secara langsung, harus menguasai bahasa Arab dengan segala ilmu yang terkait dengannya.
Demikian pula, Ulum al-Qur’an dan Ulum al-Hadis harus betul-betul dikuasai karena keduanya merupakan ilmu alat yang langsung berkaitan dengan materi inti yang akan dipahami. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa semakin bagus penguasaan kedua ilmu tersebut, akan semakin bagus pemahaman terhadap kedua sumber tersebut. Dengan bermodalkan penguasaan terhadap bahasa Arab, Ulum al-Qur’an, dan Ulum al-Hadis saja, untuk memahami kedua sumber tersebut secara langsung belumlah cukup. Untuk itu, diperlukan kemampuan lain, yaitu penguasaan metodologi. Yang dimaksud dengan metodologi di sini adalah ilmu logika, mantiq, ushul fikih, dan filsafat.
Sementara itu, metode yang mungkin dapat mengantarkan peserta didik pada pemahaman al-Qur’an dan al-Hadis, secara langsung, adalah metode dialogis, yaitu proses pembelajaran di mana guru menempatkan peserta didik sebagai subyek pendidikan, bukan sebagai obyek. Dalam metode dialogis, guru berkewajiban mengusahakan kondisi dan situasi yang memungkinkan peserta didik untuk mengadakan dialog. Mereka , secara leluasa, mengadakan dialog secara langsung, baik dengan guru maupun dengan teman-temannya. Metode yang demikian ini, pada gilirannya, akan dapat menumbuhkan daya kritis dan kreatif mereka.
Materi pelajaran yang ditulis pada buku teks pada masa lalu menduduki tempat sentral, tetapi sekarang sekadar diperlukan sebagai konteks untuk mencapai kompetensi. Seperti halnya unsur kurikulum yang lain, materi pembelajaran juga harus menampilkan isi yang dapat membentuk peserta didik yang kritis dan kreatif. Untuk memenuhi hal tersebut, materi dari kurikulum harus memenuhi tiga prinsip, yaitu prinsip filosofis, psikologis, dan sosiologis.[19] Prinsip filosofis memberikan arah dan tujuan yang akan dicapai oleh pendidikan Islam dengan dasar filosofis sehingga susunan kurikulum mengandung suatu kebenaran, terutama kebenaran di bidang nilai-nilai sebagai pandangan hidup yang diyakini dari suatu kebenaran. Prinsip ini membawa rumusan kurikulum pendidikan Islam pada tiga dimensi, yaitu dimensi ontologi, epistemologi, dan aksiologi.[20]
Tujuan pendidikan Islam yang sekarang dituangkan dalam standard kompetensi, kemudian dijabarkan ke dalam kompetensi dasar, selanjutnya dijabarkan menjadi hasil belajar, dan akhirnya dapat diukur dengan indikator hasil belajar. Misalnya, matapelajaran mengarang memiliki kompetensi untuk mengembangkan nalar dan kreatif peserta didik. Guru dapat diminta peserta didik untuk membuat suatu karangan bebas, kemudian hasilnya diperiksa oleh guru satu-persatu. Guru akan mudah mengetahui seberapa jauh perkembangan nalar dan kreatif mereka. Kalau karangan mereka itu hanya sekedar mencontoh tipe atau pola-pola karangan yang sudah ada, berarti nalar dan kreatif mereka belum berkembang dengan baik. Berdasar pengalaman itu, guru dapat membimbing mereka sampai nalar dan kreatif mereka menjadi berkembang dengan baik.
Selanjutnya, prinsip psikologis berkaitan dengan ciri-ciri perkembangan peserta didik, tahap kematangan, bakat-bakat jasmani, intelektual, bahasa, emosi, kebutuhan-kebutuhan, keinginan-keinginan, minat, kecakapan, perbedaan individu, faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan, proses belajar, pengamatan terhadap sesuatu, dan lain-lain yang berkaitan dengan psikologi peserta didik.[21]
Prinsip sosiologis memberikan implikasi bahwa kurikulum pendidikan Islam memegang peranan penting terhadap penyampaian dan pengembangan kebudayaan, proses sosialisasi peserta didik, dan dalam rekonstruksi masyarakat.[22] Di samping itu, prinsip tersebut untuk memberikan bekal pada peserta didik agar siap berkorban demi membela aqidah dan agar dapat mempunyai kemahiran kerja dalam masyarakat tempat tinggal mereka kelak.[23] Tegasnya, prinsip ini menghendaki agar isi kurikulum itu sesuai dengan kebutuhan atau tuntutan masyarakat pada saat peserta didik mengalami proses pendidikan maupun pada saat berikutnya ketika mereka terjun dalam kehidupan masyarakat.

D. Penutup

Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa pemikiran pendidikan kritis dan kreatif menurut Fazlur Rahman sangat penting untuk menghidupkan kembali intelektualisme dalam Islam yang telah lama mengalami kematian. Sifat kritis dan kreatif dapat diajarkan kepada peserta didik dengan mengimplementasikan kurikulum dan silabus yang berbasis pada daya kritis dan kreatif. Pendidikan ditujukan untuk terbentuknya sikap kritis dan kreatif. Materi pelajarannya paling tidak berisi logika, bahasa, matematika, dan filsafat. Proses pembelajarannya menerapkan pendekatan andragogik, metode gerakan ganda, dan strategi pembelajaran aktif.
Akhirnya, tulisan ini baru dapat mengungkap pentingnya pemikiran pendidikan kritis dan kreatif, dan implementasi kurikulum pendidikan kritis dan kreatif yang mencakup tujuan, materi, dan metode pendidikannya. Sedangkan untuk penerapan evaluasi dan faktor-faktor lain dalam pendidikan seperti peserta didik, pendidik, dan sarana pendidikan hanya disinggung ketika mengimplementasikan kurikulum. Pada hal sesungguhnya faktor-faktor ini sangat penting untuk diungkap satu persatu. Untuk itu, semoga ada kesempatan berikutnya untuk mengungkap semua itu. Walaupun demikian, penulis tetap berharap mudah-mudahan tulisan ini bermanfaat bagi para pembaca. Amin.
[1] Suharsono, “Kata Pengantar” dalam Seyyed Hossein Nasr, Intelektual Islam : Teologi, Filsafat dan Gnosis, terj. Suharsono, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1996, hlm. vi.
[2] Lihat “Islam: Legacy and Contemporary Challenge” dalam Islamic Studies, 19, 4, 1980, hlm. 240.
[3] Ibid.
[4]Lebih lanjut lihat Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition, The Uiversity of Chicago Press, Chicago, 1984, hlm. 33.
[5] Ibid., hlm. 33-34.
[6] John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, Gramedia, Jakarta, 1987, hlm. 155-156.
[7] Ibid., hlm. 154.
[8] Suharsimi Arikunto, Managemen Pengajaran Secara Manusiawi, Rineka Cipta, Jakarta, 1993, hlm. 78.
[9] Yurmaini Mainuddin “Pengembangan dan Pelaksanaan Kurikulum yang Menjamin Tercapainya Lulusan yang Kreatif” dalam Konvensi Nasional Pendidikan Indonesia II, Kurikulum untuk Abad Ke 21, Grasindo, Jakarta, 1994, hlm. 44-45.
[10] Ibid., hlm. 45-46.
[11] Ibid., hlm. 47-48.
[12] Lihat Noeng Muhadjir, “Pendidikan dalam Perspektif al-Qur’an: Tinjauan Mikro” dalam Pendidikan Dalam Perspektif al-Qur’an, LPPI UMY, Yogyakarta, 1999, hlm. 90-91.
[13] Ibid., hlm. 149.
[14]Hasan Langgulung, Kreativitas dan Pendidikan Islam, Analisis Psikologi dan Falsafah,: Pustaka Al-Husna, Jakarta, 1991, hlm. 27.
[15] Suharsimi Arikunto, hlm. 78.
[16] Ibid.
[17] Ibid., hlm. 79.
[18] Paulo Freire, Pendidikan Sebagai Praktek Pembebasan, diindonesiakan oleh Alois A. Nugroho, Gramedia, Jakarta, 1984, hlm. 49-53.
[19] Hilda Taba, Curriculum Development Theory and Practice, editor Willanrd B. Spalding, Chairman, Division of Education, Porland State College, Chicago, San Fransisco, Atlanta : Harcourt, Brace & World. Inc., New York, 1962, hlm. 3-4.
[20] Muhaimin dan Abd. Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam, Kajian Filosofik dan Kerangka Dasar Operasionalisasinya, Trigenda Karya, Bandung, 1993, hlm. 187-188.
[21] Omar Mohammad al-Toumy al-Syaibany, Falsafah Pendidikan Islam, alih bahasa Hasan Langgulung, Bulan Bintang, Jakarta , cet. I 1979, hlm. 529-530.
[22] Ibid., hlm. 193.
[23] Omar Mohammad, Falsafah Pendidikan Islam., hlm. 531.
BAB VI
PENDIDIKAN ISLAM YANG MENGHIDUPKAN DI INDONESIA

Pendidikan Islam di Indonesia dapat dibedakan ke dalam pendidikan dasar-menengah, dan pendidikan tinggi. Kemudian, pendidikan Islam dasar-menengah dapat dibedakan ke dalam tiga jenis, yaitu pendidikan pesantren, sekolah, dan madrasah. Masing-masing dari ketiganya memiliki keunggulan, disamping kelemahan. Pada umumnya pesantren unggul dibidang ilmu-ilmu tradisional (agama), tetapi lemah di bidang ilmu-ilmu modern (umum), sebaliknya sekolah lemah di bidang ilmu-ilmu agama tetapi unggul di bidang ilmu-ilmu umum. Madrasah didirikan untuk memadukan keunggulan pesantren dan sekolah, disamping untuk menghilangkan kelemahan dari keduanya. Akan tetapi, kenyataan menunjukkan sebaliknya, kecuali beberapa madrasah seperti Madrasah Aliyah Insan Cendikia Serpong, Madrasah Pembangunan Jakarta, Madrasah Terpadu (MIN, MTsN, dan MAN) Malang, dan sebagainya.
Akan tetapi, realitas menunjukkan bahwa ketiga jenis lembaga pendidikan dasar-menengah tersebut, masing-masing mengidap penyakit sangat kronis. Misalnya, pesantren diterpa stigma eksklusif, literal, radikal, fundamental, teroris, dan sebagainya. Pendidikan Agama Islam di sekolah selalu kebanjiran kritik, seperti model PAI di sekolah terlalu normatif, doktriner, kognitif oriented, dan sebagainya. Madrasah lebih parah lagi, sebagai lembaga pendidikan yang kurang diperhitungkan, kualitasnya sangat memprihatinkan; 70% gurunya mismatch (guru mengajar tidak sesuai dengan disiplin ilmunya, misalnya lulusan PAI mengajar Bahasa Inggris, lulusan syari’ah mengajar Matematika, dan sebagainya). Dengan demikian, persoalannya menjadi jelas yaitu bagaimana neomodernisme Fazlur Rahman pada pendidikan di pesantren, sekolah, dan madrasah, serta pada pendidikan tinggi Islam di Indonesia.
Keunggulan pesantren berupa ilmu-ilmu tradisional (agama) perlu diimbangi dengan ilmu-ilmu modern. Tujuan pendidikan di pesantren perlu ada perubahan, pengembangan dan penyempurnaan. Jika selama ini pendidikan di pesantren bertujuan untuk mencapai kebahagiaan di akhirat, dengan asumsi dunia secara otomatis akan tercapai. Kenyataan menunjukkan lain bahwa sebagian lulusan pesantren tidak dapat merespon kehidupan di dunia dengan baik. Maka, tujuan pendidikan di pesantren perlu ditujukan untuk mencapai kebahagiaan baik di akhirat maupun di dunia. Perubahan tujuan ini mengandung konsekuensi, yaitu di pesantren harus dikembangkan ilmu-ilmu tradisional sekaligus ilmu-ilmu modern. Disamping itu, pengembangan keilmuannya tidak boleh hanya terhenti pada dataran teoritis, tetapi harus sampai pada praktis. Ilmu dikembangkan dengan tujuan untuk landasan amal. Oleh karena itu, pengembangan ilmu di pesantren harus mencakup kognitif, afektif dan psikomotor; dari pengetahuan, pengamalan sampai mencapai ketrampilan hidup (life skill) dalam pengertian luas.
Pendidikan Agama Islam (PAI) di sekolah bertujuan untuk menumbuh kembangkan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT., serta akhlak mulia peserta didiknya. Jika selama ini PAI di sekolah didominasi oleh pendekatan doktriner, ideologis, dan hanya terhenti pada aspek kognitif, maka perlu diubah dengan pendekatan ilmu (rasional), iman, dan amal (kognitif, afektif dan psikomotor). Dengan kata lain PAI di sekolah harus dapat memotivasi peserta didik untuk mengembangkan keilmuan, memperkuat keimanan dan dapat dijadikan landasan moral dalam kehidupan sehari-hari.
Sedangkan, pendidikan di madrasah barangkali paling sulit diatasi diantara tiga jenis pendidikan dasar dan menengah tersebut. Madrasah yang semula didirikan untuk mengumpulkan keunggulan ilmu-ilmu tradisional sebagaimana terdapat pada pesantren dan keunggulan ilmu-ilmu modern sebagaimana terdapat pada sekolah-sekolah mengalami kegagalan, kecuali beberapa madrasah yang dapat dihitung dengan jari. Kegagalan madrasah ini disebabkan oleh berbagai faktor yang sangat komplek. Khusus dari segi manajemen atau pengelolaan, madrasah dikelola Departemen Agama yang tidak memiliki dana yang cukup untuk membiaya madrasah yang jumlahnya sangat banyak, disamping Depag tidak memiliki sumber tenaga kependidikan yang memadai untuk mengelola madrasah, jika dibandingkan dengan Diknas. Oleh karena itu, masih sangat sulit dipikirkan seperti apa perbaikan madrasah, kecuali dimulai dari perubahan pengelola, dari pengelola yang tidak memiliki dana dan sumber tenaga kependidikan ke pengelola yang memiliki dana yang memadai dan sumber tenaga kependidikan yang relatif lebih baik. Jika langkah ini bisa dilakukan, langkah-langkah perbaikan madrasah berikutnya secara bertahap dapat dilakukan, walaupun langkah ini memerlukan pengorbanan dari segelintir elit Depag. Akan tetapi, ini lebih baik daripada mengorbankan masa depan hampir seluruh anak santri Indonesia yang sedang menempuh pendidikan di madrasah.
Pendidikan Tinggi Islam di Indonesia, masih merupakan impian belaka. Pendidikan tinggi Islam dalam realitas, baru merupakan: (a) pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh lembaga-lembaga Islam, (b) pendidikan agama Islam yang disampaikan di perguruan tinggi, dan (c) perguruan tinggi yang bertujuan menghasilkan sarjana di bidang ilmu-ilmu agama Islam. Perguruan tinggi Islam jumlahnya sangat banyak (lebih dari 320), tetapi dalam peta perguruan tinggi di Indonesia, kebanyakan menempati posisi di pinggiran. Untuk meningkatkan kedudukannya, perguruan tinggi Islam harus mampu memperbaharui kurikulumnya secara mendasar. Pendidikan tinggi Islam harus memiliki tipe ideal manusia seutuhnya. Sosok manusia seutuhnya, menurut Islam, adalah insan al-kamil. Manusia yang memiliki pengetahuan dan perilaku sebagaimana yang dimiliki Rasulullah atau setidak-tidaknya mendekati. Manusia yang terdiri atas jiwa dan raga, dengan pengetahuan yang dimiliki, jiwa bisa mengendalikan perilaku untuk mencapai kebahagiaan di akhirat. Tujuan utama adalah kebahagiaan di akhirat, sedangkan kebahagiaan di dunia sebagai kebahagiaan antara. Untuk mencapai tujuan itu, seseorang harus memiliki ilmu pengetahuan, memiliki kebijaksanaan (wisdom), berjiwa adil, dan mampu mentransformasikan ilmu yang dimiliki ke dalam amal perbuatan yang berguna tidak saja bagi dirinya, tetapi juga bagi lingkungan. Sosok manusia seutuhnya tidak akan statis, tetapi selalu dinamis sesuai dengan tuntutan dan perkembangan masyarakat.[1]
Orientasi pendidikan tinggi Islam di Indonesia, sebagai subsistem pendidikan tinggi nasional, ikut terpengaruh pada transfer of knowledge sebatas yang terkait erat
dengan masalah kerja dan perolehan gelar akademik; bukan untuk mengembangkan kemampuan manusia secara kaffah. Pendidikan Tinggi Islam seharusnya mengembangkan tiga perangkat yang dimiliki manusia, yaitu indera, akal, dan hati secara maksimal. Kesalahan pendidikan tinggi di Indonesia terletak pada kurang menumbuhkembangkan akal, hati, dan fisik manusia.[2]
Mega kompetisi merupakan ciri pokok dari masyarakat pada era globalisasi abad ke-21. Globalisasi menuntut lahirnya manusia-manusia yang berkualitas, baik fisik, intelektual, maupun moralnya. Karena itu, pengembangan manusia (human development) harus meliputi seluruh aspek kehidupan secara integral, selaras, serasi, dan seimbang. Pendidikan Tinggi Islam di Indonesia secara sadar harus berani mengkaji ulang visi, misi dan paradigma yang mendasarinya. Bangunan ilmu pengetahuan yang dikotomik antara ilmu-ilmu tradisional (agama) dan ilmu-ilmu modern (umum) harus diubah menjadi pandangan baru yang lebih holistik atau setidak-tidaknya bersifat komplementer. Tujuan pendidikan tinggi Islam di Indonesia harus diorientasikan pada lahirnya sarjana (cendekiawan muslim) yang setidak-tidaknya memiliki tiga kemampuan, yaitu kemampuan menganalisis, melakukan inovasi, dan memimpin sesuai dengan tuntutan, persoalan kemasyarakatan dan bidang keilmuan, maupun profesi yang ditekuninya.[3]
Pedidikan Tinggi Islam, menurut Rahman, sangat strategis untuk mengurai
benang kusut krisis pemikiran dalam Islam yang berdampak pada stagnasi dan kemunduran peradaban umat Islam, yang darinya dapat diharapkan berbagai alternatif solusi atas problem-problem yang dihadapi umat manusia. Bahkan, menurut Rahman, pembaharuan Islam dalam bentuk apa pun yang berorientasi pada kemajuan, harus bermula dari pendidikan.[4] Hal itu hampir sama dengan apa yang dikemukakan oleh Mastuhu bahwa PTAI merupakan lembaga pendidikan tinggi Islam yang strategis untuk mengembangkan tradisi ilmiah umat Islam yang peduli terhadap persoalan-persoalan besar bangsa.[5]
Sementara itu, menurut Satryo Soemantri Brojonegoro, PTAI masih menghadapi berbagai tantangan dan masalah, antara lain: pertama, setelah IAIN Jakarta dan Yogyakarta berubah menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) tidak hanya mengembangkan ilmu-ilmu agama Islam saja, tetapi juga ilmu sosial, ilmu alam, dan humaniora. Dengan perubahan itu diharapkan upaya untuk mengintegrasikan ilmu agama dan ilmu umum dapat terealisir. Kedua, dengan peningkatan otonomi yang lebih besar, PTAI diharapkan dapat mengembangkan dirinya secara lebih maksimal. Ketiga adalah peningkatan akuntabilitas PTAI dari segi kelembagaan dan akademis sehingga alumninya lebih profesional, ahli, dan terampil, baik dalam ilmu agama maupun ilmu umum. Keempat, peningkatan kerja sama dengan perguruan tinggi lain, baik di dalam maupun luar negeri, guna menciptakan sinergi yang dapat mendorong akselerasi peningkatan mutu pendidikan di PTAI.[6]
Menurut Rahman, problem pendidikan Islam yang paling mendasar dewasa ini adalah problem ideologi.[7] Umat Islam tidak dapat mengkaitkan secara efektif pentingnya pengetahuan dengan orientasi ideologinya. Akibatnya adalah mereka tidak terdorong untuk belajar. Bahkan, mereka tidak sadar kalau berada di bawah perintah moral kewajiban Islam untuk menuntut ilmu pengetahuan.[8] Problem berikutnya adalah adanya dualisme dalam sistem pendidikan umat Islam sebagai akibat dari adanya dikotomi ilmu tersebut. Pada satu sisi terdapat sistem pendidikan tradisional (agama Islam) mulai dari Madrasah Ibtidaiyah (MI) sampai PTAI, begitu tertinggal sehingga produknya tidak dapat hidup di dunia modern dan tidak bisa mengikuti perkembangan zaman. Pada sisi lain, terdapat sistem pendidikan sekuler modern (umum) mulai dari Sekolah Dasar sampai Perguruan Tinggi Umum (PTU) telah berkembang tanpa menyentuh sama sekali ideologi dan nilai-nilai Islam seperti sifat jujur dan tanggungjawab tidak muncul sama sekali, sehingga hasilnya sangat tragis. Maka, kedua sistem pendidikan ini sama-sama tidak beresnya.[9]
PTAI didirikan sesuai dengan kondisi waktu lembaga itu didirikan. Pada era globalisasi paradigma-paradigma yang mendasari lahirnya PTAI perlu ditinjau kembali. Paradigma-paradigma yang mendasari PTAI dewasa ini sudah tidak relevan lagi dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan tuntutan pembangunan nasional. Paradigma-paradigma PTAI itu sangat sektoral dan mempunyai visi dan misi sangat terbatas. Paradigma yang sektoral tersebut menganut paham dualisme yang membedakan ilmu agama dari ilmu pengetahuan umum. Bahkan, mendikotomikan keduanya. Dikotomi tersebut (pada akhirnya) menghasilkan alumni-alumni yang ketinggalan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Karena itu, visi dan misi PTAI menjadi sangat sempit dan terbatas. Barangkali hanya dapat memenuhi satu sektor tertentu saja di dalam kebutuhan manusia Indonesia modern.
Dalam pandangan Islam, ilmu sudah terkandung secara esensial dalam al-Qur’an. Beragama berarti berilmu dan berilmu berarti beragama. Karena itu, tidak ada dikotomi antara agama dan ilmu. Ilmu tidak bebas nilai, tetapi bebas dinilai atau dikritik. Menilai atau menggugat kembali keabsahan dan kebenaran suatu pendapat adalah keharusan tanpa menilai yang berpendapat.[10] Tujuan pendidikan, menurut al-Qur’an, adalah untuk mengembangkan manusia- sehingga semua pengetahuan yang diperolehnya akan menjadi organ pada keseluruhan pribadi yang kreatif, yang memungkinkan manusia memanfaatkan sumber-sumber alam untuk kebaikan umat manusia dan untuk menciptakan keadilan, kemajuan, dan keteraturan dunia. Al-Qur’an menyuruh manusia mempelajari kejadian yang ada pada diri mereka sendiri, alam semesta, dan sejarah umat manusia di muka bumi dengan cermat dan mendalam serta mengambil pelajaran darinya agar dapat menggunakan pengetahuannya dengan tepat.[11]
Paradigma ilmu pada Pendidikan Tinggi Islam, menurut Mastuhu, meliputi berbagai kesadaran, yaitu: pertama, ilmu itu secara esensial terkandung dalam ajaran Islam. Pertumbuhan dan perkembangan suatu ilmu senantiasa bersumber dari nilai-nilai ajaran Islam. Maka, dalam pandangan Islam, ilmu itu tidak bebas dari nilai, tetapi bebas dinilai. Kedua, Islam tidak mengenal dikotomi antara ilmu dan agama. Keduanya tidak dapat dipisahkan, tetapi dapat dibedakan dalam setiap posisi dan perannya. Kebenaran ilmu bersifat empirik dan relatif. Ketiga, ilmu itu diciptakan manusia. Hanya saja, sejak awal penciptaannya, pengembangan dan pengamalan ilmu sudah diniatkan untuk mengabdi kepada Allah SWT. Maka suatu pengamalan ilmu dalam Islam dilihat dari dua dimensi, yaitu materi dan pelakunya.[12]
Setiap peradaban umat manusia itu selalu dilandasi oleh ilmu pengetahuan. Begitu juga peradaban Islam, baik ketika masa kejayaan maupun ketika masa kemunduran, tidak bisa lepas dari ilmu pengetahuan yang melandasinya. Pada masa kejayaan peradaban Islam, belum dikenal adanya pertentangan ilmu, antara ilmu umum dan ilmu agama. Hal ini didukung oleh fakta sejarah bahwa banyak pemikir Muslim ketika itu. Selain sebagai ahli agama sekaligus sebagai ahli ilmu yang memberi kemaslahatan kepada orang banyak seperti ilmu kedokteran, kimia, sosiologi, perbintangan, dan sebagainya. Atau dengan kata lain, para ahli kedokteran, kimia, perbintangan, dan sebagainya, itu mempunyai akar yang kuat dalam Islam. Yang demikian itu tidak terjadi pada masa sekarang. Ilmu dipertentangkan kepada ilmu agama (tradisional) dan ilmu modern (sekuler). Sehingga jarang sekali pada masa sekarang ditemukan tokoh yang ahli kedua-duanya. Artinya, seseorang dapat menguasai agama sekaligus ilmu kedokteran, kimia, ekonomi, atau yang lainnya.
Karena hal-hal tersebut di atas, integrasi ilmu dalam Islam merupakan keniscayaan yang tidak dapat ditawar-tawar lagi. Hal ini sifatnya sangat mendesak kalau tidak ingin peradaban umat Islam selalu terbelakang. Untuk itu, ada baiknya dilihat seberapa jauh upaya yang telah dilakukan selama ini untuk integrasi ilmu tersebut.
Rahman, dengan gagasan neomodernismenya, cenderung mengembangkan ilmuwan-ilmuwan Muslim. Cara ini dilakukan dengan memilih ahli-ahli Islam muda yang potensial dengan mengajarkan kepada mereka metodologi Barat modern. Cara yang ditempuh Rahman ini, tampaknya, cukup efektif untuk mencetak sumber daya manusia (SDM) Muslim yang handal. Sebagai contoh, untuk menyebut beberapa nama di Indonesia seperti M. Amin Rais, Ahmad Syafi’i Ma’arif, Nurcholish Madjid, A. Qodri Azizi, dan Mulyadi Kartanegara.
Berbeda dengan Rahman, Ismail Raji al-Faruqi berusaha melakukan upaya integrasi ilmu dalam Islam dengan cara Islamisasi ilmu pengetahuan (Islamization of knowledge).[13] Pada tahun 1982, di Virginia (Amerika Serikat) berdiri The International Institute of Islamic Thought (disingkat dengan III-T). Lembaga ini bekerjasama dengan International Islamic University, Islamabad, Pakistan dan International Islamic University, Malaysia. Di kedua universitas itu, hasil-hasil kajian dan penelitian III-T diajarkan. Kemudian, Naquib al-Attas, dengan dukungan penuh dari Anwar Ibrahim, menyusul langkah al-Faruqi dengan mendirikan Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC), di Malaysia. Selanjutnya, di Herndon, Virginia, AS telah didirikan The Islamic Institute of Social Science. Lembaga ini telah meluluskan sarjana-sarjana ilmu-ilmu sosial Islam.[14]
Syed Muhammad Naquib al-Attas gelisah terhadap umat Islam yang suka mengadopsi dan menggunakan bahasa asing untuk mengungkapkan konsep-konsep dalam pemikiran Islam. Hal ini, lambat laun, akan mengarah pada proses sekularisasi.[15] Al-Attas sendiri menggunakan metode semantik[16] bahasa Arab dan Islam untuk menangkap secara konseptual worldview dari orang-orang yang menggunakan bahasa tersebut yang tidak hanya dalam berbicara dan berpikir, tetapi juga dalam menangkap dengan pikiran dan menerjemahkan dunia yang
mengelilinginya. Dengan menerapkan metode analisis semantik, al-Attas hendak menangkap worldview yang ada pada terma-terma yang berkembang dalam khazanah Islam. Implikasinya adalah bahwa knowledge memiliki worldview yang berbeda dan, dengan demikian, memiliki kandungan makna yang berbeda pula.
Salah satu hasil nyata dari proses Islamisasi ilmu pengetahuan yang dilakukan oleh al-Faruqi dan al-Attas adalah dalam bidang ekonomi. Ilmu ekonomi sebagaimana yang berkembang di Barat dikaji, dipahami, dan dikuasai. Demikian pula warisan tradisi Islam yang terkait dengan ekonomi, baik berasal dari sumber langsung al-Qur’an dan al-Hadits maupun ekonomi secara historis dalam kehidupan masyarakat muslim sejak abad ke 7 sampai dengan abad 20, dikaji, dipahami dan dianalisis. Setelah itu, dicari relevansi antara keduanya, kemudian dilakukan penilaian secara kritis terhadap keduanya, selanjutnya dilakukan analisis dan sintesis dari keduanya, dan akhirnya dapat ditelurkan apa yang disebut dengan ilmu ekonomi Islam. Hasil temuan yang berupa ilmu ekonomi Islam ini kemudian disebarluaskan ke seluruh penjuru, terutama melalui lembaga pendidikan tinggi, yaitu International Islamic University (IIU), Islamabad, Pakistan dan International Islamic University (IIU), Malaysia.
Pengaruh dari pemikiran al-Faruqi melalui III-T juga dapat dirasakan sampai di Indonesia. Sejak awal tahun 1990-an di Indonesia mulai digulirkan pemikiran tentang ekonomi Islam, terutama dalam bentuk lembaga-lembaga keuangan Islam. Pada tahun 1993 untuk pertama kali dibuka Bank Muamalah Indonesia (BMI) di Jakarta. Sejak itu, mulai dipikirkan pentingnya lembaga pendidikan tinggi Islam yang mengkaji ekonomi Islam, hingga pada tahun 1997 berdiri Sekolah Tinggi Ilmu Syariah (STIS) di Yogyakarta. Setelah itu, di Indonesia berdiri baik lembaga pendidikan tinggi ekonomi Islam maupun lembaga keuangan syari’ah bagaikan tumbuhnya cendawan di musim hujan. Sampai sekarang pertumbuhan dan perkembangan lembaga pendidikan tinggi ekonomi Islam dan lembaga keuangan syari’ah berjalan dengan baik. Disamping itu berdiri juga III-T di Indonesia yang diketuai oleh Prof. Dawam Raharjo.
Metode Islamisasi ilmu pengetahuan yang ditawarkan oleh al-Faruqi dan al-Attas meskipun telah menunjukkan hasil yang menggembirakan, tetapi sangat berat dan sulit dilakukan, karena memerlukan kemampuan atau kompetensi ganda, yaitu harus menguasai ilmu modern sebagaimana yang berkembang di Barat sekarang, dan harus menguasai warisan Islam baik secara normatif maupun historis, sekaligus. Ilmuwan yang memiliki kompetensi ganda semacam itu sangat sulit ditemukan di dunia manapun sekarang. Oleh karena itu, walaupun metode ini sangat bagus, tetapi sangat sulit bisa diterapkan di Indonesia. Untuk mengatasi kesulitan itu, Kuntowijoyo menawarkan solusi dengan teori “Pengilmuan Islam”.
Kuntowijoyo mengemukakan sebuah teori yang disebut sebagai upaya ‘Pengilmuan Islam’. Teori ini direkomendasikan untuk mengganti teori ‘Islamisasi ilmu pengetahuan’, dan untuk mendorong gerakan intelektual umat sekarang ini melangkah lebih jauh. Dengan demikian, diharapkan gerakan intelektual umat Islam tidak lagi sebagai gerakan reaktif, tetapi menjadi proaktif. Kuntowijoyo membedakan tiga istilah yang dapat membingungkan, yaitu ‘Pengilmuan Islam’, ‘Paradigma Islam’, dan ‘Islam sebagai ilmu’. ‘Pengilmuan Islam’ adalah proses, ‘Paradigma Islam’, adalah hasil, dan ‘Islam sebagai ilmu’ adalah proses dan hasil sekaligus.[17]
Menurut Kuntowijoyo, orang Islam harus melihat realitas melalui Islam, dan eksistensi humaniora dalam al-Qur’an. Islam sebagai teks (al-Qur’an dan al-Sunnah) dihadapkan pada realitas. Dengan kata lain dari teks ke konteks. Kemudian, mengapa orang Islam harus melihat realitas melalui Islam? Menurut ilmu budaya dan sosiologi pengetahuan, realitas itu tidak dilihat secara langsung oleh orang, tetapi melalui tabir (kata, konsep, simbol, budaya, persetujuan masyarakat). Di daerah Kejawen, orang melihat raja melalui simbol-simbol: mitos Nyi Lara Kidul, upacara labuhan, sastra Babad Tanah Jawi, tata cara sembah, dan larangan-larangan. Demikian pula, orang Amerika melihat Uni Sovyet Komunis melalui simbol-simbol: film tentang KGB dan tentara merah, konsep tirai-besi, dan anti dunia merdeka. Aparat Pemerintahan Sukarno melihat orang-orang Masyumi, PSI, dan Murba melalui konsep ‘kontra revolusi’. Aparat Orde Baru melihat orang yang mengkritik kebijakannya melalui konsep ‘anti-Pancasila’, dan kalau orangnya Islam adalah ‘ekstrem kanan’. Dunia Barat melihat Dunia Islam melalui tabir budaya: poligami, cadar, jenggot, radikalisme,[18] dan sekarang terorisme.
Menurut Kuntowijoyo, ilmu-ilmu sekuler tidak semuanya objektif seperti yang didaku. Banyak orang Islam sendiri yang ragu-ragu bahwa Islam adalah sebuah sistem, karena mereka belajar dari ilmu-ilmu sekuler Barat, yang mengajarkan bahwa agama
(termasuk Islam) terbatas pada urusan individual. Lebih-lebih mereka yang belajar secara ‘ilmiah’ melalui Marxisme yang melihat agama sebagai candu. Pemikiran manusia (ilmu dan filsafat) telah menjadi ‘petunjuk bagi orang yang percaya’ menggantikan kedudukan agama yang sebenarnya. Maka sewajarnya jika umat Islam pun berbuat sebaliknya: menjadikan Islam sebagai ilmu. Dengan pengilmuan Islam dimaksudkan supaya sifat subjektif Islam itu berubah menjadi sifat objektif ilmu. Sifat subjektif disembunyikan, sifat objektif mengemuka.[19]
Ada dua metodologi yang dipakai dalam proses pengilmuan Islam, yaitu integralisasi dan objektifikasi. Pertama, integralisasi ialah pengintegrasian kekayaan keilmuan manusia dengan wahyu (petunjuk Allah dalam al-Qur’an beserta pelaksanaannya dalam Sunnah Nabi). Kedua, objektifikasi ialah menjadikan pengilmuan Islam sebagai rahmat untuk semua orang.[20]
Menurut Kuntowijoyo, sebagaimana Thomas Kuhn, ilmu-ilmu sekuler sebagai normal sciences, sedangkan ilmu-ilmu integralistik yang sedang dirintis sebagai revolusi. Pradigma baru ilmu-ilmu integralistik itu kedudukannya akan mirip dengan kedudukan ilmu-ilmu sosial Marxistis terhadap ilmu-ilmu sosial Barat yang dianggap kapitalistis. Ilmu-ilmu sekuler merupakan produk bersama seluruh manusia, sedangkan ilmu-ilmu integralistik adalah produk bersama seluruh manusia beriman untuk semua manusia. Ilmu-ilmu integralistik tidak memandang rendah ilmu-ilmu sekuler, tetapi sebaliknya ingin menghormati dengan mengkritisi dan meneruskan perjalanannya.
Karena ilmu-ilmu sekuler sedang terjangkiti krisis, mengalami kemandekan, dan penuh bias di sana-sini (filosofis, keagamaan, peradaban, etnis, ekonomis, politis, dan gender).[21]
Dengan demikian, ilmu-ilmu integralistik memang diperlukan demi kepentingan keberlangsungan eksistensi substansi ilmu-ilmu sekuler sendiri. Ilmu-ilmu integralistik tidak ingin mengganti ilmu-ilmu sekuler, tetapi sekedar ingin berada bersama. Ilmu-ilmu integralistik juga ingin bekerja untuk mendukung kelangsungan hidup dan masa depan manusia. Alur pertumbuhan ilmu-ilmu sekuler adalah sebagai berikut.
Filsafat
antroposentrisme
diferensiasi
Ilmu sekuler


Keterangan:
Filsafat, tempat berangkat ilmu-ilmu sekuler. Filsafat rasionalisme yang muncul pada abad ke-15/16 menolak teosentrisme Abad Tengah. Rasio manusia diagungkan dan wahyu Allah dinistakan. Sumber kebenaran adalah pikiran, bukan wahyu Allah. Allah masih diakui keberadaannya, tetapi Allah dianggap lumpuh, tidak berkuasa, tidak membuat hukum-hukum.
Antroposentrisme. Dalam Rasionalisme manusia menempati kedudukan yang tinggi. Mnusia menjadi pusat kebenaran, etika, kebijaksanaan, dan pengetahuan. Manusia adalah pencipta, pelaksana, dan konsumen produk-produk manusia sendiri.
Diferensiasi. Waktu manusia mengggap bahwa dirinya menjadi pusat, terjadilah diferensiasi (pemisahan). Etika, kebijaksanaan, dan pengetahuan tidak lagi berdasarkan wahyu Allah. Karena itu kegiatan ekonomi, politik, hukum, dan ilmu harus dipisahkan dari Islam. Kebenaran ilmu terletak dalam ilmu itu sendiri, yaitu korespondensi, dan koherensi di dalam ilmu, antara bagian-bagian keilmuan dengan seluruh bangunan ilmu. Ilmu harus objektif, tidak ada campur tangan etika, moral, dan kepentingan lain. Dulu pada Abad Tengah ilmu hanya berposisi sebagai pendukung wahyu, kemudian dalam filsafat modern ilmu menjadi otonomi. Filsafat dan filsafat ilmu mendapatkan bentuknya yang konkret dalam ilmu. Konkretisasi itu berjalan sesuai persis dengan semangat filsafat dan filsafat ilmunya. Ilmu hanyalah pelayan setia dari filsafat dan filsafat ilmu.
Ilmu Sekuler mengaku diri sebagai objektif, bebas nilai, dan bebas dari keperluan lainnya. Tetapi, ternyata ilmu telah melampaui dirinya sendiri. Ilmu yang semula adalah ciptaan manusia telah menjadi penguasa atas manusia. Ilmu menggantikan kedudukan wahyu Allah sebagai petunjuk kehidupan. Kalau dahulu antroposentrisme dan diferensiasi terbatas dalam ilmu dan perilaku, sekarang ini sekularisme telah menjadi aliran pemikiran, menggantikan keyakinan agama. Seluruh kehidupan diyakini akan menjadi sekuler. Bahkan, agama akan lenyap, atau hanya menjadi spiritualitas dan menjadi kesadaran kosmis. Sekularisme adalah eskatologi manusia modern.
Alur pertumbuhan ilmu-ilmu integralistik adalah sebagai berikut.
Agama
teoantroposentrisme
dediferensiasi
Ilmu integralistik


Keterangan:
Agama. Al-Qur’an merupakan wahyu Allah yang mengatur hubungan manusia dengan Allah, diri sendiri, dan lingkungan (fisik, sosial, budaya). Kitab suci yang diturunkan itu merupakan petunjuk etika, kebijaksanaan, dan dapat menjadi setidaknya Grand Theory (misal sistem ekonomi, pendidikan, dan politik). Wahyu tidak pernah mengklaim sebagai ilmu qua ilmu.
Teoantroposentrisme. Agama memang mengklaim sebagai sumber kebenaran, etika, hukum, kebijaksanaan, dan sedikit pengetahuan. Agama tidak pernah menjadikan wahyu Allah sebagai satu-satunya sumber pengetahuan dan melupakan kecerdasan manusia, atau sebaliknya, menganggap pikiran manusia sebagai satu-satunya sumber pengetahuan dan melupakan Allah.
Dediferensiasi. Modernisme yang menghendaki diferensiasi sudah tidak sesuai lagi dengan semangat zaman. Pada peradaban Pascamodern perlu perubahan menuju dediferensiasi (rujuk kembali). Kalau diferensiasi menghendaki pemisahan antara agama dan sektor-sektor kehidupan lain, maka dediferensiasi berusaha menyatukan kembali agama dengan sektor-sektor kehidupan lain, termasuk agama dan ilmu.[22]
Menurut Kuntowijoyo, agama menyediakan tolok-ukur kebenaran ilmu, ilmu diproduksi, dan tujuan-tujuan ilmu. Ilmu yang lahir dari induk agama menjadi ilmu yang obyektif. Objektifikasi ilmu adalah ilmu dari orang beriman untuk seluruh manusia, tidak hanya untuk orang beriman saja. Misalnya objektifikasi sengatan lebah tanpa harus percaya kepada al-Qur’an yang memuji lebah, dan perbankan syari’ah tanpa harus meyakini etika Islam tentang ekonomi. Oleh karena itu, objektifikasi ilmu berarti ilmu itu terbuka untuk semua orang, dapat ditularkan secara terbuka dan tanpa laku yang rahasia (missal sakti, kharisma, tiban).[23]
Ilmu Integralistik, ilmu yang menyatukan wahyu Tuhan dan temuan pikiran manusia. Ilmu ini tidak akan mengucilkan Tuhan (sekularisme) atau mengucilkan manusia. Integralisme akan menyelesaikan konflik antara sekularisme ekstrem dan agama-agama radikal dalam banyak sektor. Misalnya, pikiran Barat sekuler berhasil menghasilkan ilmu ekonomi, kemudian dimasuki norma-norma wahyu Tuhan menjadi ilmu ekonomi syari’ah, lalu muncul lembaga-lembaga keuangan syari’ah seperti Bank Muamalah Indonesia (BMI), BNI Syari’ah, Bank Mandiri Syari’ah, BMT, dan sebagainya.[24] Disamping itu, Kuntowijoyo juga memberikan contoh aplikasi pengilmuan Islam dalam bidang politik, dan profetik sosial.[25]
Teori yang ditawarkan oleh Kuntowijoyo ini sangat mendasar dan sangat luas, karena berusaha mengubah paradigma berpikir sekuler Barat modern, dari menafikan wahyu menjadi memanfaatkan wahyu. Ilmu sekuler modern berangkat dari filsafat dan berakhir pada kebenaran rasio semata, berusaha diubah menjadi berangkat dari agama dengan memperhatikan kebenaran wahyu dan berakhir pada ilmu integralistik. Teori Kuntowijoyo ini walaupun sangat sulit diterapkan, tetapi ia sendiri telah berhasil memberikan contoh konkret dalam bidang politik dan ilmu profetik sosial. Walaupun teori ini telah memiliki etos tersendiri dan telah diaplikasikan oleh pemiliknya, tetapi masih sangat sulit untuk diikuti oleh ilmuwan lain. Untuk mengatasi kesulitan itu, Amin Abdullah menawarkan metode interkoneksitas keilmuan.
Amin Abdullah mencoba memotret aktifitas keilmuan di IAIN sekarang. Menurut Amin aktifitas keilmuan di IAIN hanya terfokus pada Kalam, Falsafah, Tasawuf, Hadis, Tarikh, Tafsir dan Lughah. IAIN belum mampu memasuki diskusi ilmu-ilmu sosial dan humaniora kontemporer seperti Antropologi, Sosiologi, Psikologi, dan Filsafat. Akibatnya, terjadi jurang wawasan keislaman yang tidak terjembatani antara ilmu-ilmu keislaman klasik dan ilmu-ilmu keislaman baru yang telah memanfaatkan analisis ilmu-ilmu sosial dan humaniora kontemporer, bahkan juga ilmu-ilmu alam.[26]
Isu-isu sosial, politik, ekonomi, keagamaan, militer, gender, lingkungan, ilmu-ilmu sosial dan humaniora kontemporer pasca modern hampir-hampir tidak tersentuh oleh ilmu-ilmu sosial dan kajian keislaman di IAIN. Ungkapan seperti “to be religious today is to be interreligious” terasa masih sangat absurd dan unthinkable, bahkan mustahil untuk dipikirkan, meskipun era globalisasi-informasi memaksa manusia beragama di era sekarang untuk berpikir demikian.[27]
Menurut Amin Abdullah, ke depan kesulitan ini akan semakin diperparah dengan realitas di lapangan bahwa ilmu-ilmu agama Islam memang tidak dirancang terintegrasi dengan ilmu-ilmu pengetahuan dan teknologi yang memberi bobot
keterampilan untuk hidup secara lebih luas. Ilmu-ilmu kauniyah (science and technology) terpisah jauh dari inti ilmu-ilmu qauliyah (teks-naskah), kemudian masing-masing berdiri sendiri-sendiri, tanpa kontak dan tegur sapa. Bahkan nyaris seringkali terjadi bahwa ilmu-ilmu keagamaan Islam seperti yang disajikan sekarang ini hampir-hampir tidak dapat membekali perangkat lunak untuk menjaga, memelihara, mengawasi, dan mengontrol dengan mengkritik moralitas dan kesalehan publik. Sudah barang tentu fenomena ini kurang menguntungkan anak didik bagi kehidupan bangsa secara luas karena dari awal mula telah menyeberang dari pola pokok ajaran al-Qur’an yang selalu mengintegrasikan ilmu-ilmu umum dan ilmu-ilmu agama. Al-‘ulum al-diniyah, al-‘ulum al-kauniyah, al-‘ulum al-insaniyah, al-‘ulum al-tarikhiyah, al-‘ulum al-falsafiyah-al-akhlaqiyah menyatu padu dalam kosa kata al-Qur’an sehingga perlu digali secara simultan dan dikembangkan secara terpadu dan proporsional.[28]
Untuk itu, Amin Abdullah mengkaitkan epistemologi model Muhammad Abid al-Jabiri, bayani, burhani, dan irfani dengan pemikiran Jurgen Habermas mengenai tiga media untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia, yaitu pekerjaan, komunikasi, dan etika. Yang dimaksud dengan pekerjaan adalah mengubah lingkungan hidup, baik lingkungan fisik maupun sosial. Untuk memenuhi kebutuhan ini diperlukan keterampilan teknis-teknologik. Kemudian, yang dimaksud dengan komunikasi adalah bahasa. Bahasa merupakan meta institusi yang dijadikan sandaran bagi seluruh tindakan-tindakan sosial. Bahasa berfungsi sebagai alat perantara antar berbagai tradisi epistemologi keilmuan yang ada, baik ilmu alam, sosial, humaniora, maupun ilmu-ilmu keislaman. Kemudian, etika didefinisikan sebagai cara mengatur, mengarahkan, mengendalikan, mengontrol atau mengawasi. Oleh karena itu, semua ilmu mempunyai misi, advokasi, dan keterampilan untuk melakukan proses pembebasan diri dari segala macam kekuatan dalam sejarah dan masyarakat lewat proses edukasi dan pencerahan yang berkesinambungan.[29]
Menurut Amin Abdullah, integrasi keilmuan perlu memperhatikan prinsip-prinsip dasar berikut. Hadarah al-nash (bayani) memang tidak lagi bisa berdiri sendiri, terlepas sama sekali dari hadarah al-ilm (teknik, komunikasi) dan juga tidak bisa terlepas dari hadarah al-falsafah (etik), begitu juga sebaliknya. Hadarah al-ilm, yaitu ilmu empiris yang menghasilkan sains dan teknologi, akan tidak punya karakter yang berpihak pada kehidupan manusia dan lingkungan hidup, jika tidak dipandu oleh hadarah al-falsafah. Sementara itu, hadarah al-nash dalam kombinasinya dengan hadarah al-ilm tanpa mengenal humaniora kontemporer sedikitpun juga berbahaya, karena jika tidak hati-hati akan mudah terbawa arus ke arah gerakan radicalism-fudamentalism. Untuk itu diperlukan hadarah al-falsafah, etik yang bersifat transformatif-liberatif. Begitu pula, hadarah al-falsafah (budaya filsafat) akan terasa kering jika tidak terkait dengan isu-isu keagamaan yang termuat dalam budaya teks dan lebih-lebih jika tidak menjauh dari problem-problem yang ditimbulkan dan dihadapi oleh hadarah al-ilm.[30]
Kemudian, untuk mengembangkan keilmuan secara terintegrasi sedapat
mungkin menghindari jebakan-jebakan keangkuhan disiplin ilmu yang merasa “pasti” dalam wilayah sendiri-sendiri tanpa mengenal masukan dari disiplin di luar dirinya. Jebakan-jebakan itu akan mungkin terjadi jika konfigurasi keilmuan yang hendak dibangun tidak dirancang dengan teliti dan matang. Jika diskemakan rancang bangun keilmuan baru sebagai berikut.[31]
Hadarah alIlm
Hadarah
al-Nash



Hadarah
Al-Falsafah








Skema di atas disederhanakan menjadi

Hadarah al-Nash



UIN

Hadarah al-Ilm Hadarah al-Falsafah

Metode yang ditawarkan oleh Amin Abdullah jika dibandingkan dengan metode al-Faruqi dan Kuntowijoyo lebih simpel dan mungkin untuk dilaksanakan oleh ilmuwan-ilmuwan sekarang. Namun sayang, Amin Abdullah belum dapat memberikan contoh secara konkret bentuk interkoneksitas diantara ketiga hadarah tersebut. Tetapi tidak menjadi masalah, karena masih on going process. Mudah-mudahan segera dapat ditemukan contoh konkretnya.
Perguruan tinggi Islam di masa depan perlu diarahkan untuk memberikan solusi atas berbagai problem yang dihadapi umat manusia. Karena problem itu tidak selamanya berasal dari bidang agama, baik bidang agama maupun bidang-bidang lain, dalam kehidupan ini, perlu dikembangkan di perguruan tinggi Islam secara integratif. Karena itu, di perguruan tinggi Islam tidak perlu didikotomikan antara ilmu tradisional dan ilmu modern; antara ilmu agama dan ilmu sekuler, yang kedua-duanya dikembangkan secara bersama-sama dan terpadu. Untuk itu, dapat ditempuh dengan menerima pendidikan sekuler modern sebagaimana telah berkembang secara umum di Barat dan mencoba untuk “mengislamkan”nya-, yakni, mengisinya dengan konsep-konsep kunci tertentu dari Islam. Cara ini memiliki dua tujuan: pertama, membentuk watak mahasiswa dengan nilai Islam dalam kehidupan individu dan masyarakat, dan kedua, memungkinkan para ahli yang berpendidikan modern untuk menanami bidang kajian masing-masing dengan nilai-nilai Islam pada perangkat-perangkat yang lebih tinggi; menggunakan perspektif Islam untuk mengubah, baik kandungan maupun orientasi kajian-kajian mereka.
Secara khusus, cara pembaharuan pendidikan yang disarankan Rahman terhadap pendidikan di Pakistan dapat diaplikasikan pada pendidikan tinggi Islam di Indonesia, dengan cara: pertama, membangkitkan kembali ideologi keharusan belajar dan mengembanngkan ilmu pengetahuan. Kedua, mengintegrasikan ilmu (antara ilmu agama dan ilmu umum) ke dalam pendidikan tinggi Islam di Indonesia untuk kemaslahatan umat manusia. Ketiga, menyadari akan pentingnya bahasa, kemudian mengembangkannya sebagai alat komunikasi, baik secara lesan maupun tulis. Keempat, mengganti metode pendidikan secara mengulang-ulang (membeo), dan menghafal dengan metode memahami dan menganalisis. Hal ini terkait erat dengan inti neomodernisme yang menekankan sifat kritis dan kreatif.
Kemudian, pemikiran pendidikan Rahman jika disistematisasikan ke dalam kurikulum yang unsur-unsurnya meliputi tujuan, materi, metode, dan evaluasi, akan diketahui sebagai berikut. Mengenai tujuan pendidikannya ditemukan adanya tiga macam tujuan, yaitu (1) untuk mengembangkan manusia- sedemikian rupa sehingga semua pengetahuan yang diperolehnya akan menjadi organ pada keseluruhan pribadi yang kreatif, yang memungkinkan manusia untuk memanfaatkan sumber-sumber alam untuk kebaikan umat manusia dan untuk menciptakan keadilan, kemajuan, dan keteraturan dunia, (2) untuk menyelamatkan manusia dari diri sendiri oleh diri sendiri dan untuk diri sendiri, dan (3) untuk melahirkan ilmuwan yang padanya terintegrasi ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum modern, yang ditandai oleh adanya sifat kritis dan kreatif. Mengenai materinya, jika dikaitkan dengan klasifikasi ilmu pengetahuan, terdapat tiga macam yaitu pengetahuan tentang alam, pengetahuan tentang sejarah, dan pengetahuan tentang manusia. Akan tetapi, jika materinya disesuaikan dengan tujuan pendidikan yang ketiga, maka materinya tentu saja terdiri dari ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum modern. Mengenai metode pembelajarannya dilakukan dengan menekankan pada cara-cara memahami dan menganalisis materi pelajaran, bukan sekedar mengulang-ulang pelajaran sampai hafal. Disamping itu, metode pembelajarannya dapat menerapkan metode a double movement. Gerak pertama terkait dengan mahasiswa, dan gerak kedua terkait dengan fungsi sosial di masyarakat. Gerak pertama berupa penyadaran pada mahasiswa dan gerak kedua merupakan kemampuan mahasiswa berperan dalam masyarakat. Indikator yang dipakai dalam melakukan evaluasi adalah lahirnya ilmuwan yang kritis dan kreatif.
Selanjutnya, jika pemikiran pendidikan Fazlur Rahman sebagaimana tersebut di atas dikaitkan dengan kurikulum berbasis kompetensi (KBK), maka akan kelihatan dengan jelas bahwa kompetensi yang akan dicapai melalui proses pendidikannya adalah dapat melahirkan ilmuwan yang memiliki kompetensi secara terintegrasi antara ilmu-ilmu agama Islam dan ilmu-ilmu umum modern dalam satu kesatuan pada ilmuwan tersebut. Materi pendidikan (subject matters) yang terdiri dari ilmu-ilmu agama Islam sebagai fondasinya dan ilmu-ilmu umum modern sebagai spesialisasinya, semata-mata diperlukan sebagai konteks untuk mencapai kompetensi tersebut. Metode yang diterapkan dalam pendidikan itu adalah metode pembelajaran aktif. Metode ini memberi kesempatan kepada mahasiswa untuk memahami dan menganalisis materi pelajaran sesuai dengan irama mereka masing-masing. Mereka sendiri yang melakukan proses pembelajaran mulai dari usaha pencarian dan pelacakan materi, kemudian membaca, memahami, menganalisis, melakukan uji-coba, dan sedapat mungkin sampai mengaktualisasikan dalam kehidupan nyata. Sementara itu, dosen berfungsi sebagai fasilitator. Tugas utama dosen adalah memfasilitasi segala sesuatu yang diperlukan oleh para mahasiswanya, seperti mengupayakan kondisi yang kondusif untuk belajar, menyediakan segala media dan instrument yang mereka butuhkan, selalu siap membantu mereka jika sewaktu-waktu mereka perlu dibantu, dan memberi alternatif solusi atas segala kesulitan yang mereka hadapi. Mengenai evaluasinya dapat dilakukan dengan sistem evaluasi berbasis kelas. Sistem evaluasi jenis ini, bukan hanya dilakukan dengan tes tengah semester dan akhir semester, melainkan mencakup proses belajar mahasiswa secara keseluruhan, mulai dari proses paling awal sampai dengan terakhir. Apapun yang dilakukan oleh mahasiswa yang terkait dengan kuliah harus tercakup dalam evaluasi. Kemudian, yang dijadikan indikator kelulusan bukan hanya aspek kognitif, tetapi semua indikator yang diturunkan dari kompetensi yang akan dicapai, yaitu lahirnya ilmuwan yang padanya terintegrasi ilmu-ilmu agama Islam dan ilmu-ilmu umum modern, yang ditandai adanya sifat kritis dan kreatif.
Sampai di sini, akhirnya dapat diketahui bahwa jika pendidikan tinggi Islam di Indonesia bersedia mengikuti pemikiran pendidikan Rahman, secara berangsur-angsur motivasi umat Islam Indonesia terhadap pengembangan ilmu akan semakin kuat, dikotomi ilmu di kalangan umat Islam Indonesia akan semakin terkikis, yang diikuti oleh semakin pudarnya dualisme dalam sistem pendidikan umat Islam di Indonesia. Jika hal ini dapat berjalan dengan baik, tidak mustahil, suatu ketika nanti, pendidikan tinggi Islam di Indonesia dapat melahirkan ilmuwan-ilmuwan Muslim yang kritis dan kreatif. Ilmuwan-ilmuwan semacam ini sangat mungkin dapat menghasilkan temuan-temuan yang berharga, yang dapat menyelesaikan problem-problem umat manusia.

[1] .Zamroni, “Sosok Ideal Pendidikan Tinggi Islam” dalam Pendidikan Islam dalam Peradaban Industrial, penyunting Muslih Usa dan Aden Wijdan SZ., Aditya Media, Yogyakarta, 1997, hlm. 28-31.
[2] Lihat makalah Djohar, “Pendidikan Alternatif: Mencari Terobosan Baru dalam Kemandegan Pendidikan di Indonesia” yang disampaikan pada seminar tentang Pemikiran dan Metodologi Pendidikan, oleh LP3 dan FAI UMY, pada tanggal 25 Februari 2002.
[3] Lihat H.A.R. Tilaar, Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional dalam Perspektif Abad 21, Tera Indonesia, Magelang, 1998, hlm. 207-208.
[4] Fazlur Rahman, Islam, hlm. 259-260.
[5] Lebih lanjut baca Mastuhu, Memberdayakan Sistem Pendidikan Islam, hlm. x.
[6] Satryo Soemantri Brojonegoro, dkk., “Implementasi Paradigma Baru di Perguruan Tinggi” dalam Reformasi Pendidikan dalam Konteks Otonomi Daerah (ed. Fasli Jalal dan Dedi Supriadi), Bappenas-Depdiknas-Adicita Karya Nusa, Yogyakarta, 2001, hlm. 368-369.
[7] Maksudnya adalah ideologi Islam yang terkait dengan pentingnya ilmu, dimana Islam mengharuskan belajar dan mengembangkan ilmu pengetahuan bagi semua pemeluknya sesuai dengan kemampuan mereka masing-masing.
[8] Lihat Fazlur Rahman “The Qur’anic Solution of Pakistan’s Education Problems”, hlm. 315-326.
[9] Ibid.
[10] Mastuhu, Memberdayakan Sistem Pendidikan Islam, hlm. 9.
[11] Lihat Fazlur Rahman “The Qur’anic Solution of Pakistan’s Education Problems”, hlm. 315-326.
[12] Mastuhu, Memberdayakan Sistem Pendidikan Islam, hlm. 219-220.
[13] Upaya Islamisasi pengetahuan oleh al-Faruqi dilaksanakan melalui dua belas langkah secara sistematis. Langkah pertama adalah penguasaan disiplin ilmu modern. Disiplin ilmu modern harus dibagi menjadi kategori, prinsip, metodologi, masalah, dan tema. Langkah kedua adalah survei disiplin ilmu. Setelah kategori disiplin itu dibagi-bagi, suatu survei pengetahuan harus ditulis mengenai masing-masing disiplin ilmu itu. Langkah ketiga adalah penguasaan warisan Islam. Langkah keempat adalah analisa warisan Islam. Langkah kelima adalah menentukan relevansi khusus antara Islam dan disiplin-disiplin itu. Langkah keenam adalah penilaian kritis terhadap disiplin modern. Langkah ketujuh adalah penilaian kritis terhadap warisan Islam. Langkah kedelapan adalah survei terhadap masalah-masalah utama yang dihadapi umat. Langkah kesembilan adalah survei masalah-masalah kemanusiaan. Langkah kesepuluh adalah analisis dan sintesis kreatif. Langkah kesebelas adalah menyusun kembali disiplin ilmu modern ke dalam kerangka Islam. Langkah keduabelas adalah menyebarkan ilmu pengetahuan Islam. Lebih lanjut baca Ismail Raji al-Faruqi, Islamization of Knowledge Series (1), hlm. 88-90.
[14] Lihat M. Dawam Raharjo “IAIN Dengan Mandat Diperluas” dalam Perta: Jurnal Komunikasi Perguruan Tinggi Islam, Vol. IV/ No. 01/ 2001, hlm. 35-40.
[15] Lihat M. Dawam Raharjo “IAIN Dengan Mandat Diperluas” dalam Perta: Jurnal Komunikasi Perguruan Tinggi Islam, Vol. IV/ No. 01/ 2001, hlm. 35-40.
[16] Yaitu suatu metode analisis terhadap terma-terma kunci dari suatu bahasa.
[17] Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi, dan Etika, 2004, hlm.i-ii.
[18] Ibid., hlm. 1
[19] Ibid., hlm. 2.
[20]Ibid., hlm. 52.
[21] Ibid., hlm. 52-53.
[22] Ibid., hlm. 52-56.
[23] Ibid., hlm. 57-58.
[24] Ibid., hlm. 59.
[25] Contoh aplikasi dalam bidang politik lihat halaman 63-84, dan untuk aplikasi ilmu sosial profetik lihat halaman 88-116.
[26] M. Amin Abdullah “Etika Tauhidi Sebagai Dasar Kesatuan Epistemologi Keilmuan Umum dan Agama (Dari Paradigma Positivistik-Sekularistik ke Arah Teoantroposentrik-Integralistik” dalam Menyatukan Kembali IlmuIilmu Agama dan Umum, Upaya Mempertemukan Epistemologi Islam dan Umum, Editor Jarot Wahyudi dkk., Suka Press IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2003, hlm 13-14.
[27] Ibid.
[28] Ibid., hlm. 15-16.
[29]Lihat makalah “Design Pengembangan Akademik IAIN Menuju UIN Sunan Kalijaga: Dari Pola Pendekatan Dikotomis-atomistik ke arah Integratif-Interdisiplinary, hlm. 21-27.
[30] Ibid., hlm. 31-32.
[31] Ibid., hlm. 32.
BAB VII
STUDI KRITIS TERHADAP PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM
YANG MENGHIDUPKAN

Krisis multi dimensi yang memporak-porandakan sendi-sendi kehidupan bangsa Indonesia sejak pertengahan tahun 1997 yang sampai sekarang belum sepenuhnya recovery mulai menyadarkan bangsa Indonesia akan pentingnya pendidikan Islam. Hal ini semakin mendorong para pemerhati dan peneliti pendidikan Islam untuk memberikan kontribusi pada persoalan tersebut.
Fazlur Rahman, seorang pembaharu yang paling bertanggungjawab pada abad ke-20[1] memiliki berbagai pemikiran yang terkait dengan pendidikan umat Islam. Ia berhasil mengembangkan suatu metode yang dapat memberi alternatif solusi atas problem-problem pendidikan umat Islam kontemporer. Semula ia mengembangkan metode kritik sejarah, kemudian dikembangkan lebih lanjut menjadi metode penafsiran sistematis (the systematic interpretation method), dan akhirnya disempurnakan menjadi metode gerakan ganda (a double movement).
Untuk mengungkap hal-hal tersebut, maka bab ini difokuskan untuk melacak kontribusi pemikiran Rahman pada pendidikan umat Islam. Pembahasan ini meliputi sistem dan kurikulum pendidikan yang mencakup tujuan, materi, metode dan evaluasi pendidikan Islam, persoalan-persoalan dalam pendidikan Islam dan solusi atas problem-problem tersebut menurut Rahman. Masalah ini akhirnya mengarah pada jawaban atas persoalan mengapa terjadi dualisme dalam sistem pendidikan umat Islam.

Tinjauan Teoritis Pemikiran Pendidikan Fazlur Rahman
Sub bab ini difokuskan pada sistem dan kurikulum pendidikan menurut Rahman. Hal ini penting karena kurikulum menjadi salah satu faktor pendidikan yang ikut menentukan kualitas lulusan dari pendidikan. Hilda Taba, ketika membahas kurikulum, mulai dari analisis tentang krisis pendidikan.[2] Hal ini dapat dipahami bahwa kalau terjadi krisis dalam pendidikan, faktor yang perlu dilihat lebih dahulu adalah kurikulumnya. Kemudian, dari kurikulum perbaikan pendidikan dapat dimulai. Kurikulum juga dapat dipakai sebagai alat untuk melihat pemikiran pendidikan dari seorang tokoh.
Melalui kajian terhadap berbagai buku tentang kurikulum, dapat diketahui bahwa kurikulum pendidikan terdiri dari empat komponen utama, yaitu tujuan, materi, metode, dan evaluasi.[3] Tujuan pendidikan, sebagai komponen pertama dari kurikulum, adalah sesuatu yang akan dicapai oleh peserta didik melalui proses pendidikan itu. Oliva membedakan istilah “outcome”, “aims”, “curriculum goals”, “curriculum objectives”, “instructional goals”, dan “instructional objectives”. Istilah “outcome” dipakai untuk menunjukkan hasil sementara secara umum. “The aims of education” adalah pernyataan sangat luas dan umum mengenai tujuan pendidikan. “Curriculum goals” (tujuan kurikuler umum) didefinisikan sebagai tujuan umum dan terencana tetapi tanpa disertai kriteria pencapaiannya, sedangkan “curriculum objectives” ( tujuan kurikuler khusus) adalah target khusus dan terencana serta disertai dengan kriteria pencapaiannya. “Instructional goals” (tujuan pembelajaran umum/TPU) adalah pernyataan mengenai target pembelajaran umum, yang dibuat dengan istilah tidak operasional dan tidak dapat diukur, serta dengan tanpa kriteria pencapaiannya, sedangkan “instructional objectives” (tujuan pembelajaran khusus/TIK) adalah perilaku peserta didik yang diharapkan, yang dibuat dengan istilah operasional serta dapat diukur.[4]
Berbagai istilah tujuan pendidikan seperti tersebut di atas, perlu disederhanakan guna untuk melihat tujuan pendidikan menurut Rahman. Misalnya, cukup disederhanakan menjadi dua istilah tujuan pendidikan, yaitu tujuan pendidikan secara khusus dan tujuan pendidikan secara umum. Tujuan pendidikan secara khusus menurut Rahman adalah untuk mengembangkan manusia- sedemikian rupa sehingga semua pengetahuan yang diperolehnya akan menjadi organ pada keseluruhan pribadi yang kritis dan kreatif. Kemudian, tujuan pendidikan secara umum adalah untuk memungkinkan manusia memanfaatkan sumber-sumber alam untuk kebaikan umat manusia dan untuk menciptakan keadilan, kemajuan, dan keteraturan dunia.[5]
Komponen yang kedua dari kurikulum adalah materi atau bahan pendidikan. Materi atau bahan pendidikan bisa berupa kitab kuning (seperti di pesantren-pesantren salaf), buku-buku, jurnal-jurnal, laporan-laporan hasil penelitian, dan apa saja yang dapat digunakan sebagai konteks untuk mencapai tujuan pendidikan yang telah ditentukan. Materi pendidikan pada masa sekarang diatur dalam bentuk nama-nama mata pelajaran atau matakuliah sesuai dengan nomenklatur keilmuannya. Dari masing-masing mata pelajaran atau mata kuliah tersebut terdapat sekian banyak literatur yang berfungsi sebagai bahan atau sumber pembelajaran. Rahman dengan mengacu kepada al-Qur’an menyimpulkan bahwa materi yang dapat dipelajari manusia meliputi apa yang terdapat pada diri manusia sendiri, alam semesta, dan sejarah umat manusia.[6]
Komponen kurikulum yang ketiga adalah metode pendidikan. Metode pendidikan diperlukan untuk mengatur proses pembelajaran mulai dari persiapan sampai dengan melakukan evaluasi. Adalah John P. Miller, seorang ahli metode pembelajaran dari Ontario Institute for Studies in Education yang banyak melakukan kritik terhadap metode pembelajaran. Menurut Miller banyak peserta didik yang tidak tertarik belajar di kelas, bahkan mereka merasa tersiksa. Oleh karena itu, disusunlah model pembelajaran yang menarik bagi peserta didik dengan diberi nama Humanizing The Classroom: Models of Teaching in Affective Education.[7] Melvin L. Silberman tidak mau ketinggalan dari Miller, mengemukakan 101 stategi pembelajaran yang dapat mengaktifkan peserta didik. Menurut Silberman jika peserta didik hanya mendengarkan pelajaran, mereka akan lupa; jika mendengar dan melihat, mereka ingat sedikit; jika mereka mendengar, melihat dan melakukan diskusi, mereka akan faham; jika mereka mendengar, melilhat, berdiskusi dan melakukan, mereka akan memperoleh pengetahuan dan keterampilan; dan jika mereka dapat mengajarkan kepada peserta didik lain, mereka akan menguasainya.[8] Rahman banyak melakukan kritik terhadap metode pendidikan umat Islam terutama pendidikan pada abad pertengahan yang hanya sekedar mengulang-ulang pelajaran sampai hafal. Metode semacam ini disebut metode mekanis. Sebaliknya, Rahman menyarankan kepada umat Islam agar menuntut dan mengembangkan ilmu pengetahuan dengan melakukan observasi, analisis, dan eksperimen.[9]
Komponen kurikulum yang keempat adalah evaluasi pendidikan. Evaluasi digunakan untuk mengetahui seberapajauh tujuan pendidikan telah dicapai peserta didik. Evaluasi pendidikan yang baik adalah evaluasi yang dapat mengevaluasi semua proses pendidikan mulai dari awal sampai akhir, yang dapat mengevaluasi baik aspek kognitif, afektif maupun psikomotor. William E. Blank mengemukakan suatu jenis evaluasi yang disebut dengan evaluasi performansi. Menurut Blank hanya dengan evaluasi performansi seorang pendidik dapat mengetahui bahwa peserta didiknya telah mencapai tujuan pendidikan yang telah ditentukan atau belum.[10] Sebagaimana telah dikemukakan di atas bahwa tujuan pendidikan menurut Rahman adalah untuk mengembangkan manusia- sedemikian rupa sehingga semua pengetahuan yang diperolehnya akan menjadi pribadi yang kritis dan kreatif yang memungkinkannya memanfaatkan sumber-sumber alam untuk kebaikan umat manusia dan untuk menciptakan keadilan, kemajuan, dan keteraturan dunia. Untuk mengetahui seberapajauh tujuan pendidikan ini telah dicapai oleh peserta didik, maka perlu dilakukan evaluasi terhadap performansi peserta didik terutama dari sifat kritis dan kreatif, dari segi kemampuan memanfaatkan sumber-sumber alam untuk kebaikan manusia, dan dari segi keberhasilannya menciptakan keadilan, kemajuan, serta keteraturan dunia.
Pemikiran pendidikan Rahman terfokus pada upaya untuk mengobati krisis pemikiran umat Islam yang semakin akut, dan untuk memberikan alternatif solusi atas problem-problem pendidikan umat Islam. Upaya ini ia lakukan dengan mencari worldview, elan dasar, dan etika al-Qur’an. Fazlur Rahman menemukan bahwa worldview al-Qur’an adalah konsep tentang kesatuan Tuhan, alam semesta, dan manusia (monoteisme); dan elan dasarnya adalah moral yang berupa keadilan sosial; serta yang menjadi kata kunci etika al-Qur’an adalah kata iman, Islam, dan taqwa. Selanjutnya, ia ajukan cara yang paling spesifik untuk menyelesaikan problem-problem pendidikan umat Islam, yaitu dengan metode kritik sejarah, metode penafsiran sistematis, dan metode suatu gerakan ganda (a double movement).
Metode a double movement (suatu gerakan ganda) Rahman dapat diterapkan untuk memberi alternatif solusi atas problem-problem pendidikan. Penerapan metode ini pada problem pendidikan telah dicontohkan oleh Rahman untuk kasus pendidikan di Pakistan melalui empat langkah sebagai berikut. Langkah pertama adalah identifikasi terhadap pendidikan umat Islam di Pakistan ketika itu. Langkah kedua adalah menemukan problem pendidikan di Pakistan. Langkah ketiga adalah mencarikan rujukan pada al-Qur’an dan al-Hadis. Langkah terakhir adalah berusaha memberikan alternatif solusi atas problem tersebut berdasar rujukan al-Qur’an dan al-Hadis. Identifikasi terhadap pendidikan umat Islam di Pakistan yang dilakukan oleh Fazlur Rahman, waktu itu telah ditemukan suatu problem utama, yaitu problem ideologis. Menurut Rahman, umat Islam waktu itu gagal mengaitkan pentingnya ilmu pengetahuan dan pendidikan dengan ideologi mereka. Akibatnya, umat Islam tidak termotivasi untuk belajar, apalagi untuk mengembangkan ilmu pengetahuan. Akibat lebih lanjut adalah umat Islam tertinggal dalam ilmu pengetahuan. Bahkan, banyak ditemukan umat Islam yang buta hurup. Setelah ditemukan problemnya, lalu problem itu dicarikan rujukannya pada al-Qur’an dan al-Hadis. Rahman menyebutkan beberapa ayat dari awal surat al-‘Alaq yang memerintahkan umat Islam untuk membaca, surat Thaha ayat 114 yaitu Allah memerintahkan Rasulullah untuk memohon tambahan ilmu pengetahuan, dan surat al-Isra’ ayat 36 di mana Allah melarang umat Islam mengikuti sesuatu yang tidak mengetahui ilmunya. Dalam artikelnya itu, Rahman juga menyitir suatu Hadis yang menyuruh umat Islam menuntut ilmu walaupun sampai ke negeri Cina. Selanjutnya, ayat-ayat al-Qur’an dan Hadis tersebut digunakan sebagai rujukan untuk mengingatkan umat Islam tentang pentingnya belajar dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Dengan cara demikian, diharapkan problem ideologi umat Islam dapat teratasi.
Upaya lain yang dilakukan oleh Rahman adalah usahanya menyelesaikan problem dikotomi ilmu dalam kaitannya dengan dualisme sistem pendidikan umat Islam. Sebagaimana diketahui bahwa telah lama terjadi dikotomi ilmu yang akut di kalangan umat Islam yaitu ilmu-ilmu agama Islam (tradisional) pada satu ujung dan ilmu-ilmu umum (sekuler modern) pada ujung yang lain; sistem pendidikan tradisional (madrasah) pada satu sisi dan sistem pendidikan umum (sekuler Barat) pada sisi yang lain. Untuk mengatasi problem ini perlu dilakukan dengan kembali kepada konsep dasar ajaran Islam bahwa Islam tidak mendikotomikan antara dunia dan akhirat. Bahkan, dunia merupakan ladang penanaman untuk akhirat. Umat Islam dituntunkan selalu berdo’a untuk memperoleh kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat. Manusia diciptakan untuk menghambakan diri kepada Allah sekaligus sebagai khalifah-Nya di muka bumi. Setelah problem tersebut dicarikan rujukannya pada ajaran Islam, langkah selanjutnya adalah upaya mengembangkan ilmu secara nondikotomik (secara integratif) dan lembaga pendidikan nondualisme. Untuk upaya ini, Rahman memberi alternatif solusi dengan menerima pendidikan sekuler modern sebagaimana telah berkembang secara umum di Barat dan mencoba untuk mengislamkannya - yakni mengisinya dengan konsep-konsep kunci tertentu dari Islam. Pendekatan ini memiliki dua tujuan walaupun keduanya tidak selalu bisa dibedakan satu dari yang lain. Kedua tujuan itu adalah pertama, membentuk watak pelajar-pelajar dengan nilai Islam dalam kehidupan individu dan masyarakat, dan kedua, memungkinkan para ahli yang berpendidikan modern untuk menanami bidang kajian masing-masing dengan nilai-nilai Islam pada perangkat-perangkat yang lebih tinggi; menggunakan perspektif Islam, untuk mengubah -jika perlu- baik kandungan maupun orientasi kajian-kajian mereka. Seberapa jauh keberhasilan upaya ini, barangkali tidak semata-mata ditentukan oleh Rahman, tetapi juga ditentukan oleh seberapa jauh keterlibatan generasi-generasi berikutnya untuk melanjutkannya.
Sifat kritis dan kreatif Rahman didasarkan pada pandangan ontologinya tentang kebebasan berkehendak manusia, yang –setelah dilacak lebih lanjut- ternyata berangkat dari teori besarnya mengenai pandangan dunia al-Qur’an, yaitu Tuhan, manusia, dan alam semesta. Menurut Rahman, Tuhan adalah sebagai Kha>liq (Pencipta) dari manusia dan alam semesta. Segala sesuatu yang ada di alam semesta, termasuk manusia, akan berlaku sunatullah atau hukum sebab akibat di dalamnya. Manusia sebagai makhluq Allah mempunyai kebebasan untuk berkehendak (menentukan pilihannya), tetapi harus selalu disertai dengan tanggungjawab. Sementara itu, alam semesta, sebagai ciptaan Allah, disediakan untuk diatur dan dimanfaatkan oleh manusia sebagai sarana untuk menghambakan diri kepada Nya, demi kebahagiaan hidupnya, baik di dunia maupun di akherat.

[1] Lihat Pendahuluan dalam Fazlur Rahman: Islam Modern, Tantangan Pembaharuan Islam ( terj. Rusli Karim dan Hamid Basyaib), Shalahuddin Press, Yogyakarta, 1987, hlm. 1-13.
[2]Lihat Hilda Taba, Curriculum Development, Theory and Practice, Harcourt, Brace & world, Inc., New York, 1962, hlm. 1-3.
[3] Dasar yang digunakan untuk menyimpulkan dapat dilihat pada S. Nasution, Pengembangan Kurikulum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1991, hlm. 12, lihat pula Nana Syaudah Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktek, Rosda, Bandung, 2000, hlm. 110, dan buku-buku lain tentang kurikulum.
[4] Peter F. Oliva, Developing the Curriculum, Harper Collins Publishers, United States of America, Third Edition, 1992, hlm. 181-182.
[5] Fazlur Rahman, “The Qur’anic Solution of Pakistan’s Educational Problems” dalam Islamic Studies 6, no. 4, 1967, hlm. 315.
[6] Ibid., hlm. 316.
[7] Lebih lanjut baca John P. Miller, Humanizing The Classroom: Models of Teaching in Affective Education, Praeger Publishers, New York, 1976.
[8] Lebih lanjut baca Melvin L. Silberman, Active Learning: 101 Strategies to Teach any Subjects, Allyn & Bacon, USA, 1996.
[9] Lebih lanjut baca Fazlur Rahman, “The Qur’anic Solution of Pakistan’s Educational Problems” dalam Islamic Studies 6, no. 4, 1967, hlm. 317-320.
[10] Lebih lanjut baca William E. Blank, Handbook for Developing Competency-based Training Programs, Prentice-Hall, Inc., Englewood Cliffs, New Jersey, 1982, hlm. 153-158.
BAB VIII
PENDIDIKAN YANG MENGHIDUPKAN BERORIENTASI PADA KUALITAS LULUSAN

Judul bab ini berangkat dari asumsi bahwa jika pendidikan dapat menghasilkan lulusan yang berkualitas tinggi, lulusannya akan dapat memenangkan kompetisi. Jika lulusan pendidikan itu dapat memenangkan dalam berbagai kompetisi, mereka akan dapat hidup dengan baik. Sesuai dengan tuntutan zaman, pendidikan dituntut dapat menghasilkan lulusan yang berkualitas.
Sesungguhnya anak (sebagai subyek didik) memiliki potensi untuk memenangkan dalam kompetisi, dengan argumen sebagai berikut: Pertama, setiap anak yang lahir telah berhasil memenangkan dalam kompetisi diantara 150 juta sperma. Sperma sebanyak itu mati dalam kompetisi memperebutkan ovum (sel pembuahan reproduksi wanita) kecuali satu sperma, yaitu sperma yang kemudian menjadi subyek didik. Kompetisi sperma itu tidak mudah, melelahkan, perlu perjuangan, penuh halangan dengan proses berkelak-kelok. Sebagai pemenang dalam kompetisi melawan jutaan sperma yang lain, tentunya subyek didik memiliki potensi yang tinggi untuk memenangkan kompetisi dalam kehidupan di dunia ini.[1]
Kedua, setelah anak lahir dari rahim ibunya ke dunia, yang dilakukan pertama kali adalah menangis. Orangtuanya akan sedih jika anaknya lahir tidak menangis. Dengan menangis orangtuanya menjadi senang. Apa sesungguhnya makna anak yang baru lahir menangis itu? Menangis itu merupakan aktivitas yang bermakna mencari perhatian. Misalnya, jika anak merasa haus, ia akan menangis meminta perhatian ibunya untuk memberinya asi. Jika ia merasa kedinginan, ia akan menangis yang mempunyai makna meminta perhatian dari ibunya untuk diselimuti. Demikian seterusnya, setiap anak membutuhkan sesuatu, ia akan menangis, yang kemudian ibunya memahami akan maksud anaknya tersebut, lalu memenuhi kebutuhannya. Tangisan anak ini mengandung makna bahwa ia telah berhasil memperoleh (memenangkan) perhatian dari ibunya. Setiap anaknya menangis, sang ibu cepat-cepat mendekati anaknya, dengan meninggalkan (mengalahkan) semua aktivitas lainnya. Ini merupakan keberhasilan anak dalam memenangkan/merebut perhatian sang ibu dari perhatian terhadap hal-hal lain. Keberhasilan anak ini bisa dimaknai sebagai potensi untuk memenangkan dalam kompetisi kehidupan berikutnya.[2]
Ketiga, dengan potensinya, anak selalu berusaha untuk menirukan apapun yang ia lihat dan dengar. Perkataan dan perbuatan ibunya yang paling banyak ia tirukan, karena ia selalu mendengar perkataan dan melihat perbuatan ibunya. Anak sering mendengarkan perkataan ibu, ibu, dan ibu. Lalu ia menirukan perkataan tersebut. Anak melihat ibunya makan dengan sendok, anak berusaha merebut sendok tersebut dari ibunya, kemudian mencoba untuk menggunakannya. Anak melihat ibunya menggunakan pisau untuk memotong buah, anak ingin melakukan hal yang sama. Demikian seterusnya, anak selalu ingin meniru dan mencoba. Pada kondisi seperti itu, sesungguhnya, anak sedang ngalami proses pertumbuhan otak kanan, bagian otak yang berfungsi untuk melakukan kreasi dan inovasi. Kemampuan melakukan kreasi dan inovasi menjadi modal utama untuk memenangkan kompetisi dalam kehidupan berikutnya.

Orientasi Pendidikan di Indonesia
Dari perspektif sejarah dapat diketahui bahwa pendidikan di Indonesia pada tahun 1950 – 1969 berorientasi pada lulusan yang berkualitas (hasil). Pendidikan yang berorientasi pada kualiatas lulusan ini ditandai oleh: (1) adanya ujian negara yang distandarkan, (2) kualitas sekolah ditentukan oleh prosentase kelulusan siswa pada ujian negara, (3) tidak ada kurikulum dengan rincian GBPP, (4) guru pada umumnya menguasai materi pelajaran, (5) guru bebas memilih metode dan buku, dan (6) tekat belajar siswa pada umumnya kuat. Tetapi pada tahun 1970 – 2002 pendidikan di Indonesia berubah orientasinya pada proses. Pendidikan yang berorientasi pada proses ini ditandai oleh: (1) tidak ada ujian negara yang distandarkan, (2) hampir semua murid lulus sekolah, (3) semangat belajar siswa menurun drastis, dan (4) sebagian besar guru tidak menguasai materi pelajaran.
Pendidikan yang beorientasi pada proses seperti di atas ternyata belum dapat menghasilkan lulusan yang berkualiltas. Dengan bukti sumber daya manusia (SDM) Indonesia sebagai lulusan dari pendidikan belum siap menghadapi gelombangn perubahan zaman. Pada pertengahan tahun 1997 ketika dilanda krisis, sulit sekali recovery. Bahkan pengaruh dari krisis itu masih terasa sampai sekarang. Bandingkan dengan negara tetangga, seperti Singapura dan Malaysia, SDM mereka relatif lebih siap, sehingga cepat dapat mengatasi krisis.
Krisis yang melanda Indonesia pada pertengahan tahun 1997 mulai menyadarkan bangsa Indonesia, ternyata SDM Indonesia sangat rendah kualitasnya. Rendahnya kualitas SDM Indonesia tentu terkait dengan kualitas lulusan pendidikan. Anggaran pendidikan selalu mengalami kenaikan dari tahun ke tahun,[3] tetapi belum dapat menaikkan kualitas lulusannya. Mengapa hal seperti ini terjadi?
Selama ini semua sarana dan prasarana yang diadakan/ dibangun hanya dipandang sebagai instrumen untuk melaksanakan kurikulum. Padahal, kurikulum itu sendiri adalah instrumen untuk menghasilkan lulusan yang berkualitas. Sebagai ilustrasi, hampir seratus persen lulusan SLTA tidak menguasai Bahasa Inggris secara memadai. Meskipun mereka telah belajar Bahasa Inggris enam tahun,[4] empat jam per minggu. Tetapi anehnya guru dan pembuat kebijakan tidak merasa sedih, tidak ada perasaan bersalah, dan anehnya juga tidak ada masyarakat yang protes.
Triliunan rupiah yang mestinya dapat digunakan untuk memperbaiki kualitas dan kesejahteraan guru serta untuk prasarana sekolah dihabiskan untuk melatih guru tentang cara mengajar, menyesuaikan dan mencetak ulang buku, membayar banyak konsultan asing untuk prosedur mengajar, dsb. Andai beaya tersebut digunakan untuk prasarana sekolah dan untuk meningkatkan penguasaan guru atas materi yang diajarkannya, tentulah hasil yang diperoleh (kualitas lulusan) akan meningkat.[5]

Perubahan Orientasi Pendidikan
Orientasi perhatian dan kebijakan pendidikan perlu dirubah kepada masalah kualitas lulusan. Mengapa terjadi kesenjangan yang amat besar dalam hal kualitas lulusan, misalnya antara sekolah umum dan madrasah? Padahal mereka menggunakan kurikulum yang sama, gaji gurunya sama, sarana yang dibelikan relatif sama, penataran gurunya juga relatif sama? Mengapa lulusan Madrasah Aliyah nyaris tak ada yang bisa masuk ITB, UI, dan UGM jika harus melalui tes masuk? Mengapa jika ada perusahaan besar berinvestasi di daerah dan melakukan seleksi secara obyektif untuk mendapatkan karyawan, nyaris tak ada lulusan dari Madrasah Alyah yang diterima? Mengapa lulusan sekolah Indonesia tidak mendapatkan pengakuan yang semestinya ketika harus bersaing dengan lulusan sekolah dari negara-negara tetangga? Maka, lebih baik dipastikan saja standar kelulusan secara nasional. Seperti di negara lain yang terbukti mengalami kemajuan amat pesat dalam meningkatkan kualitas lulusan selama dua puluh tahun terakhir. Misalnya, Malaysia, yang meskipun negara federal tetapi memiliki sampai dua lembaga otorita pengujian nasional. Yaitu “Malaysian Examination Syndicate” dan “Malaysian Examination Council” yang menstandardisasikan kualitas lulusan secara nasional, bahkan dengan standar internasional.[6]
Sudah saatnya, merubah orientasi perhatian pada kualitas lulusan. Jika ini dilakukan niscaya akan terjadi perubahan yang mendasar pada kualitas SDM sebagai produk dari sistim pendidikan. Perlu suatu standar yang memadai untuk diberlakukan secara nasional, baik dalam hal pengetahuan maupun dalam kemahiran. Guru akan memiliki kebebasan yang lebih besar namun harus bekerja lebih keras karena muridnya harus mencapai standar kelulusan, sedangkan murid tentu juga harus belajar lebih serius kalau ingin lulus. Berbagai aturan yang dibuat tentu lebih banyak mengenai syarat kelulusan dan prosedur pengujian serta pemberian ijasah/ sertifikat. Bukan mengenai cara mengajar, struktur isi buku, dsb., yang pada hakekatnya membelenggu guru. Titik berat anggaran lebih pada upaya memfasilitasi guru agar sukses dalam menghasilkan lulusan berkualitas (termasuk kesejahteraannya), dan untuk mendorong murid agar lebih giat belajar serta tak terhalang oleh kendala ekonomi. Artinya, hampir semua beaya di luar pembangunan prasarana dan pengadaan sarana harus berupa layanan (servis) secara langsung kepada guru dan murid. Bentuknya dapat berupa beasiswa, bantuan buku dan alat mengajar, pembebasan beaya jika anak guru kuliah, pinjaman khusus tanpa bunga, dsb. Birokrasi pendidikan dituntut untuk lebih dominan fungsi pelayanannya (services) dari pada fungsi pengendalian (control).[7]
Sistim pendidikan yang berorientasi pada upaya mendapatkan lulusan berkualitas akan mendorong tumbuhnya berbagai karakter pribadi yang positif seperti disiplin, jujur dan lebih mengandalkan kemampuan sendiri, pola pikir yang lebih logis dan ilmiah, terbiasa bekerja keras, tahan mental dalam menghadapi kesulitan, dsb. Sistim pendidikan yang berorientasi pada upaya mendapatkan lulusan berkualitas dengan diterapkannya standar nasional kelulusan oleh sebuah lembaga penguji yang profesional dan memiliki otoritas, akan menghilangkan (sekurangnya memperkecil) kesenjangan kualitas lulusan antara sekolah dan madrasah.
Indikator kemajuan di bidang pendidikan tidak lagi semata diukur dengan statistik angka partisipasi murid, tetapi lebih pada tingkat literasi nasional seperti angka buta huruf, penguasaan baca tulis hitung pada murid kelas tiga dan enam, proporsi lulusan SMP dengan nilai cemerlang, dsb. Orang akan cenderung membandingkan kualitas lulusan dengan tahun sebelumnya maupun dengan negara lain (benchmarking). Masyarakat tidak hanya akan menilai kualitas sekolah dari gedung megah dan fasilitas tambahan yang dimiliki, melainkan dari prosentase kelulusannya yang berkualifikasi cemerlang.[8]

Orientasi Pendidikan Pada Subyek Didik
Pendidikan yang berorientasi pada kualitas lulusan sama dengan mengharuskan berorientasi pada subyek didik. Karena subyek didiklah yang mengalami proses pendidikan, yang menjalani proses pembelajaran sampai lulus. Subyek didik pula yang mengalami proses menjadi, dan proses menemukan jati diri, serta proses menemukan profesi.
Dengan demikian, persoalan menjadi jelas yaitu persoalan diorientasikan pada subyek didik. Subyek didik yang mengalami proses pembelajaran, proses mencari dan menemukan sumber pembelajaran, proses membaca, memahami, menganalisis, membandingkan, menyimpulkan, dsb. Apa saja sesungguhnya hal-hal yang diperlukan oleh subyek didik agar dapat menjadi lulusan yang berkualitas tinggi? Persoalan ini bisa dimulai dari yang sederhana yaitu mengindentifikasi hal-hal yang diperlukan oleh subyek didik agar dapat mengalami proses pembelajaran dengan baik. Hal-hal itu secara simple dapat diklasifikasikan menjadi: (1) sumber belajar yang kompeten (pendidik), (2) sarana dan prasarana pembelajaran termasuk medianya, (3) lingkungan pembelajaran yang kondusif. Ketiga hal ini perlu dijelaskan secara lebih konkret.
1. Sumber Belajar
Sumber belajar menjadi kebutuhan pertama bagi subyek didik agar dapat mengalami proses pembelajaran dengan baik. Karena dengan sumber belajarlah subyek didika selalu berhadapan setiap saat. Apa saja yang dipandang perlu sebagai sumber belajar oleh subyek didik? Tentu yang pertama-tama adalah pendidik yang kompeten, yaitu guru di sekolah dan madrasah, serta dosen di perguruan tinggi. Pendidik yang seringkali berfungsi sebagai expert, resource person, fasilitator, instructor, model, mentor, co-learner, reflective practicioner, dan researcher. Penjelasan singkat dari peran pendidik tersebut adalah sebagai berikut:
1). Expert, seorang pendidik tentu ahli pada berbagai bidang, minimal ahli pada mata pelajaran atau kuliah yang ia ampu. Pendidik berperan untuk menularkan keahliannya kepada subyek didiknya,
2). Resource Person, seorang pendidik berperan sebagai sumber rujukan bagi subyek didiknya,
3). Fasilitator, seorang pendidik berperan sebagai fasilitator yang berkewajiban menciptakan kondisi subyek didik dalam proses pembelajaran untuk mencapai kompetensi yang telah ditentukan.
4). Instructor, seorang pendidik tentu mampu berperan sebagai instruktur yang memberi instruksi/arahan kepada subyek didiknya supaya dapat mencapai kompetensi yang diharapkan,
5). Model, sering kali pendidik berperan sebagai model ideal dari subyek didiknya, terutama dari segi perilaku (karakter), penegakan sistem nilai, intelektualitas, dan profesinya,
6). Mentor, pendidik berperan memberi nasehat kepada subyek didiknya terutama yang terkait dengan pembelajaran,
7). Co-Learner, seringkali pendidik berperan sebagai mitra subyek didik mulai dari merencanakan pembelajaran, proses pembelajaran, dan bahkan sampai evaluasinya,
8). Reflective Practicioner, pendidik berperan sebagai praktisi reflektif terutama menguji kompetensi subyek didiknya dari segi sikap dan perilakunya,
9). Reseacher, pendidik berperan sebagai peneliti dalam pembelajaran melalui observasi, memformulasikan hipotesis, mengembangkan suatu teori dan mempraktekkannya.
Sumber belajar selain pendidik yang kompeten bisa berupa buku, jurnal, bahkan alam semesta. Melalaui sumber-sumber belajar tersebut subyek didik dapat mendapatkan berbagai hal yang sangat bermanfaat untuk meningkatkan kompetensi dirinya. Melalui buku-buku subyek didik bisa mendapatkan informasi tentang berbagai hal. Demikian pula, melalui jurnal-jurnal, subyek didik bisa mendapatkan hasil-hasil penelitian mutakhir yang biasanya belum dimuat dalam buku-buku. Alam semesta merupakan sumber belajar yang secara leluasa dapat dimanfaatkan oleh subyek didik sesuai dengan minat dan bidangnya masing-masing.
2. Sarana dan Prasarana pembelajaran
Sarana dan prasarana pembelajaran termasuk media pembelajaran biasanya dapat dikelompokkan ke dalam dua klasifikasi utama yaitu perangkat keras dan perangkat lunak. Yang termasukm pada ketegori pertama adalah bangunan gedung, ruang pembelajaran, perpustakaan, laboratorium. Sedangkan yang termasuk kedua adalah segala macam perangkat yang berupa program-program pembelajaran.
Secara sederhana subyek didik membutuhkan peralatan belajar seperti ruang kelas lengkap dengan medianya: papan tulis dengan spedolnya, komputer dengan LCD dan Infocusnya, jaringan internet. Buku-buku dan jurnal sebagai materi pembelajaran. Laboratorium sebagai tempat praktikumnya.
3. Lingkungan yang Kondusif
Lingkungan yang kondusif untuk belajar mutlak dibutuhkan oleh subyek didik agar dapat melakukan pembelajaran dengan baik. Misalnya suasana kampus yang asri, tenang, jauh dari keramain kereta api, mobil, kapal terbang, pasar, dsb. Demikian pula keadaan udara yang tidak terlalu panas dan dingin tapi bisa sesuai dengan kondisi subyek didik yang sedang melaksanakan proses pembelajaran.

Pendidikan Berorientasi pada Kualitas Lulusan
Tanpa menghasilkan lulusan yang berkualitas, pendidikan bukanlah suatu investasi SDM melainkan justru pemborosan baik dari segi beaya, tenaga maupun waktu, disamping akan menimbulkan masalah sosial. Lulusan pendidikan dikatakan berkualiltas apabila memiliki pengetahuan, ketrampilan, dan karakter yang dapat diandalkan, dan diakui di tingkat nasional, regional dan internasional. Pendidikan yang berorientasi pada lulusan yang berkualitas memiliki tanda-tanda antara lain:
Keberhasilan pendidikan tidak diukur dari angka partisipasi murid tetapi lebih pada tingkat literasi yang dikuasai,
2. Adanya sistim manajemen/ birokrasi pendidikan yang melayani murid dan guru, dan bukan melayani sistim/ birokrasi itu sendiri,
3. Sekolah atau Madrasah tidak diukur dari menterengnya fasilitas fisik serta proses kurikuler yang dijalankan, melainkan dari kualitas dan kuantitas lulusannya,
4. Standardisasi kualitas lulusan secara nasional adalah lebih penting dari pada standardisasi kurikulum dan sarananya,
5. Ada kepedulian yang tinggi terhadap kualitas, yang diwujudkan dengan kontrol dan jaminan kualitas (quality control and quality assurance).
Kemudian, upaya peningkatan kualitas lulusan dapat ditempuh dengan melaksanakan sistem kridit semester (sks). Disamping itu, sks juga lebih ekonomis dibandingkan dengan sistem konvensional. Misalnya, karena tidak semua murid harus menempuh pelajaran ilmu kimia, maka peralatan pelajaran bahkan guru kimia yang dibutuhkan akan lebih sedikit. Bandingkan dengan saat ini di mana setiap murid SMA wajib mempelajari ilmu kimia sekurangnya empat semester, meskipun kenyataannya tidak sampai 25% dari lulusan SMA yang memerlukan ilmu kimia dalam pekerjaannya nanti. Apalagi, jika ujian masuk ke perguruan tinggi yang bersifat masal dapat dihapuskan, betapa banyak beaya masyarakat yang dapat dihemat. Setiap program studi cukup menerbitkan/ mengumumkan syarat kemampuan (paket pelajaran) minimum yang harus dipenuhi/ dimiliki oleh pelamar. Seleksi dapat menggunakan nilai yang diperoleh pada setiap pelajaran yang disyaratkan tersebut, asalkan ujiannya berstandar nasional dan dilaksanakan oleh badan otoritas ujian yang ditetapkan. Ujian masuk ke perguruan tinggi tidak lagi dijadikan alat pencari dana. Tidak akan terjadi lagi di mana pelamar ke fakultas biologi dan pelamar ke jurusan teknik sipil disaring dengan tes yang sama seperti pada SPMB saat ini.[9]

[1] A. Khoerussalim Ikhs., To be the Moslem Entrepreneur: Kiat Sukses di Usia Muda, Pustaka al-Kautsar, Jakarta Timur, 2005, hlm. 9.
[2] Ibid., hlm. 10.
[3] Pada tahun 2005 anggaran pendidikan di Indonesia hanya sekitar 9 % dari APBN, sedangkan Malaysia mencapai 25 % dari APBNnya.
[4] Tiga tahun di SLTP dan tiga tahun di SLTA.
[5] Diambil dari “Beberapa Prinsip Yang Harus Ada Dalam Kebijakan Diknas” oleh Jahja Umar, Ph.D. dengan dirubah sesuai dengan keperluan tulisan pada bab ini.
[6] Ibid.
[7] Ibid.
[8] Ibid.
[9] Ibid.
BAB IX
PENUTUP

Bab terakhir merupakan bab penutup dari keseluruhan isi buku ini. Bab ini merusaha menyimpulkan isi dari bab-bab sebelumnya, serta saran-saran yang dipandang perlu oleh penulis. Melalui pembahasan terhadap karya-karya Rahman dan hasil-hasil karya lain tentang pemikiran Rahman dalam bidang pendidikan, dapat dihasilkan temuan-temuan sebagai berikut. Pemikiran Rahman dalam bidang pendidikan terfokus pada upaya untuk mengobati krisis pemikiran umat Islam yang semakin akut, dan untuk memberikan alternatif solusi atas problem-problem yang dihadapi umat Islam. Ia mengajukan cara untuk mengatasi problem-problem umat Islam dengan metode kritik sejarah, metode penafsiran al-Qur’an secara sistematis dan metode suatu gerakan ganda (a double movement).
Pendidikan Islam menurut Rahman bukan sekedar dipahami sebagai peralatan fisik seperti gedung sekolah, perpustakaan, dan struktur eksternal pendidikan seperti guru, siswa, kurikulum, dan lingkungan, serta lembaga-lembaga pendidikan, tetapi juga sebagai intelektualisme Islam. Bagi Rahman, intelektualisme Islam merupakan esensi dari pendidikan tinggi Islam, dan diyakini sebagai pertumbuhan suatu pemikiran Islam yang asli dan memadai. Kemudian, Rahman menyarankan kepada ilmuwan Muslim untuk merekontruksi intelektualisme Islam ke dalam Teologi, Hukum dan Etika, Filsafat dan Sains-Sains Sosial.
Pemikiran pendidikan Rahman jika dilihat dari empat unsur utama kurikulum adalah sebagai berikut. Tujuan pendidikannya adalah untuk mengembangkan manusia- sedemikian rupa sehingga semua pengetahuan yang diperolehnya akan menjadi organ pada keseluruhan pribadi yang kritis dan kreatif, yang memungkinkan manusia untuk memanfaatkan sumber-sumber alam untuk kebaikan umat manusia dan untuk menciptakan keadilan, kemajuan, dan keteraturan dunia; dengan kata lain pendidikan untuk menyelamatkan manusia dari diri sendiri oleh diri sendiri dan untuk diri sendiri. Materi pendidikannya adalah ilmu tentang alam, ilmu tentang sejarah (sosial), dan ilmu tentang manusia (humaniora). Metode pembelajarannya bukan sekedar mengulang-ulang materi pelajaran sampai hafal, tetapi menekankan pada proses memahami dan menganalisis materi pelajaran. Metode yang diterapkan oleh Rahman dikenal dengan metode gerakan ganda (a double movement), yaitu gerakan dari guru ke siswa dan sebaliknya gerakan dari siswa ke guru, serta gerakan antar sesama siswa. Metode semacam ini dapat disebut sebagai metode active learning. Akhirnya, evaluasi hasil pendidikannya menerapkan indikator utama yang dapat melahirkan ilmuwan kritis dan kreatif yang dapat menghasilkan temuan-temuan yang berguna bagi seluruh umat manusia.
Kontribusi pemikiran pendidikan Rahman terhadap pendidikan Islam adalah bahwa jika pendidikan Islam bersedia mengikuti pemikiran Rahman, motivasi umat Islam terhadap pengembangan ilmu akan semakin kuat, dikotomi ilmu di kalangan umat Islam akan semakin terkikis, yang diikuti oleh semakin pudarnya dualisme dalam sistem pendidikan umat Islam. Hasilnya, suatu ketika nanti, pendidikan Islam dapat melahirkan kembali ilmuwan-ilmuwan Muslim yang kritis dan kreatif, yang dapat menghasilkan temuan-temuan yang berharga, yang dapat menyelesaikan problem-problem umat manusia.
Walaupun pemikiran pendidikan Rahman sangat luas yang mencakup pendidikan dalam pengertian praktis seperti pendidikan yang diterapkan di Turki, Iran, Mesir, Pakistan dan Indonesia, dan pendidikan dalam pengertian intelektualisme Islam yang mencakup Teologi, Hukum dan Etika, Filsafat dan Sains-Sains Sosial, tetapi secara keseluruhan pemikiran pendidikan tersebut belum tersusun secara sistematis. Oleh karena itu, tidak mudah bagi peneliti untuk menemukan pemikiran pendidikan Rahman dilihat dari faktor-faktor pendidikan yang meliputi pendidik, peserta didik, kurikulum (tujuan, materi, metode dan evaluasi), sarana (termasuk perpustakaan), dan lingkungan pendidikan, apalagi kemudian merumuskannya menjadi satu kesatuan pemikiran pendidikan yang bulat dan utuh sehingga mudah dibaca dan dipahami oleh pemerhati pendidikan berikutnya.
Mengenai solusi yang ditawarkan oleh Rahman untuk mengatasi masalah dualisme sistem pendidikan umat Islam (pendidikan tradisional pada satu sisi dan pendidikan sekuler modern pada sisi lain) dengan cara menerima sistem pendidikan sekuler modern model Barat kemudian menanami atau memasuki dengan jiwa atau ruh Islam adalah tidak mudah dilaksanakan. Cara ini secara konseptual bagus, tetapi hasilnya belum sesuai dengan yang diharapkan. Pengalaman di Indonesia menunjukkan demikian. Pendidikan tradisional ( model pesantren) pada satu sisi, dan pendidikan sekuler modern (model sekolah) kemudian digabung menjadi satu dalam bentuk madrasah, ternyata hasilnya masih mengecewakan; untuk mata pelajaran agama Islam selalu kalah dibanding dengan pesantren dan untuk mata pelajaran umum selalu kalah dibanding dengan sekolah.
Sebetulnya, apa yang dipikirkan dan disarankan oleh Rahman untuk mengadopsi sistem pendidikan sekuler modern kemudian mananami dengan ruh Islam tersebut, sudah lebih dahulu dipraktekkan oleh KH. Ahmad Dahlam melalui persyarikatan Muhammadiyah yang didirikan pada tahun 1912. Ketika itu, Dahlan sudah mulai mengadopsi sistem pendidikan sekolah modern, model Barat, dengan sistem klasikal, memakai meja kursi, memakai papan tulis, dengan kurikulum, dan sebagainya, kemudian menambah dengan pendidikan al-Islam. Pendidikan model Dahlan ini menjadi model pendidikan di Persyarikatan tersebut sampai sekarang. Akan tetapi, sebagaimana dapat disaksikan pada sekolah-sekolah Muhammadiyah sekarang, hasilnya belum sebagus pesantren untuk pendidikan Agama Islam, dan belum sebagus sekolah umum untuk mata pelajaran umum. Akhirnya, solusi yang ditawarkan oleh Rahman, yang sebelumnya sudah dipraktekkan oleh Dahlan, tetap belum dapat memberikan solusi terhadap problem dualisme sistem pendidikan umat Islam.
Berdasarkan pada temuan-temuan sebagaimana tersebut di atas, selanjutnya disarankan kepada peneliti dan konseptor pendidikan Islam dapat melanjutkan pemikiran pendidikan Rahman baik dalam pengertian intelektualisme Islam maupun dalam pengertian praktis, sehingga dapat menghasilkan alumni yang kritis dan kreatif yang dapat menghasilkan temuan-temuan yang berguna bagi kehidupan umat manusia;
Bagi pemegang kebijakan pendidikan Islam agar dapat menentukan kebijakan yang memungkinkan dapat dihasilkan alumni yang lebih kritis dan kreatif yang dapat menyelesaikan problem-problem mereka sendiri, bahkan problem-problem umat manusia secara keseluruhan;
Bagi praktisi pendidikan Islam agar dapat mengupayakan langkah-langkah yang memungkinkan terjadinya integrasi ilmu dalam Islam serta integrasi dalam sistem pendidikan umat Islam dalam rangka dapat menghasilkan alumni yang kritis dan kreatif (berkualitas tinggi);
Bagi konseptor, pemegang kebijakan, dan praktisi pendidikan Islam agar dapat mengarahkan pendidikan yang dapat menghidupkan umat Islam yang dapat memperbaiki peradaban mereka secara mendasar dan menyeluruh.
DAFTAR PUSTAKA


Abdullah, (Editor), Sejarah dan Masyarakat: Lintasan Historis Islam di Indonesia, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1987.
Adam, Don, Education and Modernization, Addison-Wesley Publishing Co. & Pittsburg University, Reading Mass, 1970.
Ahmad, Sharon dan Sharon Siddique, Muslim Society, Higher Education and Development in Southeast Asia, Institute of Southeast Asian Studies, Pasir Panjang, Singapore, 1987.
Ahmed, Munir-ud-Din, Muslim Education and the Scholars’ Social Status Upto the 5th Century Muslim Era, Verlag Der Islam Zurich, 1968.
Ali, A. Mukti, “Fazlur Rahman Tentang: Konsep Al-Qur’an tentang Allah, Manusia dan Alam Semesta”, Makalah dalam seminar sehari, Pikiran-Pikiran Fazlur Rahman, diselenggarakan Lembaga Studi Agama dan Filsafat (LSAF), Jakarta, 3 Desember, 1988.
---------, Beberapa Masalah Pendidikan di Indonesia, Yayasan Nida, Yogyakarta, 1971.
Amal, Taufik Adnan, “Fazlur Rahman tentang Etika al-Qur’an”, Makalah dalam seminar sehari, Pikiran-Pikiran Fazlur Rahman, diselenggarakan Lembaga Studi Agama dan Filsafat (LSAF), Jakarta, 3 Desember, 1988.
--------, Islam dan Tantangan Modernitas: Studi atas Pemikiran Hukum Fazlur Rahman, Mizan, Bandung, cetakan ke V, 1994.
-------, Metode dan Alternatif Neomodernisme Islam Fazlur Rahman, Mizan, Bandung, cetakan ke V, 1993.
Amiruddin, M. Hasbi, Konsep Negara Islam Menurut Fazlur Rahman, Yogyakarta: UII Press, 2000.
Angeles, Peter A., Dictionary of Philosophy, Barnes & Noble Books, New York, 1981.
Arikunto, Suharsimi, Manajemen Pengajaran Secara Manusiawi, Rineka Cipta, Jakarta, 1993.
Ashraf, S.A., New Horison in Muslim Education, Cambridge: The Islamic Academy, 1985.
------------, (ed.), Muslim Education Quarterly, Vol. 1, No. 2, 1984.
Attas, Seyyed Muhammad Naquib, Aims and Objectives of Islamic Education, Jeddah: King Abdul Aziz University, 1977.
Attas, Syed Husein, Modernization and Social Change, Augus and Robertson Publisher, Sydney, 1972.
Azra, Azyumardi, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999
---------, Esei-Esei Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1998.
---------, Renaisans Islam Asia Tenggara, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2000.
Azizy, A. Qodri, Pendidikan (Agama) Untuk Membangun Etika Sosial, C. V. Aneka Ilmu, Semarang, 2002.
Barton, Gregory James, The Emergence of Neo-Modernism; a Progresive, Liberal, Movement of Islamic Thought in Indonesia, Monash University, 1987.
Berkey, Jonathan, The Transmission of Knowledge in Medieval Cairo, a Social History of Islamic Education, Princeton University Press, Princeton, New Jersey, 1992.
Brojonegoro, Satryo Soemantri, “Implementasi Paradigma Baru di Perguruan Tinggi” dalam Reformasi Pendidikan Dalam Konteks Otonomi Daerah, Bappenas-Depdiknas-Adicita Karya Nusa, Yogyakarta, 2001.
Daradjat, Zakiyah, Ilmu Pendidikan Islam, Bumi Aksara, Jakarta, 1992.
Denny, F.M., “Fazlur Rahman: Muslim Intelektual.” The Muslim World 79, 2 (1989).
-------, “The Legacy of Fazlur Rahman.” In The Muslims of America, ed. Y.Y. Haddad New York &Oxford : Oxford University Press, 1991.
Denzin, Norman K., Yvonna S. Lincoln (editors), Hanbook of Qualitative Research, Sage Publications, Inc., California, 1994.
Dhafir, Zamaksari, Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kiai, LP3ES, Jakarta, 1994.
Dodge, Bayard, Al-Azhar, a Millennium of Muslim Learning, The Middle East Institute, Washington D. C., 1961.
Dohaish, Abdullatif Abdullah, History of education in the Hijaz Upto 1925 (Comparative and Critical Study), Dar al-Fikr al-Arabi, Cairo, 1978.
Drost, SJ, J., Dari KBK Sampai MBS, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2005
Esack, Farid, Qur’an, Liberation & Pluralism: An Islamic Perspective of Interreligious Solidarity against Oppression, Oneworld Publications, England, 1997.
Faruqi, Ismail Raji, Islamization of Knowledge: General Principles and Workplan, Herndon, VA: III-T., 1982.
----------, Tauhid, (terj.) Rahmani Astuti, Pustaka, Bandung, Cet. II, 1996.
Freire, Paulo, Pedagogy of the Oppressed, Penguin Books, 1978.
Ghazali, Abu Hamid Muhammad, Al-Munqidh min al-D}ala>l, al-Matbaah al-’Ilmiyya, Mesir, 1303 H.
-----, Taha>fut al-Fala>sifah, Da>r al-Ma’a>rif, Misr, 1966 M.
Hamalik, Oemar, Pengembangan Kurikulum, Dasar-Dasar dan Perkembangannya, Mandar Maju, Bandung, 1990.
Hamka, Sejarah Umat Islam Jilid IV, Bulan Bintang, Jakarta, 1981.
Hasbullah, Moeflich (Editor), Gagasan dan Perdebatan Islamisasi Ilmu Pengetahuan, Iris, Bandung, 2000.
Hidayat, Komaruddin, “Arkoun dan Tradisi Hermeneutik” dalam Tradisi Kemodernan dan Metamodernisme Memperbincangkan Pemikiran Muhammad Arkoun, Penyunting J.H. Meuleman, LKIS, Yogyakarta, 1996.
----------, Hendro Prasetyo, Problem & Prospek IAIN, Antologi Pendidikan Tinggi Islam, Direktorat Pembinaan Perguruan Tingi Agama Islam, Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Departemen Agama, RI, 2000.
Hidayatullah, Syarif, Intelektualisme dalam Perspektif Neo-Modernisme, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2000.
Husain, S.S. & S. A. Ashraf, Crisis in Muslim Education, Hodder and Staughton & King Abdul Aziz University, Jeddah, 1979.
Illich, Ivan, Deschoolling Society, Penguin Books, 1997.
Iqbal, Muhammad, The Reconstruction of Religious Thought in Islam, Lahore: Sh. Muhammad Ashraf, 1951.
Karim, Rusli dan Hamid Basyaib (terj.), Fazlur Rahman, Islam Modern Tantangan Pembaruan Islam, Shalahuddin Press, Yogyakarta, 1987.
Kartanegara, Mulyadi, Menembus Batas waktu: Panorama Filsafat Islam, Penerbit Mizan, Bandung, 2002.
----------, Pengantar Epistemologi Islam, Penerbit Mizan, Bandung, 2003.
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, Balai Pustaka, Jakarta, 2003,
Khoerussalim Ikhs., A., To be the Moslem Entreprenur: Kiat Sukses di Usia Muda, Pustaka al-Kautsar, Jakarta Timur, 2005.
Langgulung, Hasan, Kreativitas dan Pendidikan Islam, Pustaka al-husna, Jakarta, 1991.
Lie, Anita, Cooperative Learning, Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, 2004,
Ma’arif, A. Syafi’i, Islam Kekuatan Doktrin dan Kegamangan Umat, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1997.
---------, “Neo-Modernisme Islam dan Islam di Indonesia, Mempertimbangkan Fazlur Rahman”, Makalah dalam seminar sehari, Pikiran-Pikiran Fazlur Rahman, diselenggarakan Lembaga Studi Agama dan Filsafat (LSAF), Jakarta, 3 Desember, 1988.
Madjid, Nurcholish, “Fazlur Rahman dan Rekonstruksi Etika al-Qur’an”, Islamika 2 Oktober-Desember 1993.
Makdisi, George, Religion, Law and Learning in Classical Islam, Variorum, Great Britain, 1991.
Mastuhu, Memberdayakan Sistem Pendidikan Islam, Logos Wacana Ilmu, Jakarta, 1999.
Mas’ud, Abdurrahman, Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik, Gama Media, Yogyakarta, 2002.
Mas’ud, M. Khalid, “Dr. Fazlur Rahman (1919-1988)”, Islamic Studies 27, 4 (1988).
McClelland, David C., “Dorongan Hati Menuju Modernisme”, dalam Modernisasi Dinamika Pertumbuhan.
McKeachie, Wilbert J., Teaching Tips: Strategies, research, and Theory For College and University Teachers, D.C. Health and Company, 1994.
Miller, John P., Humanizing the Classroom, Models of Teaching in Affective Education, Praeger Publishers, New York, 1976.
Muhaimin dan Abd. Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam: Kajian Filosofik dan Kerangka Dasar Operasionalisasinya, Trigenda Karya, Bandung, 1993.
Mulkhan, Abdul Munir, Paradigma Intelektual Muslim: Pengantar Filsafat Pendidikan Islam dan Dakwah, Yogyakarta: Sipress, 1993.
Mulyasa, E., Kurikulum Berbasis Kompetensi: Konsep, Karakteristik, dan Implementasi, Remaja Rosda Karya, Bandung, 2002.
------------, Manajemen Berbasis Sekolah, Remaja Rosda Karya, Bandung, 2002.
Nasr, Seyyed Hossein, Intelektual Islam, Teologi, Filsafat dan Gnosis, penerjemah Suharsono, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, Cetakan II, 1996.
Nurhakim, Moh., Neomodernisme Dalam Islam, UMM Press, Malang, 2001.
O’neill, William F., Educational Ideologies, Goodyear Publishing Company, Inc., 1981.
Pedersen, J., Fajar Intelektualisme Islam: Buku dan Sejarah Penyebaran Informasi di Dunia Arab (Penerjemah Alwiyah Abdurrahman), Mizan, Bandung, 1996.
Raharjo, M. Dawam, “IAIN Dengan Mandat Diperluas” dalam Perta: Jurnal Komunikasi Perguruan Tinggi Islam, Vol. IV/ No. 01/ 2001.
----------, “Pandangan Kemasyarakatan Fazlur Rahman”, Makalah dalam seminar sehari, Pikiran-Pikiran Fazlur Rahman, diselenggarakan Lembaga Studi Agama dan Filsafat (LSAF), Jakarta, 3 Desember, 1988.
Rahman, Fazlur, Islamic Methodology in History, Karachi: Central Institute of Islamic Research, 1965.
---------,Islam, The University of Chicago Press, Ltd., London, Second edition, 1979.
---------, Major Themes of The Qur’an, Minneapolis: Bibliotheca Islamica, 1980.
---------, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition, The University of Chicago Press, America, 1982.
---------, The Philosophy of Mulla Shadra, New York, State University of New York, 1975.
---------, A Study of Islamic Fundamentalism, Revival and Reform in Islam (ed. Ebrahim Moosa), Clays Ltd, St Ives plc, England, 2000.
--------, “The Qur’anic Solution of Pakistan’s Educational Problem.” Islamic Studies 6, 4, 1967.
Rahmat, Jalaluddin, “Pandangan Dunia Menurut al-Qur’an Menurut Rahman”, Makalah dalam seminar sehari, Pikiran-Pikiran Fazlur Rahman, diselenggarakan Lembaga Studi Agama dan Filsafat (LSAF), Jakarta, 3 Desember, 1988.
Rasyid, Amhar, “Some Qur’anic Legal Texts in the Context of Fazlur Rahman’s Hermeneutical Theory.” M.A. Thesis, McGill University, 1994.
Rusyd, Ibn, Tah}a>fut al-Fala>sifah, Da>r al-Ma’a>rif, Misr, 1981.
Saiyidain, K.G., Iqbal’s Educational Philosophy, Arafat Publication, Lahore, 1938.
Saqib, Ghulam Nabi, Modernization of Muslim Education, Islamic Book Service, Lahore, 1997.
Shaban, MA, Sejarah Islam 600-750 (Penafsiran Baru), (Penerjemah: Machnun Husein), Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1993.
Shalaby, Ahmad, History of Muslim Education, Beirut: Dar al-Kashshaf, 1954
---------, Sejarah Kebudayaan Islam Jilid 1, (Penerjemah Mukhtar Yahya dan Sanusi Latif), Djayabakti, Jakarta, 1959.
---------, Sejarah Kebudayaan Islam 2, (Penerjemah Mukhtar Yahya dan Sanusi Latif), Pustaka al-Husna, Jakarta, 1992.
Shalahuddin, Mahfudh, dkk., Metodologi Pendidikan agama, Bina Ilmu, Surabaya, 1987.
Shipman, M.D., Education and Modernization, Fober, London, 1972.
Silberman, Mel, Active Learning, 101 Strategies to Teach Any Subject, Temple University, Toronto, 1996.
Sonn, Tamara, “Fazlur Rahman’s Islamic Methodology.” The Muslim World 81, 3-4, 1991.
Stanton, Michael, High Learning in Islam, New York: 1991.
Sumardi, Mulyanto (penyusun), Penelitian Agama, Masalah dan Pemikiran, Penerbit Sinar Harapan, Jakarta, cetakan pertama, 1982.
Supriyadi, Dedi, Kreativitas, Kebudayaan dan Perkembangan Iptek, Alfabeta, Bandung, 1994.
Sutrisno, Pengembangan Kreativitas Dalam Pendidikan Islam Kontemporer (Telaah Pemikiran Muhammad Iqbal), Tesis PPS IAIN Sunan kalijaga Yogyakarta, 1996.
---------, Revolusi Pendidikan di Indonesia: Membedah Metode dan Teknik Pendidikan Berbasis Kompetensi, Ar-Russ Media, Yogyakarta, 2005.
Syaibany, Omar Mohammad al-Toumy, Filsafat Pendidikan Islam, alih bahasa Hasan Langgulung, Bulan Bintang, Jakarta, 1979.
Taba, Hilda, Curriculum Development Theory and Practice, Brace & World Inc., New York, 1962.
Taufik, Muhammad, “Transformasi Sebuah Tradisi Intelektual, Asal Usul dan Perkembangan Pendidikan Islam”, Al-Jami’ah, N0. 63/ VI/ 1999.

Tibawi, A.R., Islamic Education, London: Luza & Co, 1972.
Tibi, Bassam, Islam and the Cultural Accommodation of Social Change, Boulder: Westview Press, 1991.
Tilaar, H.A.R., Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional Dalam Perspektif Abad 21, Tera Indonesia, Magelang, 1998.
Totah, Khalil A., The Contribution of the Arab to Education, Combia University Teachers College, New York, 1976.
Tritton, A. S., Materials on Muslim Education in the Middle Ages, Luzac & Co. Ltd., London, 1957.
Wahyudi, Jarot (Editor), Menyatukan Kembali Ilmu-Ilmu Agama dan Umum (Upaya mempersatukan Epistemologi Islam dan Umum), IAIN Sunan Kalijaga Press, Yogyakarta, 2003.
Zamroni, Paradigma Pendidikan Masa depan, Biograf Publishing, Yogyakarta, 2000.

RIWAYAT HIDUP SINGKAT PENULIS

Sutrisno lahir di Karanganyar, Surakarta, 7 Nopember 1963. Alamat Rumah Perum UIN Sunan Kalijaga di Sambisari RT 3 RW 4, Purwomartani, Kalasan, Yogyakarta. Pendidikan: S1, S2, dan S3 di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. HP. 08122943503. Pekerjaan: Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Karya Tulis: (1) Pengembangan Kreativitas Dalam Pendidikan Islam Kontemporer, Tesis S2, (2) English Comprehension For Islamic Studies Book 1-6 (ketua tim), Pusat Bahasa IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 1998, (3) Active Learning: 101 Strategi Pembelajaran Aktif, (terjemah tim), Yappendis, Yogyakarta, 2001, (4) “Problem-Problem Pendidikan Umat Islam” dalam Jurnal Ilmu Pendidikan Islam, Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2002, (5) “Pendidikan Agama Islam Menatap Masa Depan” dalam Jurnal Ilmu Pendidikan Islam, Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Vol. 4. No. 1, Januari, 2003, (6) “Studi Terhadap Perkembangan Pemikiran dan Motode-Metode Fazlur Rahman”, dalam Sosio-Religia: Jurnal Ilmu Agama dan Ilmu Sosial, Vol. 4, N0. 1, Nopember 2004, (7) “Problematika Penerapan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam di Sekolah” dalam jurnal Pendidikan Agama Islam Jurusan PAI Fakultas Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Vol. 1. No. 1, Juni, 2004, (8) “Problem Dikotomi Ilmu Dalam Islam (Upaya Integrasi Ilmu di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)” dalam Jurnal Penelitian Agama, Puslit UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Vol. XIV, No. 1 Januari-April 2005, dan (9) Buku Revolusi Pendidikan di Indonesia (Membedah Metode dan Teknik Pendidikan Berbasis Kompetensi), Ar-Ruzz Media, Yogyakarta, 2005.

1 komentar:

BAGUS MUSTAKIM mengatakan...

Assalamu'alaikum, Prof.
Saya Bagus Mustakim, kita ketemu di seminar sertifikasi PPs UIN Sabtu lusa. Gimana kabarnya?
Konsep pendidikan Islam yang menghidupkan, cukup inspiratif. Tapi setelah saya baca bukunya dan juga desertasinya, dapat dikatakan masih sebatas wacana.
Saya punya rencana penelitian (tesis)untuk mengeksperimenkan teori double movement Fazlurrahman dalam bentuk pembelajaran di kelas. Judulnya: "Pengaruh penerapan teori tafsir gerak ganda
dalam pembelajaran al-Qur'an Hadis terhadap religious knowledge siswa MAN Ngrambe Ngawi.
Gmn, Prof? saya tunggu komentarnya
oh ya, saya juga punya blog di www.bagusmustakim.blogspot.com.